9. Misi Pertama

1611 Words
SUAPAN terakhir Sushi salmon miliknya nampak sudah ludes ke dalam perut, tinggal sebuah ocha saja yang kini tengah ia minum hingga habis. Kecil-kecil gini Shanin adalah orang yang tak tahu diri bila sedang makan. Apalagi kalau makan-makanan kesukaannya. Ia akan lupa dengan lingkungan. "Si Anjing itu belom ke tangkep juga?" Samar-samar Shanin mendengar perbincangan mereka yang saat ini tengah berada di ruang tengah, meninggalkan Shanin dan Raynzal yang sibuk dengan sushinya masing-masing. "Susah njir, dia pinter banget kaburnya." Kali ini Derren bersuara, Shanin tak bisa melihat mereka karna terhalang oleh piano, namun Shanin hafal suaranya. Helaan napas panjang diperdengarkan oleh Arga, "Kita pancing aja gimana?" "Pake? Lo fikir gampang? Dia pinter loh, hacker gitu. jadi gak bakal bisa dikibulin gampang. Anak setan emang." Arkan berkata dengan suara menggebu-gebu, dari suaranya saja sangat ketahuan bahwa cowok itu sedang emosi. Shanin menatap Raynzal yang masih fokus dengan kelima sushi terakhirnya, "Mereka ngomongin apa?" "Ada anak Anjing yang ngerjain kita, masih buron tapi, belom ke tangkep polisi," Raynzal menjawabnya tanpa berfikir dua kali, sepertinya ia lupa dengan siapa yang sedang ia ajak bicara saat ini. Karna mendapat tanggapan bagus, Shaninpun kembali melanjutkan rasa penasarannya, "Anak anjing? Siapa? Ngerjain kalian apa?" Raynzal beralih pandang, dalam hati Shanin sudah pasrah bila dibentak dan diteriaki 'kepo' sama cowok satu ini, "Dwiki, SMA sebelah. Dia pernah naro h****n gitu ditas Derren sampe buat dia masuk penjara. Tapi karna ada rekaman CCTV waktu itu, jadi sekarang polisi ngejar dia." Shanin terkejud akan dua hal, yang pertama karna Raynzal ternyata menyadari kalau ia sedang bicara dengan Shanin namun tetap bersikap lembut padanya, dan kedua mengenai fakta bahwa Derren si jenius itu pernah masuk penjara. Namun sepertinya, ia lebih terkejud dengan fakta yang pertama. "OH IYA!" Raynzal tiba-tiba berteriak dan bangkit dari posisinya, sepertinya cowok satu ini memang hobi mengagetkan orang. Ia terlihat berjalan ke arah enam orang yang tengah berbincang serius itu. "Ah! Bau! Pergi lah!" "Nyet, demi apapun gue mau muntah." "RAYNZAL! AH!" Shanin tersenyum geli begitu mendengar keluhan dari Arga, Richard dan Arkan yang dengan kesal mendorong tubuh Raynzal, "Wait, wait. gue punya ide bagus, jadi mending kalian tahan baunya," "Sampe gak penting, jangan harap lo bisa pesen sushi lagi dirumah gue!" "Oke-oke, jadi gini, si b*****t itu suka bawa cewek ke motel, kan?" Raynzal bersuara, membuat keenam temannya itu bungkam. "So?" "So, kita suruh aja Delia cabe-cabean itu untuk mancing dia. Ajak ketemuan, pas masuk motel, langsung sergap deh. Gimana? Pinter kan gue?" "Delia? Mantan Steve?" Semua orang tertawa terbahak-bahak begitu Al mengeluarkan pertanyaannya. "Heh! Gue sama dia itu cuma ONS! Enak aja mantan gue, sori ya!" Bantah Steve cepat, "Tapi serius mau Delia? Ah jangan lah, gue males liatnya. Rasanya gak enak pula." "Ye kutil, emang kita nyuruh dia ONS sama lo? Kan buat mancing doang," "Tapi tetep aja, gak ada yang lain? Yang lebih cakep dari dia gitu?" "Shanin bisa bantu," Semua pandangan beralih kepadanya, sedangkan yang ditatap kini terlihat tersenyum polos. "Bantu apa?" Alis Arkan naik sebelah. "Bantu buat mancing si anak anjing itu, Shanin bisa bantu!" Lagi-lagi ucapan Shanin hanya mereka anggap angin lewat, semuanya hanya nampak tersenyum tak perduli lalu kembali menatap satu sama lain, mencari jalan keluar atas ide yang Raynzal ucapkan. "Tapi boleh juga," Semua mata beralih menatap Arga dengan kaget, "Lo yakin bisa bantu?" Shanin mengangguk cepat, "Cuma sampe motel aja kan?" "Lo gila?" Sambar Richard dengan nada tak sukanya. "Kenapa? Kan dia yang mau, lagian mukanya juga lumayan." Balas Arga cepat yang kemudian menampilkan senyum penuh arti kepada teman-temannya. Dan bodohnya, kepolosan Shanin tak menyadarkan arti dari senyum yang Arga tampilkan disaat anak baru lahirpun pasti mengerti kemana arah dari persetujuan yang Arga utarakan. ***** ENTAH sudah ke berapa kalinya Shanin menurunkan rok yang menurutnya sangat amat pendek itu. Saat ini tubuhnya sudah terbalut dengan dress mini blink-blink berwarna ungu muda yang sangat amat terbuka menurut Shanin. Ini kali pertamanya ia mengenakan pakaian yang super kekurangan bahan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, memberikan kesan yang 'seksi'. Kakinya yang biasanya beralaskan sepatu yang bau terasi kini terhias indah menggunakan high heels cantik bermodel gladiator. Tidak terfikir siapa yang memilihkan ini untuknya. "Waw!" Shanin sempat mendengar ada seseorang yang berkata seperti itu begitu ia keluar dari dalam kamar mandi dengan penampilan yang super berbeda, bahkan saat ini ia menggunakan riasan di wajah walau dengan tipis. Namun nyatanya memberikan efek yang luar biasa. "Kependekan, ya?" Semua orang menggeleng cepat begitu pertanyaan itu keluar dari bibir berlipstick merah terang miliknya, "Make-up Shanin ketebelan?" Lagi-lagi mereka semua menggeleng cepat, "Cantik kok." Celetuk Steve yang kini tengah menggigiti sedotan di hadapannya. "Kita naik motor?" "Enggak lah, dress lo sependek itu. Bawa mobil Arga aja, gue yang nyetir." begitu selesai menjawab pertanyaan Shanin, Richard terlihat beranjak setelah mengambil kunci mobil yang menggantung di dinding. Sebuah mobil berukuran besar terparkir tepat di depan gerbang rumah Arga, membiarkan para penumpangnya naik dengan Shanin yang duduk di samping pengemudi, Arga, Steve dan Al yang berada di tengah, sementara Derren, Arkan dan Raynzal duduk di belakang. "Kita janjian dimana?" Richard yang saat ini sedang fokus menyetir kini bersuara begitu mereka terlihat sudah berada di jalan raya. "Taman deket motel Indah Jaya," Jawab Arga yang padahal tengah memakai sebuah earphone, namun sepertinya cowok itu masih dapat mendengar suara di sekelilingnya dengan baik. "Demi apa? Itukan sepi banget," Ucap Steve dengan kaget. "Justru karna sepi, oon! Mana mau dia ke tempat rame." Steve mengangguk-ngangguk begitu mendengar jawaban Raynzal. Sementara Shanin hanya bungkam dan mendengar percakapan mereka, ia tak terlalu ambil pusing atas kemana dirinya dibawa karna yang perlu ia lakukan adalah membantu mereka untuk menangkap sang penjahat. Perjalanan memakan waktu cukup lama, bahkan Shanin sempat tertidur walau tak sampai pulas. Namun ketika membuka mata, ia disuguhkan oleh sebuah taman yang gelap nan sepi. Mungkin hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang. Selebihnya hanya semak-semak dan pepohonan. "Lo turun gih, dia bentar lagi sampe," Shanin menoleh ke arah belakangnya, menatap Arga yang masih dengan santai memainkan iPodnya, lalu pandangannya beralih ke arah sekitar, mendeskripsikan taman sepi ini di otaknya. "Cad, tuker tempat. Biar gue yang nyetir," Pinta Arga yang segera Richard patuhi. Kini Argalah yang duduk di sampingnya. "Kalian gak bakal kemana-mana, kan?" Firasat Shanin entah kenapa kurang baik, ia menatap Arga dengan wajah seriusnya. "Kita bakal liatin lo dari sini, terus kita bakal ngikutin lo sampe motel. Abis itu kita masuk dan nangkep dia." Perjelas Arga yang entah sudah ke berapa kalinya, namun nyatanya hal itu tak membuat firasat Shanin membaik. Ia sempat menggigit bibir bawahnya ragu. Namun tekadnya sudah bulat, ia pun berniat untuk membuka pintu sebelum seseorang memanggilnya. "Hati-hati." Ucap Richard yang segera Shanin balas dengan tersenyum sebelum dirinya berjalan keluar dari dalam mobil dengan tangan yang mengusap-ngusap bahunya. Cuaca malam hari ini sangat dingin, padalah jam masih menunjukan pukul delapan malam. Shanin mulai melangkah, ia sempat menoleh ke arah mobil milik Arga yang masih berada di tempatnya. Dengan perlahan-lahan gadis itu berjalan ke arah bangku taman dan duduk disana, tak ada orang lagi selain dirinya. Tiba-tiba saja nuansa berubah menjadi horror. Namun bukan itu yang membuat Shanin ketakutan, namun mesin mobil Arga yang menyala lah justru yang membuat Shanin ketakutan. Dengan tatapan yang tak lepas dari mobil berwarna biru tua itu, Shanin mengepalkan tangannya. Ketakutannya tambah menjadi saat mobil milik Arga terlihat pergi dari sana, meninggalkan Shanin dengan wajah kagetnya. "Arga cuma markirin mobilnya biar gak keliatan sama Dwiki, kan?" Ia berfikir positif, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Shanin menunggu dengan tubuh yang sudah mulai gatal-gatal karna digigiti oleh nyamuk, namun batang hidung Dwiki nampak masih belum terlihat, padahal tadi Arga bilang sudah dekat. Kemana orang itu? Kemana pula Arga memarkirkan mobilnya? Shanin menggigiti bibir bawahnya panik, "Arga parkir dimana? kenapa belom dateng juga? Shanin gak bawa dompet sama ponsel lagi." Ucapnya pada diri sendiri yang terlihat mulai memandangi sekitar "Widih, ada yang bening nih!" Shanin terlonjak kaget begitu mendengar seseorang bersuara dari arah sebelahnya, dan spontan Shanin terlihat membulatkan matanya dengan pandangan yang lurus menatap ke arah tiga orang itu secara bergantian. Dengan cepat Shanin bangkit, tak lupa menurunkan dressnya agar tak begitu pendek walau nyatanya hal itu percuma, "Ngapain di sini, sayang? Dingin, mending ikut kita, yuk?" Lelaki lainnya berucap dengan mata nakal yang melihat tubuh Shanin dari bawah hingga ke atas. "Jangan pegang Shanin!" Ucap Shanin marah begitu salah satu lelaki berdasi itu mencoba untuk menarik lengannya, namun amarah Shanin justru dikira lelucon bagi mereka. "Sayang, udahlah jual mahalnya. Kita tau kok, lo kesini itu emang buat jual dirikan? Jadi udahlah, nurut aja." Mata Shanin berkaca-kaca mendengar ucapan menyakitkan dari lelaki berkumis tebal itu, "Pergi atau Shanin panggil polisi?" Lagi-lagi mereka tertawa geli, "Jangan sampe dipaksa deh, nanti kamunya kesakitan nanti kita yang sedih." Kalo Arga dan teman-temannya ada disekitar sini, pasti mereka udah bantu Shanin, kan? Itu artinya mereka gak ada. Kasih selamat, karna Shanin dikerjain. Firasat Shanin terbukti. Keringat dinginnya keluar begitu seseorang nampak menarik lengan kanannya dengan kasar, sangat kasar. Membuat lengan Shanin terasa panas, "Ikut gak!" Bentak lelaki berdasi itu yang seketika mengeluarkan bau minuman keras dari mulutnya. Mereka mabuk, Shanin harus apa? Seretan kedua datang di lengan kirinya yang kali ini membuat tubuhnya ter-angkat, air matanya tumpah. Mimpi buruk apa lagi ini? Abby saja belum cukupkah? "Lepas! Aw, sakit!" Shanin merintih dengan lemas, tiga jam menunggu nyatanya membuat tenaganya habis, ia kelelahan. Untuk melawanpun tak sanggup. "Lepas, sakit!" rintih Shanin lagi dengan suara lemahnya, tubuh mungilnya sudah terlihat terangkat oleh kedua orang berbadan besar itu. Untuk kesekian kalinya, tak ada gubrisan. Dan kali ini, Shanin terlihat pasrah. Ia menangis dengan mata tertutup. Merelakan apa yang sebentar lagi akan terjadi kepada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD