BAB 7

1850 Words
Waktu terus bergulir, tanpa diduga suara perut Salwa menggeram terdengar jelas. Ia mengambil ponsel untuk mengecek notifikasi, kemudian melihat jam. Pukul sebelas siang lewat sebelas menit dan tanggal sebelas. Angka yang cantik pikir Salwa sambil tersenyum. Ia hendak berdiri, urung lagi saat benda itu menampilkan Id pemanggil Athan. "Menunggu telepon dariku?" tanya Athan sebelum Salwa sempat buka suara. Salwa tersenyum mendengar candaan itu. "Merindukanku?" balas Salwa. Suara tawa Athan sesaat terdengar. "Kenapa menelepon?" "Merindukanmu," jawab Athan yang membuat Salwa geleng-geleng kepala. "Aku meminta seseorang untuk membawakan makan siangmu, mungkin sebentar lagi..." "Nina, itu... pesananku," kata Salwa sedikit berteriak saat utusan yang Athan biacarakan muncul. "Sedikit terlambat," komentar Athan santai. Salwa tersenyum lagi, "Apa kamu berencana membuat gaun pernikahan sempit di tubuhku?" "Kamu sudah memberitahunya?" tanya Athan serius. Salwa belum sempat menjawab, ia menarik sudut bibirnya saat Nina masuk. Entah mengapa Salwa jadi canggung. "Terima kasih, Nina." "Ehm, apa harus aku yang memberitahunya?" suara Athan terdengar lagi. "Dari Bang Athan," kata Nina dan segera berbalik arah. "Nina, tunggu," cegah Salwa. Ia kembali berbicara di telepon, "Kurasa hari ini kesempatan terakhir untuk memberitahunya. Terima kasih makan siangnya. Assalamualaikum." Salwa langsung menutup panggilan. Nina kembali. "Ada apa Kak?" Salwa pikir ia sudah mengulur waktu terlalu lama. "Nina, sebenarnya besok aku akan menikah," kata Salwa hati-hati mengeluarkan undangan dari lacinya. "Dan tidak akan mengunjungi butik beberapa hari karena harus mengurus pindah rumah..." "Menikah? Dengan siapa Kak? Apa mungkin yang kemarin?" Salwa nyeri. Nina tampak antusias, tapi wajahnya berubah saat melihat nama yang tertulis di undangan itu. "Kami dijodohkan. Aku tidak punya alasan untuk menolak, dan Athan juga melakukan ini demi ibunya yang punya riwayat sakit jantung." Nina jelas meremas kertas itu. Dengan tatapan yang bukan sebagai pegawai, "Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih awal? Aku bercerita tentangnya dan..." Salwa bisa maklum, kira-kira yang sedang Nina alami adalah kenangan pahit Salwa sebulan yang lalu ketika mengunjungi keluarga Zian. "Kak, boleh Nina cuti beberapa hari?" Salwa bukan tidak ingin memberi izin, "Tapi aku juga tidak bisa masuk beberapa hari setelah..." "Nina izin untuk hari ketiga, saat Kak Salwa kembali mengunjungi butik seperti biasa." "Baiklah. Besok kamu dan yang lain harus datang, butik tutup." Nina tampak kecewa luar biasa. Dia keluar seperti orang kalah perang, tapi Salwa tidak bisa menghiburnya ia tidak punya pilihan lain selain menerima kekecewaan Nina. "Ah, aku merasa jahat," katanya kepada diri sendiri. +++ Salwa bergerak malas meraih ponsel yang nyaring berbunyi. Panggilan itu mengganggu tidurnya, ia berniat tidak menjawab, tapi malah menekan tombol jawab. "Assalamualaikum." "Ada apa?" tanya Salwa malas. Tanpa membuka mata ia kenal suara itu. "Assalamualaikum," ulangnya lagi. Salwa ingin marah, tapi kekuatannya belum pulih untuk mewujudkan itu. "Waalaikumsalam. Ada apa?" "Sepertiga malam. Imam Syafii mengatakan sekarang waktu berdoa paling tepat. Seperti panah yang tidak akan melesat..." Salwa sedang tidak ingin mendengar kuliah pagi, "Aku tutup ya." "Tahajjud dulu. Kalau Allah memang menakdirkan kita tidak menikah, mungkin besok akan ada keajaiban yang menyelamatkan kita dari dosa penipuan ini." Salwa tertegun. "Kamu mendoakan supaya besok gagal?" Suara tersenyum mendera telinga Salwa. "Tidak. Aku berdoa semoga yang hati Salwa inginkan akan Allah wujudkan." "Bagaimana dengan doamu, harapanmu?" tanya Salwa heran. "Harapanku seperti harapanmu. Kerjakan tahajjud dulu..." Salwa langsung menutup panggilan. Ia tidak suka gangguan. Lagi pula Athan harusnya menyarankan hal itu jauh sebelum pagi ini. Kecuali ada hal besar yang membuatnya ragu di hari pernikahan mereka. Salwa berharap ia bisa menutup matanya lagi dan mengabaikan harapan Athan barusan, tapi ia tidak bisa. Bagaimana kalau Athan punya kejutan untuk hari besar besok? Salwa lekas beranjak dan melaksanakan tahajjud, ia memohon yang terbaik untuk kebaikan semua orang yang ia sayangi, juga orang-orang yang Athan sayangi. Pernikahan mereka, Salwa berharap tidak akan ada halangan, demi nama baik keluarga mereka berdua. +++ Tanggal 12 Desember 2017. Salwa mengerjap pelan. Tadi malam ia tidak bermimpi apa-apa, juga tidak berharap banyak hal. Jadi, harusnya hari ini berjalan lancar seperti yang telah dipersiapkan. Salwa menyingkap gorden kamarnya, cuaca di luar gerimis, tapi cerah tanpa awan hitam. Dari tempatnya berdiri terlihat beberapa kavling tenda untuk acara pernikahan mereka. Lalu-lalang semua orang sudah berpakaian rapi dan mereka tampak sibuk dengan bagiannya masing-masing. Salwa menghela napas. Rasanya seperti mimpi. Saat berbalik ia mendapati gaun putih yang akan dikenakan sesaat lagi yang terlihat begitu anggun. Salwa melewatinya lalu mengambil ponsel yang belum tersentuh lagi sejak telepon dari Athan dini hari tadi. Di sana ada lambang pesan masuk dari lelaki itu. "Terima kasih untuk pakaian istimewa ini, aku menyukainya." Salwa tersenyum. Athan menyukainya, itu berita bagus. Athan mengatakan tidak memberitahu siapapun rekan kerjanya tentang penikahan mereka dan meminta Salwa merahasiakannya sedapat mungkin. Salwa paham, dengan senang hati berterimakasih atas pengertian yang langka itu. Salwa tidak membalas pesan itu, ia membersihkan wajah, kemudian menyapukan bedak dan make up yang lebih tebal dari yang biasa dikenakannya. Salwa hanya khawatir mengecewakan diri sendiri kalau Salwa dalam foto pernikahan mereka tampak pucat dan patah hati. Mama dan yang lain menyarankan sewa rias pengantin, tapi Salwa menolak. Pernikahan itu bukan salah satu yang Salwa harapkan terjadi, ia merasa tidak perlu membesar-besarkan pesta sementara pernikahan itu sendiri hanya akan berlangsung tidak lebih tiga bulan. Kepala Salwa tertusuk, ia mengaduh pelan karena tertusuk jarum saat Meta menerobos masuk kamarnya. Wajah Meta tampak berbeda dengan make up yang sepertinya lebih tebal dari make up yang terpasang di wajah Salwa. "Sudah siap?" tanya Meta sumringah. Salwa kembali bercermin untuk memasangkan hiasan di jilbabnya. "Acaranya sudah dimulai?" "Sebentar lagi. Ayo Kak, semua orang sudah menunggu," katanya tak sabar ingin menarik Salwa berdiri. Meta membuka pintu untuk Salwa, lalu Mama berdiri di sana dengan mata berbinar yang siap menangis. "Anak Mama," katanya sambil merentangkan tangan menunggu pelukan Salwa. Salwa heran dengan dirinya sendiri. Entah mengapa tidak ada debu untuk menusuk matanya, padahal, mungkin saja ini waktu yang tepat sehingga Salwa bisa menangis dan pura-pura bahagia. Satu keinginan yang hati Salwa harapkan, semoga cepat berakhir. Pernikahan dan sandiwara ini. Salwa bukan muak karena pernikahan itu tidak sesuai kehendaknya, tapi karena bayangan Zian masih terasa disetiap langkahnya meski Athan berdiri di sana dengan senyuman menunggunya. Orang-orang terpana, tapi tetap Salwa tidak menunjukkan senyum manisnya. Syaraf senyumnya tiba-tiba terasa begitu berat. Salwa menuruni tangga, perlahan dan hati-hati bersikap anggun. Ruang tamu yang semula terisi kursi kini lenggang beralas karpet. Salwa dan Athan akan duduk di depan meja kecil di tengah-tengah ruangan untuk ijab qabul sementara yang lain jadi saksi. "Masyaallah. Tidak secantik bidadari," bisik Athan saat Salwa duduk di sebelahnya. "Terima kasih," balas Salwa tanpa tersinggung. "Baju itu kelihatan mewah untukmu." Senyum Athan lebar. "Yah, didesain langsung oleh calon istirku, bukan, sebentar lagi istriku. Mungkin banyak jahitan cinta di setiap lekuknya." Salwa tertawa pelan, perasaan tertekan itu tiba-tiba menguap, ia seperti menertawai bayangan Zian. Salwa bangga dengan hasil kerjanya, pernikahan itu dan membiarkan saja apa yang akan menanti di depannya nanti. Ia tidak punya pilihan lain lagi, jalan kembali sudah tertutup. Tidak perlu memikirkan rencana aneh yang pastinya akan gagal sekaligus mengecewakan. "Bisa kita lebih serius," pinta Papa Salwa yang duduk berseberangan di depan Athan. "Papa gugup sekali." Salwa dan Athan berdeham serentak kemudian diam sesaat. Athan melirik Salwa dengan wajah jahilnya. "Tenang Oom. Athan sudah menghafalnya dengan baik." Karena menahan gelak tawa, suara Salwa terdengar seperti kikikan pelan. "Maaf. Santai saja Pa." Beliau benar-benar tidak tenang, "Diamlah. Nanti Papa lupa yang harus diucapkan." "Papa sudah pernah melakukannya untuk Kak Neli," Salwa menenangkan. Tiba-tiba saja rasa haru hadir. Sosok Papa dengan gurat khawatir di keningnya membuat Salwa teringat perjalanan hidupnya sendiri. Salwa tidak akan pernah melupakan kebesaran hati Papa untuk selalu mengutamakan permintaannya. Salwa tersenyum sayang, "Hari ini Papa tampan dan keren. Terima kasih karena sudah menjaga Salwa selama ini dengan penuh kasih sayang." Papa yang semula gugup mengerjap, ia tampak mendongak untuk menahan airmatanya kemudian mengangguk yakin. "Sekarang kamu punya orang lain sebagai pelindung. Papa berharap kalian akan punya kisah bahagia sampai maut memisahkan raga kalian." Salwa menelan liur, ia ingin membantah tapi menyayangkan suasana haru yang rusak oleh nama Athan itu. "Papa tetap Papa Salwa. Satu-satunya. Yang terbaik," katanya sungguh-sungguh. Bisik-bisik mulai bungkam saat acara dimulai. Papa dan Athan berjabat tangan. Salwa pikir itu akan memakan waktu lama, tapi ternyata tidak lebih dari lima menit. Lima menit. Yang haram menjadi halal. Yang dosa jadi berpahala. Yang jauh jadi serumah. Lima menit yang menakjubkan. Salwa mengulurkan tangan, tapi Athan menarik tangannya malu-malu. Harusnya pihak wanita yang bersikap begitu. Belum lagi saat ia melihat Nina menangis tak jauh dari barisan di depan mereka. Salwa jengah. Ia ingin lari, tapi mungkin tindakan itu akan membuat kedua orangtua Athan dan Salwa dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tangan lepek berkeringat Athan membungkus jemari lentik Salwa, tapi genggamannya hangat. Lalu Salwa dipaksa mencium punggung tangan itu. Wangi, seketika semua yang lain berhenti, itu benar-benar aneh. Aroma itu mengalihkan Salwa, ia mulai ragu telinganya mendengar hal lain selain degup jantung entah miliknya atau punya Athan. Athan mendoakan Salwa, dengan tangannya menyentuh lembut ujung kepala Salwa. Salwa menerka mereka berdua benar-benar berada di dunia lain. Yang hanya ada Salwa dan Athan saja. "Kamu sah. Sebagai teman seperjuanganku," katanya dengan senyum aneh itu lagi. Salwa langsung tersenyum. "Yah. Kita di sisi yang sama. Demi para Mama." Selesai doa Athan dan Salwa terpisah. Masing-masing Mama merangkul anaknya suka cita. Terlihat beberapa orang menitikkan airmata, dan Salwa masih bingung sebab mereka bisa melakukannya. Padahal Salwa harap ia juga bisa walaupun sekedar airmata buaya. "Terima kasih sayang. Mama selalu bangga kepadamu," kata Tante Rika kepada Athan. Mereka tepat di sebelah Salwa. "Athan yang berterimakasih Ma. Untuk segala hal, semoga Allah selalu menjaga dan ridho kepada Mama Athan tercinta." Salwa tersenyum, ia benar-benar tidak yakin akan berhubungan hati dengan Athan. Bagaimana bisa anak manja bisa menarik hati wanita tangguh sepertinya, itu akan jadi kejutan yang luar biasa. Mama memeluk Salwa sambil menangis lagi. "Maafkan Mama. Semoga pernikahan kalian bahagia sampai tua," katanya haru. Sampai tua bersama Athan? Oh, para malaikat pasti ikut mendoakan seperti Mama. Tapi kalau Salwa tidak ikut mengaminkan Mama pasti curiga. Demi kebahagiaan Mama, "Aamiin." Acara ijab qabul selesai, semua undangan dipersilahkan makan. Kedua mempelai langsung didudukkan di kursi pelaminan, disambut ucapan selamat oleh tamu yang mulai berdatangan. Mereka sepakat melarang dokumentar dalam bentuk apapun kecuali yang Meta dan adik bungsu Athan ambil, kebetulan dia punya minat dalam fotografis. Sementara Meta sepertinya lebih banyak mengambil foto dirinya sendiri. "Bagaimana perasaanmu?" bisik Athan tanpa menoleh kepada Salwa. "Lega. Mamaku dan Mamamu sepertinya mulai berbaikan. Bagaimana denganmu?" "Sedikit khawatir." "Kenapa?" tanya Salwa heran, Athan tiba-tiba gelisah berbeda dari sebelumnya yang seolah bahagia. "Semua keluargaku di sini dan bisa dipastikan mereka akan menginap malam ini," jelasnya dengan raut minta maaf. Keluarga Athan akan menginap, maka rumah Athan akan terisi banyak orang. Salwa menelan ludah payah, ia ragu dengan pemikirannya sendiri, "Itu artinya?" "Ya. Itu. Artinya," tekan Athan yakin. Salwa menatap Athan curiga. Kalau keluarga Athan menginap, maka kamar lain akan terisi, dan sewajarnya pasangan baru menikah menikmati ruangan bersama. Salwa menggeleng. Hal tak terduga dan menyebalkan sering terjadi diantara dirinya dan Athan, ia tidak ingin daftar itu bertambah panjang. Apalagi kalau sampai hal paling tak mereka inginkan terjadi. "Aku bisa tidur membawa pisau." Athan tersenyum lebar. "Baiklah. Aku menginap di kamarmu. Lantai kamarmu." Salwa tidak akan berbaik hati. "Setuju." +++
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD