4. Keran Air Yang Bocor

1121 Words
Halimah menepuk-nepuk keran wastafel. Sudah ia putar kiri putar kanan namun air keran masih saja mengalir setengah. Halimah bingung, ia segera kirim pesan pada Ruslan. Bang, air keran menyala terus tak mau berhenti. Itu apanya yang rusak? Aku bingung. Tak lama, ponsel Halimah berdering. "Halo, Abang!" "Panggil Sukri saja atau Bang Wardi, mereka berdua biasa membetulkan keran air yang bocor, Dek!" jawab Ruslan dari seberang telepon. "Iya, aku ke rumah Bang Wardi saja dulu yang agak dekat, Bang. Aku tutup dulu teleponnya, ya." Halimah bergegas ke luar rumah menuju rumah Wardi yang berada dekat dengan warung Bu Sumi. Tapi sebelum sampai di rumah Wardi, Halimah berhenti. Ia baru terpikirkan kalau menurut gosip yang beredar, Wardi pernah dengan sangat menginginkan Halimah sebelum ia sukses dipinang Ruslan menjadi Istrinya. Hanya saja, Wardi tidak berani berterus terang pada Halimah.  Halimah mondar-mandir di pinggir jalan. Sinar matahari jam satu siang yang sangat menyengat tak ia pedulikan. "Mbak Halimah, sedang apa seperti orang kebingungan?" Wardi, orang yang akan Halimah temui malah sudah berdiri di hadapan Halimah. Halimah terkejut dan gugup. "Itu, air wastafel saya bocor. Apa Bang Wardi bisa membetulkan? Tadi saya diberitahu Bang Ruslan, katanya Bang Wardi sudah biasa membetulkan keran air yang bocor," sahut Halimah.  Wardi tersenyum. "Oh, keran bocor. Ayo, saya betulkan. Jangan lama-lama berdiri di bawah terik matahari. Tak tega lihat kulit putih Mbak Halimah berkeringat seperti itu," jawab Wardi. Halimah menyeka cucuran keringat di dahinya. "Mari, Bang ikut saya ke rumah!" Halimah bergegas menuju rumahnya kembali. Sesampainya di rumah, Wardi langsung menuju dapur dan meminta alat-alat tukang milik Ruslan.  "Bang Wardi mau minum apa? Teh manis, kopi atau...." "Air putih dingin saja, Mbak," potong Wardi cepat. Halimah segera menyiapkan air putih dingin untuk Wardi. Ia ikut mengamati pekerjaan Wardi membetulkan keran air yang bocor. Tiga detik, empat detik, lima detik. Pikiran Halimah kembali diserang hal aneh seperti saat ia melihat tubuh kekar Sarwan. Wardi yang sedang fokus membetulkan keran air begitu gagah di mata Halimah. Dari samping, bentuk rahang Wardi terlihat kuat. Tangan dan juga lengan Wardi tampar berotot. Cekatan sekali membetulkan keran air. Mata Halimah mengerjap-ngerjap, mencoba menepis bayangan aneh yang menari-nari di pelupuk matanya lalu ia menarik napas dalam. Gusti Allah, tolong kuatkan imanku. Batin Halimah. "Mbak Halimah, sendirian di rumah apa tak apa-apa ada saya?" tanya Wardi memecah keheningan. "Bang Ruslan sendiri yang menyuruhku memanggil Bang Wardi," jawab Halimah. Wardi menoleh lalu tersenyum pada Halimah. Deg! Jantung Halimah berdetak tak karuan. Senyum dan mata Wardi menyapu seluruh pikiran Halimah. Wardi sebetulnya pria tampan yang masih lajang. Usianya sekitar tiga puluhan, tiga tahun lebih tua dari Ruslan. Halimah dulunya adalah gadis desa yang tertutup. Ada beberapa kumbang yang ingin mempersunting namun pilihan Halimah jatuh pada Ruslan karena Ruslan sudah menjadi karyawan tetap di sebuah pabrik elektronik. Ayah dan ibu Halimah pun lebih menyukai Ruslan dibanding laki-laki lain yang menginginkan Halimah. Namun yang lebih utama, Ruslan terlihat lebih rajin salat di Mushola. Itu alasan ayah Halimah dulu.  "Mbak, kerannya sudah beres," ucap Wardi sambil membereskan alat-alat pertukangan milik Ruslan. Tak mendapat sahutan, Wardi menatap Halimah yang sedang duduk diam di kursi dengan tatapan menerawang. "Mbak!" panggil Wardi. Mata Halimah mengerjap, ia baru tersadar. "Eh, iya, Bang!" "Keran airnya sudah betul." "Oh, cepat sekali Bang Wardi. Ya, sudah. Diminum airnya." Wardi meminum air putih dingin yang disediakan Halimah.  Halimah mengusap wajahnya dan mengucap istighfar dalam hati. "Mbak Halimah kenapa bengong?" tanya Wardi. "Tak apa-apa, Bang. Oh, sampai lupa. Kenapa saya hanya menyediakan air saja. Sebentar, saya ambilkan cemilan!" Halimah berdiri dari kursi namun segera dicegah Wardi. "Tak usah, jangan repot-repot. Saya tak mau lama-lama ada di rumah Mbak Halimah, apalagi Mbak Halimah sendirian. Saya takut khilaf. Saya permisi ya, Mbak." Wardi pamit lalu bergegas menuju pintu keluar. Halimah tertegun sesaat mendengar ucapan Wardi. Namun sebelum Wardi keluar dari pintu rumah, Uak Sanim mengucapkan salam dan langsung masuk ke dalam rumah Halimah. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam," sahut Halimah dan Wardi bersamaan. Uak Sanim terkejut mendapati Wardi ada di rumah Halimah sementara ia tahu Halimah sedang sendirian. "Sedang apa kau di rumah Halimah, Wardi?" tanya Uak Sanim tak suka. "Saya habis membetulkan keran air yang bocor," jawab Wardi sopan. "Limah, kenapa kau tak panggil Uak untuk membetulkan keran airmu?" protes Uak Sanim pada Halimah. "Tadi saya telepon Bang Ruslan. Kata Bang Ruslan, saya bisa minta tolong pada Bang Sukri dan Bang Wardi. Kebetulan tadi saya bertemu Bang Wardi di jalan, Uak," sahut Halimah. "Keran airnya sudah betul?" tanya Uak Sanim. "Sudah, Uak." Halimah merasa tidak enak hati karena Uak Sanim tampak tidak suka dengan keberadaan Wardi di rumahnya. "Sudah sana, Wardi. Kau pulang saja! Untuk apa berdiri mematung di sini?" Uak Sanim mendorong bahu Wardi. "Bang Wardi, terima kasih banyak sudah membetulkan keran air saya," ucap Halimah. Wardi mengangguk lalu lekas keluar dari rumah Halimah. "Kau itu jangan sembarangan mengajak laki-laki ke rumah kalau suamimu tak ada. Kalau Uak tak apa-apa karena Uak itu saudara suamimu. Masih keluarga." Uak Sanim mendekati Halimah, memberikan bungkusan yang dari tadi ia bawa. "Nih, Uak beli seblak kesukaanmu. Ayo, kita makan!"  Halimah tampak ragu. Wardi atau Uak Sanim sekalipun sebetulnya tak boleh ada di rumahnya saat itu karena Ruslan sedang tak ada di rumah. Tapi Halimah bingung menyuruh Uak Sanim pulang. "Ayo, ambil piringnya!" desak Uak Sanim. "Saya sudah makan, Uak. Masih kenyang," kelit Halimah. Ada perasaan tak enak di hatinya. Tak enak menolak juga tak enak karena Uak Sanim tiba-tiba datang ke rumahnya, tidak seperti biasanya.  "Kau itu menolak perintah orang tua. Ambilkan piring buat Uak saja kalau begitu. Uak lapar!" Uak Sanim merengkuh bahu Halimah erat. Halimah terkejut. Rengkuhan tangan Uak Sanim terasa berbeda. Ia segera melepaskan diri dan cepat-cepat mengambilkan piring untuk Uak Sanim. Mengambil bungkusan seblak dan menuang satu bungkus saja.  "Dimakan, Uak! Halimah menyodorkan piring berisi seblak.  Saat Halimah hendak menuang air minum untuk Uak Sanim terdengar suara Ruslan di pintu masuk. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Halimah terkejut. "Lho, Abang jam dua sudah pulang?"  "Di pabrik mati lampu. Generator juga pada rusak. Jadi seluruh karyawan disuruh pulang," jawab Ruslan. Ia melihat Uak Sanim menikmati seblak. "Ayo, sini. Makan seblak dengan Uak. Uak sengaja beli dua bungkus untuk Halimah tapi dia bilang sudah makan. Kau makan saja itu!" tawar Uak Sanim. "Uak sengaja datang ke sini membelikan Halimah seblak?" tanya Ruslan heran. "Uak tahu istrimu suka seblak jadi apa salahnya Uak belikan seblak." Halimah dan Ruslan saling berpandangan.  "Ayo, Bang. Mau langsung makan seblak apa ganti baju dulu?" tanya Halimah.  "Abang ganti baju dulu, temani Abang ganti baju!" perintah Ruslan.  Halimah mengikuti Ruslan masuk ke dalam kamar. Uak Sanim melirik Ruslan dan Halimah yang berlalu dari hadapannya. Ia merasa sangat jengkel dengan kedatangan Ruslan yang mendadak. "Si Ruslan kenapa datang di waktu yang tidak tepat?" gerutu Uak Sanim. Lantas ia cepat-cepat menghabiskan seblaknya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD