“Apa kamu senang dengan acara tadi?” tanya Steven melalui sambungan telepon. Jena tersenyum kecut yang tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Bulu matanya merendah lembut melihat perban di tangan kanannya sudah penuh dengan coretan jahil dan penuh semangat dari orang-orang yang sudah pergi sekitar 2 jam lalu dari ruangan ini. “Um. Tidak begitu buruk.” “Sudah bicara dengannya?” Jena mengerutkan kening dalam, terkekeh pelan, “siapa yang kamu maksud?” “Siapa lagi? Pria itu tentu saja.” Jena terdiam. Dirinya dan Zaflan memang sempat berbicara, tapi itu bukanlah jenis pembicaraan yang diinginkannya, atau pun yang ingin dijadikannya sebagai kenangan terakhirnya saat akan berpisah. “Sudah. Aku sudah bicara dengannya. Tidak begitu banyak hal. Bukan hal penting juga untuk dibahas.”

