1
Freddy menatap Samuel, adik laki-lakinya yang sedang menggerutu frustrasi. Ia tahu pasti apa yang sedang Samuel rasakan sekarang, rasa yang persis sama dengan apa yang ia rasakan dua bulan lalu.
“Ini berlebihan, Pi. Sekarang sudah zaman modern, mana ada lagi jodoh-jodohan seperti ini,” keluh Samuel frustrasi. Bagaimana tidak? Setelah dua bulan lalu sukses menjodohkan Freddy dengan anak seorang pengusaha terkenal, kali ini orangtuanya akan menjodohkannya dengan anak salah seorang rekan bisnis mereka.
“Papi tahu apa yang terbaik untukmu, Sam. Jadi berhentilah mengeluh seperti anak kecil,” tegur Eduardo jengkel.
Freddy menarik napas panjang. Ia tahu ayahnya sangat keras, apalagi yang bisa mereka lakukan selain pasrah menerima pengaturan ini? Tapi sepertinya Samuel tidak cukup penurut untuk menerima semuanya begitu saja.
Samuel menatap tidak senang pada ayah dan ibunya. Ibunya hanya bisa mengangkat bahu, mengatakan lewat bahasa tubuh bahwa beliau tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya.
“Baik,” sahut Samuel akhirnya. “Aku menerima perjodohan ini, tapi aku tidak mau bertunangan atau menikah dalam waktu dekat ini. Biarkan kami saling mengenal lebih dulu,” kata Samuel tegas.
Freddy mengulum senyum. Cukup salut dengan prinsip adiknya. Bagaimana mungkin dulu ia tidak punya keberanian untuk menolak saat akan dijodohkan dengan Karin? Mereka bahkan langsung bertunangan seminggu setelah pertemuan pertama.
Eduardo mendengus kurang senang.
“Papi, kita harus memberi Samuel waktu,” bisik Ny. Eduardo lembut, berusaha menenangkan dan membujuk suaminya yang keras kepala.
“Baik, kamu punya waktu tiga bulan sebelum bertunangan, jadilah calon menantu yang baik untuk keluarga Henry,” kata Eduardo akhirnya. Tentu saja ia tidak mau perjodohan ini gagal. Berbesanan dengan keluarga Henry adalah keberuntungan bagi mereka. Keluarga mereka akan semakin dipandang pengusaha-pengusaha kelas atas, karena keluarga Henry cukup terkenal dengan kekayaan dan sayap-sayap bisnis yang melebar ke hampir semua jenis usaha.
Samuel mengumpat kecil tanda kurang senang. Lalu tanpa menoleh lagi pada kedua orangtuanya, ia melangkah menuju pintu keluar dan berjalan menuju mobil sport keluaran terbaru, yang baru saja ia beli bulan lalu. Sebagai seorang pengusaha muda yang sangat sukses, ia telah memiliki segalanya, selain kebebasan untuk memilih pasangan, tentunya.
***
“Mami, Vivi masih muda, Vivi tidak mau dijodohkan seperti ini,” keluh Vivian sambil berjalan mondar-mandir dengan gelisah di depan orangtuanya. Sedangkan Andros, kakak laki-lakinya, hanya menatapnya tanpa bersuara.
“Mami tahu kamu masih muda, Sayang. Kamu tidak harus menikah dalam waktu dekat, tapi cukup pendekatan dan bertunangan saja dulu,” jelas Ny. Henry lembut.
“Tapi, Mi, Vivi benar-benar tidak siap,” keluh Vivian lagi. Ia berdiri kaku menatap wajah kedua orangtuanya dengan mata berselimut keraguan dan keberatan. Ia baru saja pulang dari Korea, baru beberapa hari menghirup udara segar tanah air, tapi tiba-tiba dadanya harus disesakkan oleh acara perjodohan ini.
“Papi sudah menerima perjodohan ini, Sayang. Jadi Papi harap kamu tidak mempermalukan Papi dengan menolaknya,” ujar Henry lembut pada anak perempuannya.
“Pi, please... Vivi...”
“Sayang, please... Mami ingin kamu menurut. Hubungan Papi dan keluarga Eduardo akan memburuk bila kamu menolak,” bujuk Ny. Henry lembut. Sejujurnya sejak awal ia sudah tidak setuju dengan perjodohan ini, tapi suaminya sama sekali tidak mau mendengar pendapatnya dan malah menerima perjodohan ini begitu saja tanpa bertanya lebih dulu pendapat Vivian.
Vivian duduk di dekat ibunya sambil terisak kecil, kesal mendapat tekanan seberat ini dari kedua orangtuanya. Sungguh, bila tahu begini, ia akan memilih tidak pulang ke tanah air. Untuk apa pulang bila hanya untuk dijodohkan?
Ny. Henry merengkuh pelan bahu Vivian, berusaha untuk menenangkannya.
***
“Ada yang dipikirkan?” tanya Karin saat melihat Freddy hanya diam membisu. Mereka sedang makan malam di salah satu kafe di sebuah mall elite di pusat kota.
Freddy tersenyum tipis dan mengangkat bahu. “Bukan sesuatu yang penting.”
Sebenarnya Karin adalah wanita yang baik dan sangat lembut, tidak pernah mengeluh atau bersikap menjengkelkan. Pilihan orangtuanya sangat tepat, andai saja hatinya juga bisa terbuka untuk Karin. Namun sayang, dua bulan menjalani pertunangan ini, ia tidak merasakan getar apa pun pada Karin. Tidak ada rasa rindu bila tidak bertemu, juga tidak ada rasa yang menggebu-gebu.
Ia dijodohkan dengan Karin dua bulan lalu. Saat itu ia berpikir, daripada bertengkar dengan ayahnya, lebih baik ia menerima saja perjodohan ini. Tapi sekarang semua terasa berbeda. Kelembutan dan kecantikan Karin tidak membuat hatinya setia sebagai seorang tunangan. Ia mulai memikirkan wanita lain, yang dalam pandangan pertama telah membuat hatinya bergetar.
Karin menarik napas panjang. “Yakin?” tanya Karin cemas sambil meremas pelan tangan Freddy.
Freddy memberi senyum kaku. Senyum terpaksa, karena pada kenyataannya ia mulai masuk ke dalam situasi yang tidak menyenangkan. Ia mulai berpaling.
“Ayo kita jalan, tadi kamu bilang mau belanja, kan?” Freddy sengaja mengalihkan pembicaraan.
Karin mengangguk pelan.
Freddy menahan erangan frustrasi. Cinta memang aneh. Bagaimana mungkin hatinya mati rasa pada wanita secantik dan sebaik Karin?
***
Dengan langkah ragu, Vivian mengikuti Andros memasuki sebuah restoran mewah. Malam ini ia akan dikenalkan pada pria yang akan dijodohkan dengannya.
Vivian mendesis jengkel. Bagaimana mungkin pada usia dua puluh tiga tahun, ia sudah harus bersiap diri untuk bertunangan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal? Bahkan dalam mimpi pun ia tidak pernah berkhayal akan dijodohkan seperti ini.
“Santai aja, Vi. Jangan terlalu tegang begitu,” bisik Andros sambil meremas lembut tangan adiknya.
Vivian menoleh pada kakaknya, lalu tersenyum kaku. Andros bisa bicara begitu karena ia tidak berada di posisinya saat ini.
“Itu mereka,” bisik Andros sambil menunjuk pada beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja di tengah restoran.
Dada Vivian seketika berdebar. Ia memejamkan mata. Dalam hitungan detik, ia akan bertemu dengan pria yang akan dijodohkan dengannya. Bagaimanakah rupa pria itu?
Vivian mengikuti langkah Andros dengan kaki yang sudah selembut agar-agar. Andai saja ia tahu akan jadi begini, maka ia akan betah berlama-lama di negeri ginseng itu, jika perlu sekalian menikah dengan artis Korea.
“Selamat malam, semua,” sapa Andros sopan begitu tiba di dekat meja di mana keluarganya dan keluarga calon suami Vivian sudah berkumpul.
Vivian berdiri mematung di sisi kakaknya. Pria itu terlihat sangat tampan dengan mata cokelat terang yang bersinar dingin. Rambut cokelat gelapnya dengan rapi membingkai wajah tampannya yang memiliki rahang kukuh. Pria ini sangat memesona andai saja dia bisa sedikit tersenyum.
Semua menyambut sapaan Andros kecuali pria itu. Pria muda yang menurut Vivian, hanya berusia beberapa tahun di atasnya.
“Sini, Sayang. Kenalkan, ini calon mertuamu, Bapak dan Ibu Eduardo,” kata Ny. Henry dengan senyum manis. “Dan dia Samuel, calon suamimu.”
Vivian tersenyum kaku. Lalu beranjak mendekati dua orang setengah baya yang diperkenalkan sebagai calon mertuanya itu. Vivian mengulurkan tangan dengan sopan pada Eduardo, lalu cipika-cipiki dengan Ny. Eduardo. Mereka menyambutnya dengan senyum lebar, membuat perut Vivian terasa melilit karena salah tingkah.
Setelah perkenalan singkat dengan kedua calon mertuanya, Vivian terdiam mematung. Samuel berdiri kaku dan mengulurkan tangan dengan setengah hati.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink