10. Bukan Mimpi Belaka

1243 Words
MASIH dengan sesegukan yang terdengar, napas Shanin terdengar memburu kala tiba-tiba badannya jatuh ke lantai karna kedua cengkraman dilengannya yang mendadak  lepas. Belum tahu apa yang terjadi, karna pandangannya masih menatap tanah dengan lutut yang berdarah karna goresan pada aspal. Namun begitu seseorang yang tadi mencengkram kuat lengannya nampak berguling beberapa kali di atas aspal, barulah Shanin mendongak dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Arga sibuk dengan lelaki berdasi, ia menendangnya, menghajarnya, bahkan menarik kerah jas laki-laki itu kuat sebelum akhirnya melemparkannya ke atas aspal, sementara Richard yang tadi baru saja menendang laki-laki berkumis itu nampak menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tanda ia menikmati hal ini. Pandangannya beralih begitu Al membantunya berdiri kemudian memberikan jaket miliknya kepada Shanin, membuat gadis itu terdiam dengan tatapan tak percaya. Raynzal, Arkan, Derren dan Steve yang sepertinya tak diperlukan nampak berdiri tepat di belakang Shanin. Sepertinya untuk mengurus ketiga badut ancol itu bukanlah hal sulit bagi mereka. Nyatanya hanya dengan Arga dan Richard saja, ketiga Om-Om tak ingat istri itu sudah lari terbirit-b***t. Meninggalkan ke tujuh  cowok tampan yang kini terlihat mengerubungi Shanin, menatapnya dengan wajah khawatir.  "Lo gak papa?" Tanya Richard yang kini mengalihkan pandangannya ke arah lutut Shanin yang berdarah, tak lama cowok itu terlihat berlutut sesudah mengambil sapu tangan yang berada dikantong celananya. Rasa perih menyerang saat sapu tangan milik Richard melingkar di atas luka miliknya agar luka itu tak banyak mengeluarkan darah. Selesai dengan pekerjaannya, si tampan itu kembali bangkit sebelum tersenyum manis ke arah Shanin. Melihat wajah Arga dan kawan-kawannya membuat jantung Shanin mencolos lega, ia memandangi satu persatu wajah yang ada disana, dan tak lama kemudian. "HUAAAAA!!!" Tangis Shanin pecah, hidung dan matanya tiba-tiba saja memerah. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, membuat ke tujuh orang itu membulatkan matanya bingung dengan pandangan yang refleks melihat sekitar. "Mampus! Nangis kan anak orang, gue bilang apa, Ga!" Steve masih sibuk melihat keadaan sekitar, kalau-kalau ada yang melihat dan salah paham dengan mereka. "Yah, tuhkan. Gila sih lo, gak tanggung jawab loh gue." Arkan berucap dengan tatapan yang tertuju pada Arga. "Eh-eh-eh, nanti ada yang liat dikira kita ngapa-ngapain lo lagi. Diem gak!" Omel Raynzal yang kini menepuk-nepuk punggung Shanin, bukannya diam, gadis itu malah tambah menguatkan tangisannya hingga membuat seluruh wajahnya kini memerah. Derren mendorong tubuh Raynzal pelan, "Anak cewek kalo lagi nangis jangan di bentak, pe’a! Makin-makin, kan?" "Iya-iya gak usah diem, nangis aja gak pa-pa." Ralat Raynzal yang kembali mendapat dorongan kecil dibahunya. Begitu seseorang mendekapnya ke dalam sebuah pelukan, barulah tangis Shanin berhenti. Wajah merahnya diganti dengan keterkejutan, “Udah ya? Balik yuk?" Richard mengelus-ngelus kepala Shanin lembut, kali ini hanya sesegukan Shanin saja yang terdengar. "Kalian dari mana aja?" Richard melepaskan pelukannya, membiarkan Shanin menatap kedua mata indah miliknya dengan mata sembab. "Sori, awalnya Arga mau iseng ninggalin lo sebentar doang, tapi kita kelupaan beneran ternyata, malah asik main billiard." Jawab Richard sembari menggaruk belakang lehernya yang tak gatal, mendengar jawaban itu membuat Shanin sontak beralih menatap Arga yang belum juga mengeluarkan suaranya. "Jadi mau nangkep Dwiki itu juga bohong?" Arga mengangguk tanpa beban, "Mana mau dia diajak ketemuan segampang itu?" Shanin kembali menggigit bibir bawahnya kesal, "Kalo tadi kalian kelupaan sampe pagi apa yang bakal terjadi sama Shanin coba? Mereka aja udah ngira Shanin mau jual diri, kalo sampe Shanin di apa-apain gimana? Bercandaan Arga tuh gak lucu, itu ngancem kehidupan Shanin!" Gadis itu berapi-api dan sedetik kemudian tangisnya kembali pecah. Membuat semua orang kembali menghela napasnya panjang, "Bekep aja yok mulutnya?" Raynzal mengeluarkan idenya, namun Richard dengan ganas memberikan tatapan tajam kepadanya. "Gimana, nih? Bisa sampe pagi kalo cewek nangis mah." Steve mengacak-ngacak rambutnya frustasi, matanya menatap Shanin yang masih saja meneteskan air matanya layaknya kran. "Ajak clubbing aja?" Usul Raynzal lagi yang masih mencoba menjadi 'bermanfaat', namun ide itu jelas saja tak diterima. "Heh, dia lagi nangis. Bukan lagi galau kayak lo yang bisa diobatin sama clubbing." Derren mengeluarkan kekesalannya atas ide tak masuk akal Raynzal. "Mau nangis terus gue tinggal, apa balik?" Suara berat Arga terdengar mulai lelah, tangan kanannya ia pergunakan untuk mengacak rambutnya malas. Menurutnya, Shanin terlalu berdrama ria. Dan Arga membenci drama, apalagi drama korea. Sedetik kemudian Shanin bungkam, ia menghapus air matanya kasar, "Balik." ia tidak mau ditinggal lagi ditempat menyeramkan seperti ini. Richard tersenyum geli melihat perubahan kilat ekspresi Shanin. "Lah, nurut sama lo, Ga!" Ucap Steve dengan menahan tawannya, bingung sendiri melihat kelabilan emosi gadis di hadapannya itu. Tanpa mengatakan apapun lagi, Arga terlihat mulai beranjak menuju mobil yang tak terparkir jauh dari posisi mereka. Disusul Shanin yang masih terlihat sesegukan menahan tangis dan kawan-kawannya yang lain. ***** Perlahan tapi pasti mata bengkak milik Shanin akibat menangis semalaman nampak mulai terbuka, menyatu dengan sinar matahari pagi yang sangat mencolok. Membuat keningnya berkerut karna ia harus menyesuaikan cahaya yang saat ini sedang terang benderang.Ia sempat terdiam di posisinya untuk beberapa saat, memastikan bahwa nyawanya telah kembali seutuhnya. Setelah itu gadis yang memakai kemeja berwarna putih yang kebesaran dibalut celana pendek miliknya terlihat bangkit dengan rambut yang masih super berantakan. Matanya menatap sekitar, baru ingat kalau dirinya masih berada dirumah Arga. Semalam sehabis acara tangis menangisnya yang tak henti-henti, akhirnya gadis itu ketiduran di sofa ruang tamu Arga sesudah memakan habis satu cup besar ice cream 'sogokan' dari empunya rumah. Entah mengapa ia bisa berpindah ke kamar milik Arga, Shanin tak mengambil pusing. Begitu yakin kalau dirinya tersadar total, barulah kaki indah itu perlahan turun dari ranjang besar sebelum beranjak keluar kamar. Matanya melotot begitu melihat ke tujuh orang yang tengah tertidur pulas di tempat yang berbeda-beda dengan bau alkohol yang menyengat hidung dan puluhan puntung rokok juga snack yang berserakan dimana-mana menyapa matanya . Entah apa yang terjadi, sepertinya semalam mereka habis berpesta. Manik Shanin beralih ke arah seseorang yang tengah tertidur di atas meja billiard dengan posisi terlentang, dia Steve. Sedangkan di sekitar tubuh cowok itu terdapat banyak sekali bungkus kacang. Lalu di sofa depan televisi, terdapat Richard yang nampak tidur dengan posisi duduk. Tepat di samping kirinya, ada Arkan. Cowok itu nampak memangku sebuah botol alkohol yang telah kosong. Tak jauh darinya, tepatnya yang tengah tengkurap di atas karpet bulu berwarna hitam, ada Raynzal. Ia tidur dengan bertelanjang d**a, memperlihatkan tato bergambar anak kecil berambut panjang berukuran besar di punggungnya dan Shaninpun cukup terkejud melihatnya. Ia fikir Raynzal hanya memiliki satu tato, namun dugaannya salah besar. Beralih ke seseorang yang sedang tertidur pulas di atas meja kaca sambil memeluk sebuah guling, cowok itu adalah Al. Tepat di sampingnya yang sedang tertidur dengan terlentang dengan kepala yang di tutupi bantal adalah Derren. Mungkin mereka menganggap kalau meja kaca berukuran sedang itu adalah sebuah ranjang. Dan sepertinya pula, dari semua posisi tidur, hanya Arga yang terlihat normal. Cowok yang berada di mini bar miliknya itu tertidur dengan posisi kepala yang diletakan di atas meja, sedangkan tangan kirinya dijadikan tumpuhan untuk kepalanya. Melihat hal itu membuat Shanin berjalan menghampirinya, matanya sempat beralih ke arah rak dengan puluhan botol minuman keras yang berada di hadapannya. Benar-benar layaknya sebuah bar. Namun beberapa saat kemudian ia kembali beralih menatap Arga yang nampak masih tertidur pulas dengan bibir yang sedikit manyun. Menggemaskan. Wajah yang tenang dengan helaan-helaan napas pelan yang diperdengarkan membuat ia terlihat sungguh lucu. Tidak seperti Arga yang biasanya, jutek, dingin, bahkan sangat jahat karna kemarin sudah meninggalkannya. "Ngapain ngeliatin gue?" Shanin terlompat kaget kala suara bariton Arga terdengar jelas di telinganya. Menyadari kalau apa yang tengah terjadi kepadanya semalam maupun hari ini, bukanlah mimpi belaka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD