12. Minggu Terindah

1717 Words
BAGI Shanin, ini adalah hari minggu terindah sedunia. Bagaimana tidak, biasanya yang ia lakukan pada saat hari minggu adalah menonton film doraemon atau drama korea dikamar seharian. Keluar-keluar paling ketika makan, setelah itu Shanin akan kembali lagi ke kandangnya. Namun hari ini, seharian full Shanin berada di rumah Arga dengan di keliling oleh pangeran-pangeran tampan yang melakukan kegiatan yang belum pernah Shanin lakukan sebelumnya. Ini serasa mimpi, bahkan Shanin masih belum tahu mengapa ia belum juga di usir dari sana. Apa mungkin mereka semua masih mengingat Shanin sebagai penolong Al? Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu. "Ngapain?" Suara Derren menyapa, Shanin yang tadi sedang sibuk memandangi langit malam dari balkon rumah Arga terlihat mengalihkan pandangannya. Ia cukup terkejud melihat siapa yang menyapanya, karna dari antara ke tujuh orang itu, hanya Derren dan Argalah yang jarang sekali mengeluarkan suaranya, "Mau jernihin fikiran Shanin, soalnya ini serasa mimpi," Shanin kembali menatap langit, Membuat Derrenpun ikut melakukan hal yang sama, "Kita semua ngerasa berhutang sama lo," "Berhutang? Karna Al?" Derren mengangguk, "Al itu paling muda dari kita semua," Shanin terdiam, jarang-jarang ia dapat mendengar suara emas milik Derren, jadi ia benar-benar-benar harus memfokuskan telinganya, "Kita udah nganggep kalo dia itu adik kandung kita, jadi kita jagain dia banget karna dia juga yang paling gak jago berantem." Pantas saja waktu itu Al jatuh terkapar seperti itu, ternyata Al tak jago berkelahi. Lagi pula siapa yang akan menang melawan sembilan orang? Menggunakan s*****a pula. "Soal anceman tadi pagi, kita minta maaf," lanjut cowok yang kini tengah memakai kaos oblong berwarna hitam itu, "Gara-gara kita, lo jadi berurusan sama Denzel," "Itu bukan salah kalian kok, kan Shanin yang niat nolongin Al. Jadi kalian gak ada sangkut pautnya," "Lo gak tau aja Denzel kayak gimana, jelas-jelas dia tau kalo Arga, gue, dan semuanya kecuali Al jago banget berantem. Tapi dia tetep aja mukulin Al, bukannya nyali dia gede?" Ucap Derren yang mulai membara, sangat terlihat kalau disini Al berperan sebagai anak emas yang di sayang oleh kakak-kakaknya, he's pretty lucky, huh? Shanin mematung, kalau mereka berani cari mati dengan memukuli Al yang notabennya adalah 'genk Arga', bukan hal sulit untuk mereka melakukan hal yang sama kepada Shanin, benarkan? Lagi pula siapa Shanin? Dia hanya seseorang yang dianggap Arga CS sebagai 'penyelamat Al', namun Shanin tahu, kalau julukan itu tak akan bertahan selamanya dan akan luntur, layaknya Cinderella yang akan kembali ke dunia nyata ketika jam menunjukan pukul dua belas malam. "Kalian bisa ngajarin Shanin berantem gak?" Entah ide dari mana yang membuat otaknya tiba-tiba berfikir seperti itu, dan hal itu jelas membuat Derren menoleh dengan alis yang ia naikan sebelah, "Berantem?" Shanin mengangguk, "Iya, Derren bisa?" Bukannya menjawab, cowok itu malah tertawa kecil. Padahal jelas-jelas Shanin sudah memasang tampang seserius mungkin. Tanpa merubah ekspresinya, Shanin hanya menatap Derren dengan bibir manyunnya. Dan begitu Derren sadar kalau gadis disebelahnya itu sedang serius, ia terlihat menghentikan tawanya dan berdehem canggung. "Emang lo mau berantem sama siapa? Denzel?" Shanin menggeleng cepat, tentu saja bukan. Al saja habis babak belur, bagaimana dia? Mau jadi apa Shanin kalau mencoba macam-macam dengan cowok bernama Denzel itu? "Abby," Derren memutar kepalanya, menatap manik Shanin yang saat ini tengah menatap lantai, "Lo tuh sama Abby-Abby itu musuhannya udah lama?" Sepertinya baru kali ini Derren terlihat mulai ingin tahu dengan masalahnya, "Kok Derren tau tentang Abby?" Cowok itu menaikan alisnya bingung, lagi, "Kan lo pernah cerita di depan kita semua, lupa?" "Inget, tapi waktu itukan Derren gak respon apapun. Kirain Shanin, Derren gak dengerin." Balasnya sembari cengengesan. Cowok disampingnya ikut menampilkan senyum kecil, "Guekan punya kuping, ya denger lah. Gue emang males ngomong, tapi sekarang gak tau deh, gue terlalu kepo sama masalah lo," Shanin menggigit bibir bawahnya, entah mengapa ia merasa bahagia karna membuat 'Derren si jenius' itu akhirnya membuka mulutnya dan menanyakan seputar masalahnya. "Gue sempet liat lo beberapa kali di bully sama Abby-Abby itu, sebenernya ada apaan sih?" Shanin sempat berfikir sejenak, bahkan ia menarik napasnya dalam-dalam, "Sebenernya gak ada yang penting, Cuma gara-gara cowok yang Abby suka itu nembak Shanin, ngebuat Abby jadi segitu bencinya sama Shanin." Derren sempat mendengus tak percaya, hanya gara-gara seorang cowok yang membuat gadis polos seperti ini dibully habis-habisan? Bukannya itu berlebihan? Sangat. Eh tunggu, bisa jadi juga karna Abby yang ingin mencari perhatian dengan sok berkuasa. "Cowoknya siapa emang?" "Chris. Chris Aziquel, Derren kenal?" Mendengar perkataan Shanin tiba-tiba Derren membeku, bahkan sepertinya cowok itu tak bernapas. Membuat Shanin sempat menggoyang-goyangkan jarinya di hadapan wajah cowok itu bahkan sampai mengguncang bahunya pelan. "Derren kenapa?" Ditanya seperti itu hanya dibalas cowok berperawakan tinggi itu dengan senyum aneh dan gelengan kepala pelan. Baru saja Shanin ingin bertanya lagi, seseorang dari dalam pintu kaca terlihat mengalihkan pandangan mereka, "Ngapain pada di sini?" Richard menatap kedua makhluk itu bergantian, kemudian ia terlihat duduk di sebuah sofa yang berada tak jauh dari keberadaan Shanin, "Masuk gih, dingin." Ucapan terakhir Derren yang kemudian menghilang ke dalam rumah, meninggalkan Shanin dengan segudang pertanyaan atas perubahan sikap Derren yang terlalu tiba-tiba. "Derren kenapa?" Richard ikut merasakan hawa dingin yang terjadi atas perubahan sikap Derren, ditanyai seperti itu jelas membuat Shanin menggeleng, tanda bahwa ia tak tahu. "Oh iya!" Shanin kembali berwajah excited, "Richard bisa ajarin Shanin berantem?" Tawa kecil Richard meledak, wajah cowok itu bahkan memerah, "Mau berantem sama siapa emang? Abby?" Shanin mengangguk cepat dengan wajah seriusnya, setidaknya kebersamaannya dengan genk yang suka berkelahi dan membuat onar tak boleh Shanin sia-siakan karna kesempatan seperti ini bisa jadi hanya datang satu kali. Jadi setidaknya ia harus mendapatkan sedikit ilmu agar bisa melindungi diri. "Tangan lo kecil gitu, mau patah?" Lanjut Richard yang kini beranjak bangkit lalu berniat pergi, namun baru beberapa langkah cowok itu nampak kembali dan berjalan ke arah Shanin. "Heh!" Ucapnya sembari menyentil pelan dahi Shanin gemas, "Lain kali kalo ada paket misterius gitu, jangan langsung di buka! Kalo misalkan itu bom gimana?" Shanin memanyunkan bibirnya dengan tatapan lurus menatap Richard yang hanya berjarak satu langkah dihadapannya, "Ngerti gak?" Dengan bibir yang masih manyun Shanin mengangguk, hal itu membuat bibir Richard berkedut menahan tawa. Kemudian ia terlihat kembali melangkah dan pergi menghilang ke dalam rumah. Sehabis terkena omelan, Shanin sempat terdiam sebelum sebuah ide kembali terlintas, ia tak bisa pasrah sekarang. Dengan cepat Shanin nampak masuk ke dalam, mencari sosok Arga yang jarang sekali ia temui, cowok itu lumayan penyendiri, tak seperti semuanya yang selalu terlihat bersama dan bermain hal-hal aneh. Shanin berjalan menuju Raynzal yang kini tengah bermain kartu dengan Arkan dan Steve di sofa depan TV, "Raynzal, liat Arga?" Tanyanya dengan pandangan yang menyapu mini bar milik cowok itu, namun penghuninya tak ada disana. Tumben. Raynzal yang kini tengah mengintip kartunya dengan hati-hati terlihat tak menoleh dan tetap fokus, "Enggak, dibawah kali, apa di atas. Apa dikamar? Gak tau deh, gue bukan emaknya." "Jam-jam segini biasanya dia di atas, coba aja cari." Al membantu jawab, membuat Shanin mengangguk dan sempat berterimakasi sebelum berlari kecil menuju lantai tiga yang baru terlihat seperti 'rumah'. Karna di lantai dua, tempat mereka biasa berkumpul, sudah tidak bisa di anggap rumah lagi mengingat semua perabotan yang terlihat berantakan bukan main. Namun nuansa di lantai tiga rumah Arga sangat jauh berbeda, sofa yang tersusun rapih di tengah ruangan, hiasan-hiasan yang tertata rapih di dinding, piano besar di sudut ruangan, dan berbagai perabotan lain. "Arga?" Suara Shanin menggema di seluruh ruangan, tak ada sautan, membuat matanya mencari-cari sekitar ruangan hingga pencariannya berhenti di sebuah tangga yang menuju ke loteng. "Arga di atas?" Lagi-lagi tak ada sautan, Shanin sempat menimang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk naik ke atas tangga yang terbuat dari kayu itu. Jantung Shanin berpacu, mengingat seperti apa loteng di rumahnya yang menurut Shanin sangat amat menyeramkan dan penuh debu. Namun begitu kaki yang tak beralaskan itu sampai di atas, matanya di buat takjub. Ini bukan loteng, lebih seperti tempat nongkrong dengan suasana sejuk. Beberapa lampu tempel terlihat menyala, musik dengan beat pelan juga mengalun, tak ada debu atau hewan-hewan loteng biasanya. Beberapa sofa kecil yang langsung menghadap ke jendela kaca tersusun rapih, bahkan ada sebuah rak buku yang di isi oleh puluhan buku berbeda genre dengan lantai berhias karpet bulu berwarna putih. "Ngapain?" Suara berat Arga menyapa, cowok itu bahkan tak menoleh, namun sepertinya ia sudah tahu kalau perusuhnya pasti adalah Shanin. Cowok itu kini tengah duduk di salah satu sofa dengan tangan kanan yang memegang rokok dan tangan kiri yang memegang gelas kecil berisi Vodka, "Arga ngapain sendirian disini?" tanya Shanin dengan pandangan yang terlihat masih menyapu seluruh ruangan. Cowok itu tak menjawab, membuat Shanin menoleh dan memperhatikan mata Arga yang saat ini tengah terpejam, tak menghiraukan pertanyaan Shanin, "Arga?" Lagi-lagi tak ada jawaban. membuat Shanin memanyunkan bibirnya kesal. "Arga bisa ajarin Shanin berantem?" Cowok itu membuka matanya, pertanyaan yang memancing cowok berwajah tampan itu menoleh ke orang disebelahnya dengan tatapan sarkastik. Jelas saja ia kembali tak merespon permintaan Shanin dan malah bangkit dari posisinya sebelum mematikan rokok miliknya di asbak. Kemudian Arga berniat untuk turun ke bawah karna suasana tentram dan nyamannya sudah terusik dengan kehadiran gadis bawel ini, namun Shanin yang melihatnya terlihat ikut bangkit lalu menghadang Arga dengan cara berdiri di hadapannya sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Cowok itu berhenti berjalan, matanya lurus menatap Shanin dengan ekspresi datarnya, "Arga beneran gak mau ajarin Shanin berantem? Sekali aja, janji deh." Cewek itu memohon, namun lagi-lagi hal itu tak mempan. Arga hanya menghembuskan napasnya kasar lalu meminggirkan tubuh Shanin agar menyingkir dari hadapannya, tapi lagi-lagi gadis itu mencoba menghadang Arga. Membuat Arga dengan kesal menarik tangan Shanin kasar sebelum mendorongnya pelan ke sudut tembok. Kini mata mereka saling pandang dengan jantung Shanin yang berpacu cepat, tak siap dengan apa yang tiba-tiba Arga lakukan sekarang, "A-Arga ngapain?" Tanpa menjawab, cowok itu menekan leher Shanin dengan menggunakan sikunya, membuat gadis itu kesulitan bergerak juga bernapas, "Coba lepasin diri lo dari gue dulu, baru gue ajarin lo berantem." Tantang cowok itu tajam dan tegas. Jelas saja Shanin tak bisa melakukannya, meski ia sudah mencoba sekuat tenaga hingga membuat kepalanya sedikit pusing, tetap saja yang terlihat hanya dirinya yang tengah meronta-ronta tak jelas. "Nyerah?" Shanin memanyunkan bibirnya, dahinya berkerut dengan tatapan pedas yang tertuju kepada Arga. Namun yang di tatap malah tersenyum merendahkan sebelum melepaskan tekanannya. "Jadi jangan mimpi untuk belajar berantem." Kemudian ia terlihat pergi, meninggalkan Shanin dengan tangan yang mengelus-ngelus lehernya. Cowok kejam itu memang akan selamanya kejam, dasar pelit ilmu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD