11. Pesan Misterius

1356 Words
"NGAPAIN ngeliatin gue?" Shanin terlonjak kaget sampai hampir jatuh menabrak kursi begitu melihat mata Arga yang tiba-tiba terbuka, "A-Arga gak tidur? Bukannya semalem abis pada minum?" Arga merubah posisinya menjadi duduk, "Di antara kita, cuma gue yang paling kuat minum." Jawabnya yang berniat kembali meminum segelas wine yang berada di hadapannya, namun dengan cepat Shanin mengambilnya kemudian menjauhkannya. Arga yang melihat hal itu hanya menatap Shanin dengan datar, "Arga sarapannya minuman beralkohol? Gak baik tau. Sebentar," Shanin beranjak dari posisinya, berjalan menuju kulkas lalu mengambil satu botol air putih. "Nih, minum air putih biar pusing Arga ilang," ucap gadis itu yang sudah kembali pada posisinya semula. "Gue gak pusing dan gak mabok." Balasnya datar yang kembali berniat mengambil gelasnya, namun lagi-lagi Shanin menghalanginya. "Tapikan Arga juga abis minum, nanti cepet mati loh." Sebuah dengusan kesal keluar, "Gue minum gak minum juga bakal mati." Shanin membenarkan, iya juga sih, matikan di tangan Tuhan, bukan di tangan Wine ataupun Vodka, "Tapi tetep aja, minum air putih dulu," Karna malas berdebat yang membuat kepalanya terasa cenat-cenut, Argapun dengan kesal memilih untuk mengambil botol berisi air putih itu lalu meneguknya hingga habis. Shanin yang melihatnya tersenyum senang. "Lo gak sekolah?" Tanyanya begitu selesai melirik jam dinding yang menunjukan pukul sebelas. "Ini kan hari minggu," jawabnya cepat, tapi tunggu, "Emang Arga suka sekolah kalo hari minggu?" Helaan napas panjang diperdengarkan Arga, ia kemudian bangkit tanpa mau menjawab pertanyaan tak penting Shanin. Meninggalkan Shanin dengan segudang rasa penasaran yang hanya bisa menatap punggung Arga yang menjauh, memasuki kamar mandi. "Morning!" Kepala seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sofa terlihat mengalihkan pandangan Shanin. Ya Tuhan, muka Richard emang selalu tampan dalam keadaan apapun. "Morning!" Balas Shanin dengan melengkungkan senyuman, namun sedetik kemudian ia nampak kembali mengambil botol minum dari dalam kulkas, sama dengan apa yang ia lakukan untuk Arga, namun kali ini ia melakukannya untuk Richard. "Minum dulu biar pusingnya ilang." Shanin menjulurkan tangannya seraya memberikan sebuah botol minum, sedangkan yang disuguhkan terlihat dengan senang hati mengambil lalu meneguknya sampai habis, tak ada bantahan seperti yang dilakukan Arga. "Agh!" Richard memegangi kepalanya, "Arkan s****n nih bikin gue mabok, pusing kan!" Keluhnya kesal dengan kedua tangan yang memijat-mijat kepalanya frustasi. "Semalem emang ada apa, sih? Kok sampe pesta gini?" Tanya Shanin begitu melihat sekeliling ruangan yang nampak kacau balau. Richard tersenyum, "Gak ada apa-apa, kadang kita emang suka gila-gilaan aja. Untung lo gak kebangun, kita gak terbiasa ada cewek disini soalnya." Shanin mengangguk-ngangguk sok mengerti, "Lo nginep sini gak dicariin nyokap lo? " Shanin kini menggeleng, "Papa lagi nemenin Mama berobat, mereka emang jarang pulang. Biasanya Shanin cuma sama Leo," Richard menaikan alisnya sebelah, "Leo? Cowok lo?" Sebuah tawa kecil Shanin perlihatkan, "Nama boneka beruang Shanin." Richard menahan tawanya, entah mengapa ia merasa lega mendengarnya. "Awh! b*****t!" Pandangan kedua orang itu beralih ke arah Raynzal dengan wajah kacaunya. Cowok itu kini duduk dengan mata yang masih terpejam, rambut super berantakannya nampak ia acak-acak, berharap dengan melakukan hal itu akan membuat pusingnya hilang. "Abis berapa botol lo?" Tanya Richard sembari mengeluarkan tawa kecilnya, menampilkan lesung pipi di kedua sisinya yang membuat detak jantung Shanin berpacu cepat. Raynzal menoleh ke arah Richard dengan malas, bahkan cowok itu hanya membuka sebelah matanya dan kembali menutupnya begitu tahu bahwa Richardlah yang bertanya, "Dua kayaknya, apa tiga? Au dah." Shanin yang mendengarnya hanya membuka mulut dengan menggelengkan kepalanya, dan hal itu membuat Richard yang melihatnya kembali tersenyum, "Kalian biasanya sarapan apa? Shanin beliin, atau enggak Shanin buatin?" "Nasi goreng, Emang lo bisa masak?" Ditanya dengan nada meragukan seperti itu membuat Shanin mendengus kesal, "Bisalah! Nasi goreng apa? Seafood? Ayam? Bakso? Jamur? Maunya apa?" "Yakin?" tanya Richard masih ragu dengan menaikan sebelah alisnya. Shanin mengangguk cepat. Lagi. "Kita gak biasa sarapan, gak usah repot-repot." Sebuah suara datang dari Arga yang baru saja keluar dari kamar mandi, cowok itu kini berjalan ke arah sofa depan TV lalu segera menyalakannya. "Gue suka roti bakar, Raynzal sushi, Arga donat madu, Al sayap ayam, Arkan bakso, Derren sup krim, Steve--"." "MANGA!" Steve memotongnya, membuat Shanin menoleh ke arah seorang cowok yang kini tengah duduk bersila di atas meja billiard. "Manga? Itu makanan apa? Sejenis Mangga? Apa temennya?" Tanya Shanin dengan berfikir keras, ia tak pernah mendengar nama makanan aneh itu. "Gak usah ngerjain anak orang mulu, kasian," Al bersuara, ternyata ia juga sudah bangun, “Pesenin aja kentang goreng pake ojek online, kita semua penggila kentang goreng." Lanjut Al yang kini sudah beranjak dari meja dan berjalan menuju dapur. Shanin mengangguk, kemudian ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi ojek online untuk memesan apa yang tadi Al sarankan. Begitu selesai dengan ponselnya, ia beralih menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Berada disini membuat waktu berjalan sangat cepat. Ting Tong Shanin mengerutkan kening begitu mendengar suara bell yang dibunyikan, "Cepet banget, bahkan Shanin belom di telfon sama abangnya," ucap Shanin bingung. "Gue aja," Richard berniat bangkit. "Gak usah, Shanin aja." Tanpa mendengar balasan dari Richard, Shanin segera beranjak menuju pintu utama dan segera membukanya setelah mengeluarkan uang dari dalam kantong celananya. Namun begitu dibuka, ia tak menemukan satu orangpun. Hanya sebuah kotak kardus berukuran sedang saja yang tergeletak tanpa tuan di lantai, niat awal Shanin ingin membawanya dan menunjukan pada semua orang. Namun ketika melihat sebuah kertas bertuliskan 'To Shanindya Violetta', Shanin mengurungkan niatnya dan dengan sangat penasaran membukanya. "Kok bisa ada kiriman untuk Shanin? Kenapa dikirim ke rumah Arga? Gimana dia bisa tau kalo Shanin ada disini?" Gadis itu berbicara sendiri sambil dengan lincah membuka kotak itu. Begitu berhasil, kening Shanin semakin berkerut, pasalnya kotak sedang itu hanya berisi selembar kertas dengan sebuah tulisan didalamnya. Shanin mengambilnya dan mulai membacanya. Shanin, ya? Yang waktu itu nolongin Al? Hehe, kamu cantik. Jadi jangan sampe wajah cantik kamu itu rusak gara-gara temenan sama genk gajelas kaya mereka. Baik-baik ya, sayang. Cukup lama Shanin membacanya, menelaah kata perkata yang ditulis menggunakan tinta berwarna merah menyala itu namun ia masih kurang mengerti juga dengan isinya yang membuatnya terus menerus mengulangnya, Hingga akhirnya sebuah senyuman di bibir mungilnya ditambah mata berbinarnyapun terlihat. "Shanin dapet surat dari fans!?" ***** "SURAT DARI FANS KATA LO!?" Raynzal meninggikan nada bicaranya dengan urat-urat dileher yang hampir putus. Namun Shanin tetap menjawabnya dengan anggukan kepala bahagia, "So sweet kan?" Al, Richard dan Derren menghembuskan napasnya bersamaan, ia lelah dengan sikap polos Shanin yang semakin hari semakin jadi. "Baik-baik ya, sayang. Lo bilang itu so sweet?" Tanya Arkan yang tak habis fikir dengan anggukan kepala penuh semangat yang Shanin berikan sebagai jawabannya. Steve mengacak-ngacak rambutnya gerah, "Itu namanya anceman," "Anceman? Maksud Steve?" Steve merebut kertas itu dari tangan Raynzal, lalu melebarkannya di depan wajah Shanin, selebar mungkin kalau perlu sampai robek, "Nih baca, jangan sampe wajah kamu rusak gara-gara gabung sama genk gak jelas kayak mereka!" Shanin mengerutkan keningnya, "Bukannya itu dia nyuruh Shanin untuk hati-hati? Tandanya dia baik dong?" "Terserah Shanin, terserah!" Raynzal angkat tangan, "kalo dia udah pinter, baru panggil gue buat cari tau siapa yang ngirim!" Lanjutnya yang tak sanggup lagi menghadapi kepolosan anak itu lalu beranjak pergi dari sana. Al merebut kertasnya dari tangan Steve, lalu menatap Shanin lekat, "Lo inget waktu lo nolongin gue pas dipukulin?" Shanin mengangguk. Bagaimana ia lupa akan kejadian itu? "Nah feeling kita, mereka udah tau kalo misalkan lo yang bantuin gue. Jadi mereka ngancem mau rusakin wajah lo, makanya dia bilang hati-hati," Al menghembuskan napasnya, mencoba untuk tak menyerah seperti Raynzal dikarnakan menghadapi gadis berotak seperempat ini. "Jadi maksudnya hati-hati itu apa?" Arga sudah menghembuskan napasnya kasar, tak kuat dengan kepolosan Shanin, namun nyatanya Al masih belum menyerah. "Maksudnya, kalo misal lo ikut campur urusan mereka lagi, lo bakal berurusan sama mereka, jadi lo harus hati-hati biar gak berurusan sama mereka dan buat wajah lo ancur." Al menjabarkannya dengan penuh kesabaran, bahkan cowok itu terlihat puas dengan ucapannya sendiri. Shanin mengangguk-ngangguk sok mengerti, membuat Al tersenyum bangga pada dirinya sendiri. "Tapi kenapa mereka mau ancurin wajah Shanin? Emang Shanin salah apa?" Selesai. Batas kesabaran Al habis. Dengan ekspresi datarnya, ia terlihat beranjak dari sana dan berniat menyusul Raynzal yang sudah lebih dahulu menyerah. "Kalo dia udah pinter, baru panggil gue!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD