BAB 2

1880 Words
Salwa ingat pernah sekali dirinya mengunjungi keluarga Zian, beberapa bulan yang lalu. Dulu perasaannya berdebar gembira, debaran yang sekarang terasa malah menyesakkan. Bagaimanapun semuanya bergulir, dalam hati Salwa ingin selalu meyakini bahwa takdir Allah yang tetap akan terjadi. Ia tidak ingin kepercayaannya luntur barang secuilpun kepada Dzat Maha Sempurna, yang Salwa yakini selalu memberikan hal terbaik bagi hamba-Nya. Salwa semakin dekat dengan rumah itu, yang bercat putih gading dan kentara nyaman. Ia mengucap pelan basmalah dan melepaskan belenggu emosi daripada menguasainya. Setelah mengucap salam, seseorang keluar menyambutnya. "Assalamu'alaikum, Ma," ulangnya dengan perasaan sukacita. Wanita paruh baya itu mempercepat langkah dan seketika memeluk Salwa. Tanpa menunggu balasan salam, Salwa kini membalas pelukan itu beserta kerinduan yang sama. "Mama apa kabar?" Tanpa disangka suara tangis terdengar. Lalu Salwa menatap sepasang mata tua yang begitu lelah, kecewa dan tampak terluka. "Yaa Allah. Mama minta maaf, Salwa. Maafkan kami sekeluarga." Salwa merasakan suara retak dari harapan kosongnya. Semua berakhir. Secepat itu. Dengan rasa seperti itu. "Ma, izinkan Salwa masuk dulu. Kita bicara di dalam," ajaknya lembut. Ringkih tubuh itu teramat jelas bahkan dari cara berjalannya yang hampir limpung. Salwa di sisinya harus lebih waspada, padahal bumi di kakinya sendiri serasa telah runtuh. "Kamu sudah mendengarnya?" tanyanya getir. Salwa tersenyum, namun itu terlalu hambar untuk dilihat baik. Zian sudah menyangkal semuanya, entah untuk alasan apa. Yang jelas alasan tersebut adalah kenangan terakhir dari sosok yang pernah dicintainya sepenuh hati. "Salwa belum mendengar semuanya, Ma. Jujur, Salwa sangat kecewa karena tidak ada yang menjelaskan secara terus terang kalau pernikahan kami tidak akan terjadi." Mama menggeleng keras. "Mama tidak mengerti, tapi Zian mengatakan dia hanya ingin menikah denganmu. Mereka akan segera bercerai begitu bayinya lahir. Dan semuanya..." "Bayi?" ulang Salwa tak percaya. Bayi. Itu alasan yang terlalu jelas. "Zian khilaf. Mereka tak sengaja..." Kalimat itu menggantung lagi. Salwa bisa mendefinisikan sendiri skenario yang mereka patri di atas lukanya. Tak sengaja sampai hamil? Salwa bahkan tidak melakukan kontak langsung lebih dari pegangan tangan dengan Zian, dan orang lain itu melakukan segalanya. "Papa sekarang masih di rumah sakit karena berita ini," kata Mama berduka. "Sejak Zian mengabari kami. Pernikahan mereka hanya untuk bayi itu saja." Salwa perihatin. Ia paham betapa mengecewakannya hal itu untuk didengar. Namun semuanya sudah terjadi, dan tidak bisa diulang. Perihnya tak akan pernah bisa ia rangkum, cukup bunyi dalam hatinya bergema. Salwa tidak terusik untuk bersyukur, ia sungguh prihatin kepada orang tua itu, terutama dirinya sendiri. Mereka akan punya aib yang sama. Salwa dengan berita pernikahannya meski belum sempat menyebarkan undangan yang terlanjur dicetak yang sudah tersebar dengan foto lewat sosial media. "Siapapun tidak akan menyangka, Ma. Semoga Papa lekas sembuh," ucap Salwa tulus. "Mama akan ke rumah sakit, kamu bisa ikut?" ajaknya ragu. Salwa juga ragu, andai bisa ia memilih langsung pulang dan tidak perlu mengingat apa-apa lagi. Tapi nuraninya mengingatkan lagi, bahwa kesalahan itu terletak pada Zian dan pasangannya. "Salwa akan ikut Ma." Senyum lega terukir begitu jelas. Anehnya itu juga membuat perasaan Salwa lebih ringan. Ia bersyukur karena bukan Zian yang menjelaskan, Salwa sudah cukup mendengar garis besarnya dan ia tidak ingin ada rayuan, kebohongan, penyesalan, harapan atau kata apapun lagi yang mungkin Zian gunakan sebagai alasan. Salwa melihat adegan yang lebih menyedihkan di rumah sakit. Papa struk dan sepertinya itu akan lama untuk pulih, mungkin tidak akan pulih lagi. Sama halnya dengan hati Salwa. Lebih lagi Calara di sana. Wanita itu tampil menggunakan jilbab, menyambut Salwa dengan marah, kasar, jelas tidak suka. "Apa yang membawamu ke sini?!" Salwa tidak paham kenapa dirinya yang harus dicaci. Ia baru saja mengagumi kecantikan Calara secara objektif, atas proses hijrahnya itu. Sayang sekali pujiannya tidak akan terucap selamanya. "Jaga bicaramu, Calara!" bentak Mama. Calara terdiam dengan mulut rapat. Salwa tidak menghiraukan Calara. Ia melewati begitu saja seolah wanita itu tidak terlihat olehnya lalu Salwa menggenggam tangan Papa yang hangat dan berbisik lembut, "Salwa datang, Pa." Sudut mata Papa meneteskan cairan bening. Tanpa sadar airmata Salwa sendiri ikut jatuh. Namun alasannya bukan menyesal, Salwa hanya begitu paham rasa bersalah yang tidak bisa ditunjukkan Papa dengan kalimat atau cara lain. "Kami bersyukur kamu mau datang Salwa. Entah bagaimana mengurangi rasa bersalah kami kalau tidak bisa bertemu denganmu lagi," jelas Mama yang duduk di sisi suaminya. "Semuanya sudah ditakdirkan, Ma. Kita hanya hamba yang menjalaninya. Telah tertulis di lauh mahfuz semuanya." "Kami tetap menganggap kamu sebagai putri kami, meskipun bukan sebagai anak menantu." Salwa tersenyum dalam tangisnya. Andai menerima kenyataan semudah ucapan. "Terima kasih, Ma." "Kami yang berterimakasih." Salwa segera pamit. Menerima lagi pelukan Mama sebelum keluar. Baru sebentar Salwa menutup pintu Calara memanggilnya. Salwa melirik sesaat perut buncit Calara. "Ini terakhir kalinya aku harus melihat wajah menjijikkanmu itu." "Aku juga tidak berniat kembali," balas Salwa tak acuh. "Bagus." Calara menudingnya dengan tangan terbuka, "Jangan pernah mengganggu suamiku lagi." Suami. Salwa tersenyum miring, "Aku tidak pernah mengganggunya." "Yah, kuakui siapapun tidak bisa mengalahkan keegoisanmu. Pantas Zian selalu tertekan bersamamu." "Tertekan?" Salwa tidak bisa mempercayai pendengarannya. Ia merasa suara marah Calara seperti dengungan lebah yang mengganggu. "Bisa kulihat betapa sukanya Zian bersamamu." Calara bertolak pinggang, "Pernahkah Zian mengeluh kepadamu?" Salwa ingin menjawab tidak, tapi Calara mendahuluinya. "Tidak. Tidak pernah! Karena akulah yang selalu jadi tempat pelampiasan amarahnya. Sementara kamu sibuk dengan urusanmu sendiri." "Oh. Jadi sekarang kuucapkan selamat untuk kalian. Untuk ketabahanmu menerima keburukannya. Tentu bukan aku lagi alasan penderitaanmu setelah hari ini." Salwa tersenyum, "Terima kasih karena membantuku." "Jangan berani menghubungi suamiku!" Suara menggeram terdengar di belakang Salwa. Ia mengangkat tangan tanpa berbalik, "Akan dengan senang hati kulakukan." Setelah mendengar caci maki yang dilontarkan Calara, Salwa kehilangan rasanya. Benar-benar berhembus seketika segala hal yang pernah ia harapkan dari Zian atau lelaki manapun. Tertekan? Salwa bisa melihat bahwa dirinyalah yang tertekan. Ia yang harus mengejar dosen panas dan hujan, demi restu orangtuanya. Dan ternyata yang lelaki pecundang itu lakukan hanyalah mengumbar janji semu. Salwa kini sedang dalam perjalanan menuju rumah kakaknya. Ia kembali teringat Meta. Pecundang jaman now berjodoh dengan... Pelakor, perebut laki orang. Salwa mendapat sambutan hangat kakaknya. Neli tampak berdiri dalam gamis hitam saat taksi berhenti di pagar rumahnya. "Aku sudah mendengarnya dari Meta," kata Neli langsung dengan wajah prihatin. Salwa tersenyum lelah, "Tak seburuk yang Salwa bayangkan Kak." Neli mengangguk percaya, "Istirahatlah dulu. Nanti akan kakak buatkan masakan yang kamu sukai." "Terima kasih Kak." Salwa tahu tidak mudah menghapus kenangan mereka yang setahun lebih bersama. Ia hanya yakin bisa bertahan. Ia dulunya tidak mengenal Zian, dan kini ia hanya perlu jadi Salwa yang belum pernah bertemu dengannya. Salwa bukan tipikal mudah jatuh cinta, juga bukan yang mempan dengan gombalan. Tapi kegigihan Zian sedikit melunturkan kerasnya benteng hati Salwa. Mereka awal bertemu tanpa sengaja. Saat tiba-tiba angin bertiup dan jilbab panjang Salwa entah bagaimana tersangkut di jam tangan Zian. Lalu berita keduanya menghangat saat Salwa harus melakukan magang di tempat Zian bekerja. Takdir yang tragis. Salwa sudah menceritakan duduk perkara kepada kakaknya. Namun ia kini menceritakan lagi secara langsung kepada Mama Papanya. Lama keduanya hanya diam. Mungkin terlalu mengejutkan sampai Salwa pikir orangtuanya akan menangisi takdir putrinya atau meluapkan amarah dengan menelepon langsung keluarga Zian karena mempermalukan keluarga mereka. "Salwa baik-baik saja," katanya menenangkan. "Tentu. Mama bisa melihatnya." "Begitupun Papa." Salwa menghela napas. Bersyukur punya keluarga yang mengutamakan perasaannya daripada hal lain. "Pa, sepertinya kita tidak bisa menghindari ini," kata Mama dengan wajah serius. "Ya, Papa juga tidak bisa memaksa. Tapi jangan sekarang, sedikit lagi." "Ya, hanya sedikit lagi," kata Mama menyetujui. Salwa yang bingung akhirnya bertanya. "Ada apa? Apa yang Mama Papa bicarakan?" Mereka serempak menggeleng dengan senyum mencurigakan. Meta juga tidak menunjukkan emosi berlebihan, malah wajahnya sama tidak paham seperti Salwa. "Baiklah. Salwa senggang menunggu hari wisuda. Jadi Salwa ingin liburan, boleh?" "Ke mana?" tanya keduanya kompak. "Suatu tempat." "Tepatnya?" tanya Meta mewakili. "Dan berapa lama?" "Salwa belum tahu, dan Salwa tidak ingin siapapun tahu. Lamanya, mungkin satu minggu." "Mengisolasi diri? Hibernasi? Kakak jelas tidak cukup baik," komentar Meta apa adanya. "Yah, itu memang tidak mudah. Tapi itu lebih baik," dukung Mama. "Salwa mungkin akan menyesal kalau menikah dengannya," timpalnya sambil merasakan sekujur tubuhnya bergidik ngeri mengingat yang Calara pernah katakan. "Memang. Kalau Allah sudah menetapkan, itulah yang akan terjadi," ucap Papa dengan nada serius. "Ya. Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula." Mama tersenyum, "Kamu jangan risau. Allah sudah menyiapkan yang lebih baik untukmu." "Salwa percaya, Ma." +++ Salwa langsung melancarkan niatnya. Sama sekali buta tujuan, tapi ia secara pasti membeli tiket Pangkalpinang - Jakarta. "Kak, Meta akan memberitahu teman yang sudah terlanjur menendengar berita pernikahan Kakak." Meta menekuk wajahnya, "Mereka mungkin akan menertawai Kakak." Salwa tidak mencemaskan penilaian orang lain. Asal keluarganya menerima, yang lain bukan masalah besar. Kegagalan bukan hal memalukan, apalagi dalam kasus ini Salwa bukanlah pihak yang bertanggungjawab. "Meta belum berniat menikah?" "Ha?" Salwa menarik resliting koper. "Menikah. Kan sayang undangannya." "Kak, undangan itu kan nama Kakak. Meta calonnya saja punya." "Yah, mungkin Meta diam-diam menyimpannya," goda Salwa, "Atau..." "Meta mau menyelesaikan kuliah dulu," potongnya sambil menutup telinganya dari balik jilbab. "Kalau sudah datang, jangan dihalang, nanti dia menghilang," saran Salwa sambil tersenyum geli. +++ Salwa hampir menghabiskan liburannya. Seminggu yang hanya diisinya dengan memanjakan mata. Ia mengunjungi tempat yang belum pernah dijejakinya, bahkan beberapa tempat yang namanya saja Salwa belum pernah dengar. Di mana pun itu, Salwa tetap menemukan pasangan, hal yang mengingatkannya lagi tentang Zian dan Calara. Wanita itu memang lebih dulu mengenal Zian, dan mereka berdua juga teman sejak kecil dengan rumah berdampingan. Harusnya Salwa sudah bisa merasakan kedekatan mereka saat tahu Calara selalu ikut ke manapun Zian pergi, rela meninggalkan orang tua dan saudaranya untuk merantau bersama Zian. Salwa muak melihat wajahnya. Kini ia tersenyum karena pantulannya tampak lebih hitam. Ia mematikan ponsel selama liburan, dan secara khusus membeli kamera untuk menyimpan jejak perjalanannya. Salwa pulang tanpa mengabari keluarganya lebih dulu. Ia mendapat kritikan pedas Meta karena merusak kulit. Namun Mama Papa malah tertawa dan menganggap lucu. Salwa keluar kamarnya saat jam makan malam. Ia bekernyit saat melihat tumpukan cucian piring yang sedang Meta kerjakan. "Apa baru saja kita kedatangan tamu?" "Meta tidak tahu Kak. Tapi sepertinya Mama Papa mengundang beberapa orang. Setidaknya ada enam gelas tamu." Salwa melihat sekeliling, "Ke mana Mama dan Papa? Mereka tidak makan?" Meta menggidikkan bahu. "Mereka pergi ke supermarket setelah maghrib." "Untuk apa?" "Untuk apalagi," jawab Meta malas. "Tingkah keduanya aneh. Akhir-akhir ini Mama Papa banyak membicarakan hal yang tidak jelas." "Seperti?" Meta berbalik, "Mereka merencanakan sesuatu. Kadang-kadang Meta melihat Mama merengek kepada Papa, hampir menangis." Salwa penasaran. "Menangis? Apa masalahnya?" "Sepertinya berhubungan dengan dosa masa lalu, dan harus mencari seseorang itu sebelum meninggal dalam penyesalan," Meta kembali melanjutkan pekerjaannya. "Entahlah, tidak ada yang mau bercerita kepada Meta." Salwa tertawa. "Mungkin kamu masih kecil untuk tahu urusan ini." "Kecil?" Meta terperangah, "Meta dua puluh tahun. Dua-puluh-tahun, Kak." Salwa mengangguk geli. "Baiklah. Apa kita makan berdua saja?" "Mungkin mereka akan segera pulang." Salwa angkat tangan, "Aku menyerah. Meta makan tunggu Mama Papa. Kakak, akan makan dulu, lalu istirahat lagi," katanya dengan nada usil. "Curang!" Salwa berdeham. "Oh, andai engkau bisa merasakan luka hati ini," ucapnya seperti membacakan puisi. "Oh, tidak," balas Meta. "Terima kasih banyak," lanjutnya cepat-cepat. Salwa tertawa dan melanjutkan niat. Ia melihat-lihat foto perjalanannya sebelum tidur, dan tersenyum ingin melakukannya lagi nanti. Salwa berencana akan menikmati hidupnya, dengan atau tanpa status pernikahan. Kenyataannya Salwa tidak benar-benar membutuhkan seorang lelaki, ia cantik, sukses dan tidak kurang kasih sayang. +++
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD