Meet Her, The Disaster

3078 Words
                “Audreeeey, tungguin ...” teriak Selena dengan tas besar yang dibawanya. Pagi ini mereka bersiap untuk Study Tour. Dua hari satu malam.                 “Sini deh gue bantuin,” ujar Naoki yang entah sejak kapan sudah berada di sisi Selena.                  “Gak usah Nao, aku bisa sendiri. Makasih ya,” ujar Selena sambil tersenyum.                 Naoki adalah teman satu kelas Selena yang tempo hari menyatakan perasaan pada Selena. Si pemuda yang ditolak mentah-mentah oleh Selena itu hanya tersenyum kikuk dan mengusap tenguknya gugup. Melihat Naoki bertingkah seperti itu membuat Selena menghela napas panjang.                 ‘Jangan gitu dong Nao, aku gak enak kan jadinya sama kamu.’                 ‘Kenapa harus gak enak? Apa jangan-jangan lo punya rasa sama dia?’ 'Timpal Rieki yang sudah bertengger manis di hadapan Selena.                  "Eh. Rieki. Kok ada disini?" ujar Selena.                 Seketika Selena menunduk dan wajahnya merona karena tiba-tiba teringat akan kejadian saat mereka tertidur di perpustakaan. Mereka terkunci, sampai akhirnya pagi hari pintu terbuka dan mereka langsung pergi ke kamar masing-masing sebelum sekolah ramai oleh para murid dan guru.                 “Gue kan sekolah di sini sini, ya pasti ikut study tour-lah, bodoh," ujar Rieki sembari mengambil tas yang dibawa oleh Selena.                  “Lo ngatain Selena?!” bentak Nero, disusul anggukan Naoki. Ternyata sejak tadi mereka masih berada di dekat Selena. Lelaki yang diajak berbicara oleh Nero—Rieki—memberikan tatapan jangan-ganggu-aku yang membuat mereka terdiam.                 “Apaan sih dia,” ucap Naoki pelan.                 Naoki terlihat sangat kesal. Selena yang mengendus akan terjadinya “perang” diantara mereka seketika itu mencairkan suasana tegang yang terjadi.                 “Dia cuma bercanda kok. Jangan dianggap serius,” ujar Selena menenangkan.                 Naoki memandang Selena dengan tatapan menyelidik.                 “Harusnya lo jangan mau dibilang ‘bodoh’ kayak gitu, meski bercandaan doang,” Naoki memandang Rieki dengan tatapan sinis. Setelahnya, mereka berdua pergi setelah berpamitan singkat pada Selena.                  “Fans lo ngambek sama gue tuh,” ujar Rieki bercanda.                  “Lebay banget sih kamu. Mereka cuma temen sekelas aku,” gerutu Selena.                 Rieki tertawa kecil sambil membawa tas Selena dan berjalan mendekat ke arah bagasi bus. Selena sempat mengerjap kaget karena pemuda itu membawa tas besarnya yang lumayan berat. Tidak enak membuat kakak kelasnya kerepotan, Selena berlari kecil menghampiri Rieki.                 “Biar aku aja yang bawa,” Selena berusaha merebut tasnya tapi ditahan Rieki.                 “Jangan menolak bantuan dari senior ganteng nan baik hati ini, Selena.”                 “T-tapi kan, duh, aku gak enak gini.”                 “Nyantai aja sih sama gue.” Sesampainya di depan bagasi bus, Rieki meletakkan tas itu di dalamnya dan menatap Selena yang sejak tadi hanya diam memandang Rieki. Lelaki itu melambai-lambaikan tangan di depan Selena. “Ehm, Selena? Kenapa?”                 “Kenapa sih? Jangan-jangan lo terpesona ya sama kegantengan gue?” tambah Rieki sambil menaik turunkan alis.                 Selena mengerjap kaget dan langsung memukul pelan bahu Rieki. “Ha? Kamu bilang apa? Mimpi!”                 Selang beberapa saat mereka saling menatap, Selena menyelipkan anak rambutnya di balik telinga dan menatap Rieki dengan wajah merona. “Makasih bantuannya.”                 Setelah mengucapkan terima kasih, Selena berlari kecil menuju Audrey berada.                   'Bye Selena, sampai ketemu di museum.’ Selena menoleh dan mengangguk kecil ke arah Rieki setelah mendengar telepati darinya.                 “Ciee apa tuh senyum-seyum?” goda Audrey.                 Selena hanya tersenyum simpul seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu menarik lengan Audrey, mengajaknya untuk masuk ke dalam bus. “Bukan apa-apa, kok.”                 Setelah mendapatkan tempat duduk yang nyaman, Pak Andrew datang. “Semuanya udah hadir ‘kan? Bapak absen dulu, ya.”                                                                                          ***                 “Lo lagi pedekate ya, sama Rieki?” tanya Audrey dengan tangan yang sibuk mengorek isi tas ranselnya. Dia mengeluarkan coklat batang dan diberikannya satu untuk Selena.                  “Makasih, Rey.” Selena menerima coklat, lalu dengan cepat membuka lapisannya.                 “Hei,” senggol Audrey di lengan Selena.                 Gadis itu menoleh dengan coklat di dalam mulutnya. “Apa?”                 Audrey mengerucutkan bibirnya karna pertanyaannya tidak digubris oleh Selena. “Lo lagi pedekate sama Rieki?” tanyanya lagi.                 Selena terlihat berpikir sebentar, lalu melirik lewat ekor matanya. "Gak pedekate kok, baru juga kenal."                 “Hee. Jangan boong deh,” senyuman jahil tersungging di wajah Audrey. “Emangnya gue gak liat lo berdua tadi kayak gimana?”                  “Emangnya kayak gimana?”                 “Cara kalian saling memandang, kayak ada sesuatu yang disembunyikan,” gadis yang kepo-nya selangit itu mengusap dagunya sekilas, berlagak seperti detektif.                 Selena mendelik. “Apa yang salah sama cara kita memandang? Sama aja kayak aku mandang kamu.”                 Audrey memukul pelan punggung tangan gadis itu. “Bukan itu!” pekiknya gemas, lalu kembali menatap Selena. “Maksud gue tuh, lo kayak yang suka sama dia. Beda lah cara pandang lo ke dia dengan cara pandang lo ke cowok lain.”                 Selena mengerutkan dahi. “Masa sih?”                 Audrey mengangguk dengan semangat. “Keliatannya tuh kayak ada sparkle gitu deh di mata kalian, kayak orang jatuh cinta.”                 Gadis itu terbahak, memegang perutnya yang sekarang terasa sakit. “Asli, kamu lebay banget loh Rey, kebanyakan baca novel sama komik nih!”                 Akhirnya Audrey terdiam, bibirnya mengerucut dan lengannya dilipat di depan d**a. Dia ngambek, Selena sadar itu. Dan dengan lembut Selena menepuk punggung tangan gadis itu. “Heh, dengerin, aku mau kasihtau satu hal. Mungkin ini bisa ngejawab pertanyaan kamu tentang ‘cara pandang’. Tapi, kamu bakalan percaya gak ya?”                 Audrey yang tadinya tidak mau memandang Selena mendadak merubah posisi tubuhnya menjadi berhadapan dengan gadis itu. “Apa, apa? Lo belum cerita tapi udah bilang gue gak akan percaya.”                 Selena terkekeh pelan sebelum akhirnya menghela napas. “Inget gak minggu kemarin aku nanya tentang orang yang bisa saling baca pikiran?”                 Audrey mengangguk semangat seraya mengunyah coklat miliknya. “Terus?”                 “Yaa, gitu. Aku sama Rieki bisa saling telepati ya—istilahnya?”                 Audrey berhenti mengunyah, matanya membesar penuh dengan rasa keingintahuan. “Serius?”                 Selena mengangguk pelan. “Aku serius. Kapan aku pernah bohong sama kamu?”                 Setelah membuang bungkus coklat, Selena kembali melanjutkan ceritanya karena Audrey tidak berkata sepatah kata pun. “Jadi aku bisa telepati sama Rieki, uhm, kalau kita saling melihat, sih. Pokoknya kalau aku lihat Rieki, aku bisa denger pikirannya. Dan begitu pun sebaliknya.”                 Audrey masih terdiam, pause. Tidak bergerak sedikitpun. Akhirnya Selena menepuk pipinya perlahan, “Rey, kamu dengerin ceritaku gak sih? Tadi penasaran banget tapi sekarang kok aku dicuekin?”                 Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, Audrey kembali mengunyah coklatnya. Dan seperti sadar akan sesuatu, dia mengguncang tubuh Selena ke depan dan kebelakang. “KOK BISA GITU?!”                 Bola mata Selena berputar dan mendengus kesal. Lemot amat ni anak, pikirnya. Ia mengedikkan bahu dan memandang keluar. “Gak tau Rey, aku juga bingung.”                 “Gimana rasanya Sell? Enak gak bisa baca pikiran orang gitu?” tanya Audrey antusias.                 Selena membuat embun dengan nafasnya di kaca jendela lalu menuliskan huruf SL, Selena Lovelia. “Ya gitu aja deh, enak gak enak.”                 “Pasti kebanyakan gak enaknya deh,” tebak Audrey.                 Baru juga seminggu, belum kerasa lah enak apa enggak,” timpal Selena.                 Pikiran Selena terbang ke tiga hari sebelumnya, dia ingat hari dimana Rieki menghubunginya lewat pikiran saat ada kubangan lumpur di depannya. Untungnya Rieki memberitahukan gadis itu, kalau tidak sepatu kesayangannya akan kotor terkena lumpur.                 Tanpa sadar bibirnya tertarik membentuk senyuman karna mengingat kejadian itu. Duh, aneh sekali bukan? Memikirkan hal sekecil itu saja bisa membuatnya tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya keras-keras dan menepuk-nepuk pipinya.                 “Cie senyum-senyum gak jelas gitu ‘kan, segala blushing,” Audrey tersenyum jahil seraya menaik-turunkan alis.                 “Apaan sih Rey, aku gak senyum-senyum gak jelas kali,” kilah Selena seraya memukul pelan bahu sahabatnya itu. “Dan, aku gak blushing!”                 “Fix ini mah elo jatuh cinta. Masa kepikiran Rieki aja sampe senyum gaje gitu.”                 “Siapa jatuh cinta sama siapa? Selena lagi jatuh cinta?”                 Serentak, Audrey dan Selena yang sedang berbincang menoleh ke belakang dan langsung berteriak kaget karna ada seseorang yang memakai topeng The Scream muncul dihadapan mereka. Astaga, seisi bus sampai menoleh ke arah mereka berdua.                 “Siapa sih ini?! Lily, ya?!” tanya Audrey histeris sambil melepaskan paksa topeng itu.                 Saat topeng itu terlepas, terlihatlah Lily yang sedang tertawa kecil. Dengan kesal Audrey dan Selena memukul wajah Lily dengan bantal yang mereka bawa dari asrama.                 “Apaan sih Ly, ngagetin banget tau gak? Pengen kita mati muda ya?” semprot Audrey.                 Lily hanya cekikikan dan langsung bertopang dagu. “Sorry deh, abisnya kalian seru banget sih ceritanya. Ada apaan deh?”                 “Lagi cerita tentang Selena yang bisa telepati,” jawab Audrey ke sahabatnya yang iseng itu alias Lily.                 Mata Lily membesar seketika, bibirnya melongo membentuk huruf O sempurna. “Sumpe lo?”                 Audrey menjitak kepala Lily sekilas. “Gak usah lebay gitu lo.”                 “Ah, kayak yang tadi gak lebay aja sih,” tambah Selena.                  Audrey hanya terkekeh, lalu Lily mencondongkan tubuhnya ke arah kedua sahabatnya itu. “Jadi jadi, dia bisa telepati sama siapa?”                 Selena melirik Lily sebentar, baru saja mulutnya akan mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan Lily, Audrey sudah menyuarakan pikirannya. “Sama Rieki. Kenal gak?”                 Lily terlihat berpikir sebentar, lalu menjentikkan jarinya saat dia seperti mengingat sesuatu. “Ya kenal lah! Senior kita itu kan? Ih, jutek tau. Dingin gitu kayak es batu kalo sama cewek.”                 Selena yang sedang minum tersedak. “Jutek? Enggak, ah. Baik gitu.”                 Seperti merencanakannya bersamaan, Lily dan Audrey menatap Selena dengan tatapan menggoda. “Ciee yang udah jatuh cinta mah beda, dibelain melulu.”                 Pipi Selena merona. ‘Kenyataannya memang Rieki baik kok, gak jutek.’                 “Aduh Selly blushing! Astaga Rey, lo aja yang udah lama naksir sama Kei jarang blushing. Lah ini Selena yang baru suka blushing melulu daritadi,” celetukan Lily membuat Audrey mendengus kesal.                 ‘Iya dong, gue kan emang baik,’ suara di kepala Selena membuatnya menoleh dan mengerjapkan mata saat sadar tepat di bis sebelahnya ternyata ada Rieki yang sedang memandangnya seraya melambaikan tangan.                 “Memangnya blushing sama gak blushing itu apa salahnya? Yang penting kan perasaan kita,” ujar Audrey membela diri.                 Konsentrasi Selena terpecah antara pembicaraan Audrey-Lily dan bertelepati dengan Rieki. Matanya menatap Rieki dengan gugup. ‘Ih! Kamu sejak kapan disitu?’                 Rieki terlihat mengedikkan bahunya sekilas lalu membawa tas ranselnya di sebelah bahu. Melihat Rieke yang seperti akan pergi membuat Selena mengernyitkan kening. ‘Loh kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa tas?’                 Lelaki itu menoleh sebentar hanya untuk menjawab pertanyaan Selena. ‘Mau turun bis, lo turun juga dong, jangan duduk bengong disitu.’                 Lily menggoyangkan telapak tangannya ke kanan dan kiri tepat di depan wajah Selena, membuat gadis itu mengerjapkan matanya lagi. “Lo ngapain deh? Jangan bengong! Kita udah nyampe lho,” tegur Lily.                 Audrey yang sudah berdiri kembali membungkuk untuk mengambil sampah bekas makan mereka. “Ayo Selly. Nanti ketinggalan yang lain.”                 Masih dalam keadaan linglung, akhirnya Selena memakai tas lalu bergegas menyusul Lily dan Audrey yang sudah berjalan keluar dari bus. Sudah sampai di musem ternyata. Selena bertanya-tanya dalam hati, kapan mereka tiba di parkiran museum.                                                                                             ***                 Turun dari bis, semua siswa sudah berbaris sesuai dengan kelas dan wali kelas masing-masing. Sampai di barisan angkatannya, pandangan Rieki menyisir sekitar. Matanya mencari seseorang. Dan ternyata benar. Dia datang. Gadis itu.                 “Heh,” senggolan di lengan membuat Rieki tersentak kaget.                 “Apa?” tanyanya pada Kei.                 “Udah gila-nya?” Kei bertanya seraya menaikkan sebelah alisnya. Bukan tanpa alasan Kei bertanya seperti itu. Bagaimana tidak berpikir Rieki gila jika sejak di bis tadi cowok itu selalu menyunggingkan senyum, tanpa berhenti sedetik pun.                 Mendengar perkataan Kei, Rieki menonjok pelan bahunya seraya berkata, “gue gak gila, rese banget lo.”                 Satoki yang berada di belakang Rieki menempelkan dagunya di pundak cowok itu, membuatnya kegelian. “Lo ada hubungan apa sih sama Selena?”                 “Biasa aja, temen,” jawabnya enteng.                 “Beneran? Tapi kok kayaknya Claudia jutek banget tiap lihat Selena,” celetukan Satoki tidak dihiraukan oleh Rieki, karena saat ini dia tengah memperhatikan gerombolan kelas sepuluh—kelas Selena yang berjalan masuk ke dalam Museum.                 “Selena kemana?” gumam Rieki.                 Kei menoleh. “Gue gak liat dia masuk tuh, cuma liat Audrey.”                 “Iya, gue juga udah liat Lily masuk ke dalem,” Satoki menambahkan ucapan Kei, “tadi barengan sama Audrey.”                 Awalnya Rieke merasa biasa saja, dia berpikir mungkin gadis itu tengah ke kamar mandi. Namun saat matanya berputar mencari sosok Claudia, hatinya berdebar keras karna tidak menemukannya.                 “Claudia sama temennya pada kemana?” tanya Rieki gugup.                 Kei dan Satoki yang sedang mendengar penjelasan guru langsung menoleh serempak, kepala mereka menggeleng dan alisnya bertaut. Pertanda tidak bisa menjawab perkataan Rieki. Tak berapa lama kemudian, Rieki mengangkat tangannya, membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian.                 “Ada apa, Rieki?” tanya Pak Ismail.                 “Saya mau ke toilet, Pak! Izin sebentar,” jawab Rieki.                 Setelah mendapatkan anggukan dari Pak Ismail, Rieki berbalik arah dan langsung melangkahkan kakinya untuk mencari Selena. Kei dan Satoki hanya menatap Rieki dengan tatapan berharap, semoga dia bisa menemukan Selena secepatnya. Hingga tiba di salah satu sudut parkiran ia melihat seorang gadis yang tengah melompat-lompat seperti hendak mengambil sesuatu.                 ‘Selena?’                 Mendengar namanya dipanggil, pergerakan gadis itu terhenti. Dia menoleh dengan kening berkerut dalam, merasa heran karena melihat Rieki tidka ikut barisan.                 “Rieki? Kok kamu di sini?” Gadis itu berbalik arah, memiringkan wajah menatap senior yang kini berjalan mendekatinya.                 “Harusnya gue yang nanya,” Rieki berdiri tepat di depan Selena. “Lo kenapa di sini? Angkatan lo udah masuk ke dalam museum, lho.”                 “Oh-udah pada masuk?” Selena mengedip beberapa kali. Jemarinya mengusap hidung karena salah tingkah. “Itu, jaketku nyangkut di pohon.”                 “Jaket?” Arah pandang Rieki tertuju pada batang pohon di mana ada jaket berwarna merah muda yang tersangkut di sana. Dengan satu lompatan, jaket yang sejak tadi sangat sulit digapai Selena kini sudah berada di tangan Rieki.                 “Nih,” Rieki memberikan jaket itu pada Selena, yang langsung dibalas anggukan dan ucapan terima kasih. Baru saja Selena akan beranjak pergi, Rieki menahannya. “Kenapa bisa ada di atas pohon? Lo gak manjat ke sana, ‘kan?”                 Selena terlihat berpikir sejenak, namun nyatanya ia tidak memikirkan apapun karena Rieki tidak bisa mendengar pikiran gadis itu. Namun saat pikiran gadis itu menyuarakan sesuatu, Rieki menghela napas panjang.                 “Tadi jaketnya ketiup angin,” jawab Selena sekenanya.                 Rieki menyipitkan mata. “Hm?”                 “Apa?” Selena menolak bertatapan dengan Rieki, menghindar.                 “Bohong, ya?” Rieki bertanya seraya menaikkan sebelah alis.                 “Eng-enggak, kok,” Selena menggelengkan kepala tanpa ragu. “Aku gak bohong.”                 “Inget, gue bisa baca pikiran lo?”                 Selena menghela napas. Ah, dia lupa akan fakta itu. Setelah beberapa saat melirik Rieki, akhirnya Selena bersuara. “Tadi ada Claudia, dan dia mau minjem jaket aku. Eh, gak taunya ada angin kenceng, dan whoosh, nyangkut di pohon, deh.”                 “Gitu?” Rieki menghela napas frustrasi. “Cerita karangan lo aneh banget, jelek.”                 “Aku gak ngarang!” gerutu Selena.                 “Iya-iya gak ngarang,” Rieki mengangguk sembari mengambil tangan gadis itu agar ia mengikuti langkah Rieki. “Ayo balik ke barisan.”                 Selena menunduk, memperhatikan tangannya yang digenggam erat oleh Rieki.                 ‘Hangat’, bisik Selena dalam hati.                 ‘Iya, dong,’ Rieki dengan cepat menyambut suara hati Selena yang membuat wajah gadis itu merah padam. Beberapa saat mereka berjalan menuju barisan, tak ada pembicaraan apapun hingga akhirnya teriakan Kei membuat Rieki dan Selena mendongak.                 “Lama banget sih? Ngapain?” tanya Kei bertubi-tubi. “Pak Ismail nyariin elo tuh.”                 Rieki menghela napas dalam lalu berjalan melewati Kei tanpa sepatah kata pun. Pemuda itu mengeratkan genggamannya pada Selena, melangkah mendekat ke arah Pak Ismail yang sedang mengatur barisan murid didiknya. Tiba di samping Pak Ismail, Rieki tersenyum.                 “Maaf Pak, saya telat.”                 Pak Ismail hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangan, menyuruh pemuda itu untuk kembali ke barisan. Tetapi saat matanya menangkap sosok Selena di sebelah Rieki, Pak Ismail berdeham.                 “Bukannya dia kelas sepuluh, ya?”                 “Oh-iya,” Rieki menunjuk gadis itu setelah melepaskan tautan jemari mereka. “Dia ketinggalan rombongan, Pak. Barengan sama kita gak apa-apa kan, ya?”                 Pak Ismail mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Rieki.                 “Ya-ya, sana masuk barisan.”                 Setelah membungkuk sedikit, Rieki kembali masuk ke barisan di mana Kei dan Satoki berada. Sikap perhatian Rieki pada Selena ternyata memicu api kecemburuan di mata Claudia yang sejak tadi memandang Selena dengan tatapan tajam. Rieki tentu menyadari hal itu, namun ia tak peduli. Saat Claudia menatap Rieki, pemuda itu membalas tatapannya tanpa takut.                 ‘Gue bakal lindungi dia.’                 Selena mengernyitkan kening saat mendengar suara pikiran Rieki. Dengan sorot bingung ia menoleh, memandang Rieki yang pandangannya lurus ke depan.                 “Lindungi siapa, Rie?”                 Rieki mengerjapkan mata ketika mendengar pertanyaan Selena. Dia hanya nyengir tidak menjawab. Melihat gelagat Rieki yang aneh membuat Selena bingung, tapi tidak mau menanyakan lebih jauh. Kalau Rieki tidak ingin mengatakannya, Selena tak akan memaksa.                 “Claudia lagi, ya?” bisikan Kei ternyata membuat Selena menoleh.                 “Iya,” Rieki menghela napas dalam.                 “Serem banget gila tu cewek,” celetuk Satoki. “Untung aja gue gak disukain sama dia.”                 “Lagian siapa juga yang demen sama lo?” tanya Kai ketus, membuat Satoki cemberut dan kembali diam. Menggerutu dalam hati.                 “Ada apaan, sih?”                 Selena akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Rieki hanya mengedikkan bahu sejenak, merasa malas untuk menjawab pertanyaan Selena. Beberapa saat Kei dan Satoki saling pandang, akhirnya Satoki angkat bicara.                 “Jadi apa yang Claudia lakuin ke elo?”                 “Hah?” Selena mengedip beberapa kali. “Claudia gak melakukan apa-apa, kok.”                 “Dia bohong lagi,” tunjuk Rieki.                 “Aku gak bohong!”                 “Intinya,” jeda Rieki sembari menarik tangan Selena karena sekarang rombongan mulai memasuki area museum. “Claudia ngelempar jaket dia ke pohon. Tapi, anak ini bilang kalo jaketnya nyangkut di pohon karena ketiup angin.”                 “Haa?” mulut Satoki mangap lebar sebelum benar-benar tertawa ngakak. “Jaket ketiup angin dan nyangkut di pohon?”                 Kei yang sejak tadi hanya diam akhirnya tertawa mendengar penjelasan singkat yang diberikan Rieki. Astaga, bagaimana bisa Selena berbohong seburuk itu? Rieki bahkan hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil.                 “Inget Selena, lo gak bisa bohong sama gue,” bisik Rieki. “Jadi, lo gak perlu repot-repot untuk membuat karangan, oke?”                 "Gini nih susahnya kalau bisa baca pikiran orang," cibir Selena.                 "Haaa?"                 "Enggak." Selena mendengus dan membuang pandangannya dari Rieki yang tersenyum geli.                                                                                             ***                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD