Pertemuan

1334 Words
Sayapnya terluka. Luka parah yang menyebabkan dirinya jatuh, tergelatak tak berdaya di dunia manusia. Dia bahkan sudah sekarat. Tak hanya sayap, bagian kepala sampai leher pun terluka akibat serangan beberapa pimpinan kelompok pemberontak. "Sial." Heise menggertakkan rahang menahan sakit dan emosi. Dalam kondisinya sekarang, tidak memungkinkan untuk kembali ke dunianya. Luka di beberapa titik vital membuat kekuatannya tak bekerja dengan baik. Tak bisa terbang, teleportasi, menghilang dan sialnya ia tak bisa mengubah wujudnya menjadi manusia. Heise mendengus. Dia harus bersembunyi, jangan sampai bentuk naganya terlihat manusia. Pelan - pelan, Heise menyeret tubuhnya menuju ke sebuah gua yang tidak jauh dari tempatnya jatuh. Beruntung gua yang dilihatnya tertutup rerimbunan. Heise hanya berharap, ia tak dimakan semut marabunta di hutan ini. **** Bocah kecil itu memanggul keranjang, tangan kanannya memegang belati kecil. Berlutut, bocah itu meraba dan mengendus semak - semak yang ada di depannya. Mencari tanaman yang berfungsi sebagai obat. Senyumnya mengembang ketika mendapat apa yang dicari. Orangtuanya pasti akan bangga padanya. Hari ini, gadis delapan tahun itu terpaksa mencari tanaman obat sendirian untuk ayahnya yang sakit, sedangkan ibunya harus bekerja sebagai pelayan di salah satu bangsawan. Dia sudah mengenali hutan ini, selain letaknya yang tak jauh dari rumahnya. Dia juga sudah terbiasa pergi menemani ayahnya mencari tanaman obat ke gunung maupun ke hutan. Sebelumnya, sang ayah sudah mewanti - wanti agar ia tak pergi terlalu jauh ke tengah hutan. Tetapi karena tanaman yang ia butuhkan masih kurang, ia memutuskan untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan. Aira kecil memotong semak serta ranting - ranting pohon untuk memudahkan perjalanannya. Lalu manik cokelatnya berbinar ketika melihat bunga berwarna ungu dengan daun berbentuk bintang merambat di bebatuan. Itu adalah bunga Sian. Tanaman langka yang ampuh meredakan nyeri. Saat asyik memetik bunga itu, telinganya menangkap suara geraman bercampur rintihan. Penasaran, ia mengikuti sumber suara lalu masuk ke sebuah gua kecil yang tertutup semak. Aira terhenyak, matanya membelalak terkejut melihat binatang luar biasa besar bersayap tergelatak di sana. Heise yang menyadari kehadiran bocah itu seketika mengeram. Ingin bangkit membunuh bocah itu namun sayang, lagi - lagi ia roboh. Aira segera lari, namun bukannya pergi, bocah itu malah bersembunyi di balik gua. Takut - takut mengintip dirinya. Mata bulatnya berkedip beberapa kali, pikiran kanak - kanaknya yang polos merasa penasaran. Dia tidak pernah melihat hewan seperti ini. Orangtuanya juga tidak pernah bercerita bahwa ada burung sebesar ini. Lalu dilihatnya luka serta darah di tubuh hewan itu. Merasa kasian, takut - takut Aira berjalan ke arahnya. Dasar bocah, mau cari mati ya! Decak Heise dalam hati ketika anak perempuan itu tak kunjung pergi malah melangkah mendekatinya. Heise mengeram. Ingin menyemburkan nafas apinya membakar bocah itu namun yang keluar hanya asap. Heise mendengus muram. Bahkan sekarang lukanya membuat ia tak bisa mengeluarkan api. Aira berjingkat ketika Heise mendesis marah memperlihatkan gigi - gigi tajamnya. "Tenang burung raksasa, aku tidak akan menyakiti mu." Ucap Aira, langkahnya tampak was - was ketika ia kembali mendekat. Burung? Huh. Dasar bocah bodoh, jika kau tidak pergi aku akan memakanmu. Heise kembali mengeram seperti anjing yang tidak suka diganggu. Namun dia juga meringis ketika sengatan perih kembali menerjang. Bahkan pandangannya sekarang menjadi redup. Sial. Dia benar - benar sekarat dan mungkin saja akan mati. Remang - remang, ia melihat bocah manusia itu berlutut. Lalu meletakkan pisau serta keranjang yang dibawanya. Mata polos bocah itu berbinar takjub. Hewan besar ini luar biasa indah. Lalu ia menelusuri sepasang sayap yang menelungkup dengan darah merembes di sana. Hati - hati, jemarinya mengelus sayap itu, "Burung raksasa, jangan takut. Aku akan mengobati mu." Aira kemudian mengambil dedaunan serta bunga Sian yang baru dipetiknya. Lalu menumbuk keduanya secara bersamaan. Bocah ini, mau main dokter - dokteran hah? Liat saja, kalau aku lapar aku akan memakan mu. Heise mengernyit perih ketika Aira mengoleskan tumbukan dedaunan itu ke lukanya. Manik merahnya mendelik marah menatap bocah perempuan itu. "Tenang burung raksasa, ini adalah obat penyembuh luka. Ayahku seorang tabib jadi aku sedikit tahu cara pengobatan." Aira lantas merobek pakaiannya. Kemudian mengelap luka yang ada di leher Heise yang saat ini berwujud naga. Heise yang hampir kehilangan kesadaran hanya terdiam saat anak manusia itu terus mengoleskan beberapa ramuan yang ia tumbuk ke beberapa lukanya. "Burung raksasa, mungkin beberapa saat kau akan merasa terbakar tapi itu tandanya obat ini bereaksi." Aira menoleh ke luar dan menyadari sore akan tiba, "Aku harus pergi, ayah dan ibuku pasti khawatir. Tenang saja, besok aku akan kembali." Ujarnya. Sebelum pergi, ia membuat api unggun agar semut tak menggerubuni burung sekarat ini. Dalam diam, Heise melihat kepergian bocah itu. Dan sekarang, kesadarannya benar - bebar hilang. **** "Ayah." Aira segera berlari menuju ayahnya yang terbaring dan tampak cemas. "Astaga Aira, syukurlah kau kembali. Ayah benar - benar khawatir." Pria paruh baya itu menghela nafas lega sembari mengusap puncak kepala putrinya. Sesungguhnya ia tak tega melihat anaknya pergi sendirian di hutan mencari tanaman obat untuk dirinya. "Tenang ayah, aku tak apa-apa. Aku bawa bunga Sian untuk ayah." Aira memamerkan hasil buruannya dan segera menumbuk bunga itu dengan beberapa campuran tanaman herbal untuk luka bakar yang di derita ayahnya. Beberapa hari lalu, saat sedang merebus ramuan obat. Tak sengaja ayahnya terkena air rebusan mendidih itu. "Ayah, tadi di hutan aku bertemu burung raksasa. Dia terluka, kelihatannya tak bisa terbang dan aku mengobatinya." Cerita Aira sembari mengoleskan ramuan ke luka ayahnya. "Ohh ya! Benarkah, seberapa besar burung itu?" "Sangat besar ayah. Lebih besar dari kerbau kita." Sang ayah tertawa mendengar cerita puterinya. Tentu saja ia menganggap apa yang diungkapkan anak perempuannya ini adalah sebuah khayalan. Mana mungkin ada burung sebesar kerbau? "Besok aku akan menemui burung itu lagi ayah. Kasian dia terluka dan sendirian. Jangan ceritakan pada ibu ya!" Ayahnya tersenyum lalu mencubit pipi puteri cantiknya itu, "Tentu saja, puteri ayah baik hati dan suka menolong." **** Esoknya, Heise terbangun dan merasakan luka di tubuhnya jauh lebih ringan dibanding kemarin. Dan ia juga mendapati anak kecil itu kembali lagi. Kali ini tak hanya membawa obat - obatan, anak itu juga membawa buah - buahan serta air. "Burung, minum dan makanlah! Kau pasti lapar kan?" Heise mendengus, Apa ini? Aku lebih suka daging. Tetapi tak urung Heise tetap memakannya karena ia benar - bebar butuh nutrisi ia juga kehausan. Heise lantas membiarkan saja saat anak itu kembali mengobatinya. Sang naga merah hanya terbaring dan pura - pura mendengar celotehan tak jelas anak kecil itu. Dalam hati, ia bertanya - tanya apa anak itu tak takut pergi ke hutan dan diterkam binatang buas? Ataukah orangtuanya tak khawatir membiarkan bocah yang belum genap sembilan tahun berjalan - jalan ke hutan sendirian? Heise berdecak. Biarlah, selama anak ini bisa mengobatinya tak masalah. Dan haripun berganti, sudah tiga hari semenjak dirinya terluka dan anak ini selalu datang merawat lukanya. Perlahan lukanya berangsur sembuh dan sedikit demi sedikit kekuatannya kembali pulih. Sebenarnya, selama tiga hari ini, Heise merasa was - was kalau bocah itu memberitahu tentang penampakan dirinya kepada orang lain. Bisa gawat jika manusia lain melihatnya. Namun sepertinya rasa cemasnya bisa ia kubur lantaran sampai sekarang anak itu belum terlihat membawa siapapun kemari. "Burung raksasa, hampir sore aku pulang dulu ya!" Ucap anak itu, tersenyum sembari mengusap kepala Heise. Heise tertegun melihat senyum cemerlang bocah itu. *** Dia sudah bisa mengubah wujudnya menjadi manusia lagi. Ia juga sudah bisa berjalan. Dan kini saatnya kembali ke Legendary Land dan membuat perhitungan kepada kelompok pemberontak. Dia hampir mati karena mereka. Kalau saja tidak ada anak ini, ia mungkin sudah jadi bangkai. Tetapi sebelum pergi, ia harus melakukan sesuatu. Diam - diam, Heise mengikuti kepergian bocah itu. Setidaknya dia harus mengantarkan anak perempuan ini dengan selamat sebagai ucapan terimakasih. Astaga, ini hutan. Dan anak kecil itu seolah menganggap hutan seperti taman bermain. Bagaimana jika tiba - tiba ada binatang buas atau siluman yang menerkamnya? Dan ternyata benar. Heise melihat harimau mengendap - endap hendak menerkam bocah itu. Namun Heise segera meloncat turun. Hanya sebuah desisan darinya, harimau itu sudah berlari ketakutan. Pada akhirnya anak perempuan itu kembali pulang dengan selamat. Itu merupakan pertemuan pertama dan terakhir mereka. Setidaknya itulah yang Heise pikirkan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD