4. Genk Arga dan Penolakannya

1278 Words
"SHANIN mau gabung ke genk kalian." Mungkin itu adalah kata-kata yang membingungkan dan sangat aneh, tak heran jika Raynzal, Al, Derren dan Steve yang juga mendengarnya nampak mengeluarkan cekikikan kencangnya hingga mereka memegangi perutnya yang terasa sakit. Namun tidak dengan Richard, cowok itu masih setia dengan wajah bingungnya tanpa mengeluarkan reaksi berlebihan seperti yang beberapa rekan lainnya lakukan. "Maksudnya?” Shanin kembali menelan salivanya, berharap ia tak akan sampai salah bicara, "Shanin emang udah merhatiin kalian beberapa hari ini, dan menurut pandangan Shanin, kalian itu genk yang paling di takutin di sekolah. Jadi Shanin mau gabung, biar Shanin dapet perlindungan," Lagi, terdengar tawa kencang masih dari orang yang sama. Namun kali ini Arkan mulai ikut tertawa walau dengan suara kecil, penjelasan Shanin sangat aneh menurutnya. Bahkan bibir Richard mulai berkedut menahan senyum karna melihat penjelasan Shanin yang polos, namun ia memilih untuk menyelesaikan rasa ingin tahunya. "Perlindungan? Dari siapa?" "Abby sama temen-temennya," Jelas Shanin polos tanpa beban, rasanya pundaknya terasa ringan karna ia berhasil mengungkapkan isi hatinya yang sudah lama tependam. Bahkan Mamanya pun tak tahu. Semakin bertanya nyatanya membuat Richard semakin penasaran, apalagi karna pembawaan cerita Shanin yang menurut Richard sangat lucu, "Abby siapa? Musuh lo?" Shanin mengangguk, "Udah dua tahun ini Abby sama temen-temennya Bully Shanin. Dan karna Shanin gak bisa ngelawan mereka, Shanin mutusin untuk minta perlindungan sama kalian." balas Shanin masih dengan wajah polosnya. "Untungnya buat kita apa?" Shanin menoleh ke sumber suara, menatap Steve dengan dahi berkerut, "Untungnya buat kalian?" Beo Shanin. "Lo gak bakal pikir kalo bantuan kita itu gratis, kan? Kalo kita nolongin lo, otomatis kita harus dapet imbalan. Lo mau ngasih apa ke kita?" Tantang Steve yang kini mulai menatapnya tertarik, sembari melompat duduk ke atas meja Billiard. "Apa aja," Semua pandangan berhasil Shanin dapatkan, mereka nampak menatap Shanin dengan wajah terkejudnya. Gadis kecil itu ternyata berani berkata seperti itu kepada para macan. "Shanin bakal lakuin apa aja asalkan kalian lindungin Shanin di sekolah." Jelas saja itu adalah kata-kata tersalah yang pernah Shanin ucapakan, namun sepertinya Shanin belum menyadari arti 'Apa saja' bagi mereka. Steve membuka mulutnya takjub, "Apa aja? Yakin?" Shanin mengangguk cepat. "Kalo gitu gue mau lo ambil semua uang di bank!" Ucap Steve bersemangat. "Beliin mobil sport warna merah!" Sambung Raynzal sebelum meneguk habis botol wine di tangan kirinya. Arkan nampak berfikir serius, "Undang Taylor Swift kesini." Shanin mematung mendengar permintaan aneh semua orang yang berada di ruangan ini, namun nyatanya, itu belum seberapa hingga akhirnya raja macan yang tadi tengah asik menyendiri sembari meminum Vodka nampak turun dari posisinya dan berjalan ke arah Shanin. Sontak Shanin kembali mematung, ia tak menyangka jika akhirnya akan berhadapan dengan ketua genk ini, dan rasanya sungguh tak dapat di duga. Arga mengacak-ngacak rambutnya yang padahal sudah berantakan hingga akhirnya cowok itu berhenti di hadapan Shanin, menggantikan posisi Richard yang sekarang nampak kembali duduk di tempatnya tadi. "Apa lo nyadar, kalo apa aja yang barusan lo bilang itu bisa nyangkut nyawa lo?" Untuk pertama kalinya Shanin mendengar suara Arga, suara yang berat namun menggoda. Menghangatkan namun juga membakar. Untuk ke sekian kalinya jantung Shanin kembali berdetak cepat, "Tapi gue gak butuh nyawa lo," Arga menghentikan ucapannya kemudian mendekatkan wajahnya kepada Shanin, "Gue Cuma butuh tubuh lo. Sanggup?" Mulut gadis itu terbuka begitu mendengar permintaan mengejudkan Arga, ini bahkan lebih mengejutkan dari permintaan Arkan, "Tu-buh?" Arga mengangguk dengan seringaian khasnya. "Kalo lo enak, gue bakal pertimbangin untuk lindungin lo." Suara ricuh Steve dan Al mulai terdengar. Mereka bersorak bahagia karna keisengan temannya itu sudah bangkit, keisengan yang mampu membuat kaki Shanin gemetar hebat. Ia butuh kursi roda. Shanin perlahan mundur dengan mata yang berkaca-kaca, ia lupa kalau dirinya sedang berhadapan dengan para setan alas yang tak memiliki otak. Dengan menahan tangis dan takutnya, Shanin terlihat berlari keluar. Meninggalkan Arga yang tersenyum penuh kemenangan dengan Steve dan Al yang bersorak bahagia. Sudah lama mereka tak bersikap jahil seperti ini, nyatanya hal ini sangat menyenangkan. Shanin berlari sejadi-jadinya, meninggalkan pintu gerbang yang terbuka lebar. Ia tak perduli jika tiba-tiba ada perampok atau orang gila yang masuk kesana. Syukur-syukur kalau mereka di sekap ke dalam gudang. Air mata gadis itu sudah mulai banjir, rasanya ada paku yang menancap di dadanya, begitu menyakitkan. Pelarian Shanin berakhir di pinggir jalan perumahan mewah itu, nyatanya ia tak kuat berlari lama-lama dan mencari taksi untuk pulang. Apalagi karna energinya yang sudah mulai terkuras total karna menghadapi kelakuan macan-macan itu. Shanin mengelus-ngelus kakinya yang gemetar, matanya sudah sembab karna terlalu lama menangis. Namun otaknya tiba-tiba saja flashback pada kejadian-kejadian menyedihkan di sekolah, sepatunya yang di siram air terasi, semua isi tasnya yang pernah Abby buang kedalam tong sampah, makanannya yang di letakan cicak, lokernya yang di letakan anak ular, serta kejadian-kejadian menakutkan lainnya. Nyatanya ia lelah dengan semua itu, toh tubuhnya akan membusuk jika sudah mati nanti. Dari pada harus tersiksa? Memberikannya pada calon pelindungnya bukanlah hal yang sulit bukan? Rayuan iblis berhasil merasukinya, dengan tenaga yang ia punya, Shanin bangkit sesudah merapihkan seragamnya. Keputusannya sudah bulat, ia akan melakukan apapun untuk membuat Arga dan kawan-kawannya menjaganya. Baiklah Shanin, mari selesaikan. Cuma nyerahin tubuh ajakan? Bukan nyawa? Shanin bisa lakuin itu. ***** Suasana yang tadinya ricuh kini hening begitu ke tujuh pasang mata itu kembali melihat kehadiran Shanin dengan mata sembab dan hidung yang memerah, bahkan gadis itu masih terlihat sesegukan menahan tangisnya. "Shanin bakal lakuin itu," Sebuah kalimat tak diduga-duga datang menyapa telinga mereka, dan kali ini sangat terlihat ekspresi terkejud dari semua orang, bahkan Argapun tak bisa lagi mengontrol wajahnya. "Apapun yang buat kalian lindungin Shanin dari Abby, Shanin bakal lakuin itu." "Lo sadar sama ucapan lo barusan?" Richard bertanya dengan nada sinis, terlihat tak suka dengan apa yang baru saja Shanin katakan karna itu membuatnya seperti tak punya harga diri. Siapa peduli harga diri? Toh harga dirinya memang sudah mati di injak-injak oleh Abby dan teman-temannya. Shanin mengangguk pelan, membuat Arga tertawa meremehkan, "Waktu lo abis, lo udah cukup ngebuang waktu main kita." Arga menoleh ke arah Al, memberikan sebuah isyarat yang segera Al mengerti. Cowok itu mendekati Shanin dan mulai menyeretnya untuk pergi dari sana, namun nyatanya Shanin tak gampang menuruti seretan tangan Al dengan menepisnya sekuat tenaga, "Shanin cuma mau hidup Shanin di sekolah tenang. Udah cukup Shanin dibully selama dua tahun, kalo harus sabar setahun lagi, Shanin yakin Shanin bakal mati," "Kalian bisa anggep Shanin babu kalian, kalian bisa nyuruh-nyuruh Shanin asalkan kalian lindungin Shanin dari Abby dan temen-temennya. Cuma itu mau Shanin, apa kalian bener-bener gak bisa nolongin Shanin?" Ia kembali menangis dengan tangan yang berkali-kali menepis tangan Al, sepertinya cowok itu juga mulai merasa tak tega dengan gadis kecil yang tengah putus asa disampingnya itu. Membiarkan semua orang menatapnya dengan perasaan iba, bahkan sekarang gadis itu tengah berlutut dengan tangan yang memohon, "Shanin gak bisa pindah, Shanin gak mau biarin Mama tau masalah Shanin di sekolah. Shanin gak mau buat Mama sakit, jadi cuma kalian harapan Shanin. Tolong!" Karna merasa tak tega melihat seorang gadis mengemis-ngemis seperti itu, lagi-lagi Richard mengambil alih. Ia bangkit dari posisinya dan mulai mengangkat tubuh Shanin sebelum meletakannya dipundaknya. Yang bisa gadis itu lakukan hanya meronta-ronta hingga akhirnya mereka berdua berada di luar gerbang. "Lo bisa homeschooling,kan dirumah? atau lo bisa ngasih alesan lain untuk nyokap lo! Tapi gak gini caranya! Lo tau apa yang barusan lo lakuin itu bahaya!?" Mata Richard menyala, sepertinya cowok itu marah atas kelakuan Shanin barusan. "Shanin udah nyerah ngelakuin itu semua, harapan Shanin cuma ada di kalian. Apa Richard gak bisa bujuk Arga biar nerima Shanin di genk kalian?" Ia masih saja mencoba, bahkan sampai titik darah penghabisanpun, Shanin akan selalu mencoba. Richard tersenyum, emosinya mulai stabil melihat Shanin yang juga mulai tenang walau air matanya masih mengalir, "Pertama, kita bukan genk, tapi sahabatan. Dan kedua, kita gak nerima sahabat baru. Jadi mending lo balik dan berhenti keliaraan ke tempat asing terus iya-in permintaan b***t mereka. Okey?" Setelah berkata seperti itu, Richard menghilang di balik gerbang. Meningglkan Shanin dengan kegalauan yang sudah di ujung tanduk. Harapannya tak bisa pupus seperti ini saja, tak bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD