SEPERTI biasanya, Isabela mulai mengalami hari-hari buruknya dan berakhir dengan menangis di dalam kamar mandi sendiri sambil terus menyumpal mulutnya dengan roti agar isakannya tidak terdengar dari luar. Dia pikir, dunia perkuliahan akan sangat menyenangkan. Isabela berpikir bahwa dirinya akan dengan mudah diterima—berteman dengan siapapun atau mengikuti kegiatan apapun yang dia suka.
Sayangnya, banyak diantara teman kuliahnya yang membencinya tanpa sebab. Mereka mengatakan bahwa Isabela adalah perempuan tukang mencari perhatian hanya karena dirinya terpilih menjadi salah satu kandidat duta kampus oleh senior mereka. Tentu saja poin utama dan paling utama ketika mencari calon duta kampus adalah dari wajahnya. Isabela tidak bisa diragukan lagi jika menyangkut dengan kecantikan.
Mengakui atau tidak, Isabela sangat cocok dengan image royal princess yang ada di negeri dongeng. Tepat serta cocok dengan namanya juga. Sebenarnya Isabela sudah berusaha menolak, namun pihak seniornya pun memaksanya untuk berpartisipasi dalam acara. Toh, belum tentu juga dirinya yang memenangkan juara pertama dan menjadi duta kampus yang baru. Namun tetap saja, dirinya mendapatkan banyak tekanan dari orang-orang yang ada disekitarnya.
Klek! Isabela keluar dari kamar mandi dan cukup terkejut karena ada orang yang berada di depan pintu. Tangan perempuan itu menyodorkan kotak tisu kepada Isabela dan disambut dengan ragu olehnya.
"Seharusnya kamu memukul atau setidaknya menendang kaki mereka. Padahal mereka sama sekali tidak cantik, tidak berbakat, tidak pula pintar, tapi berlagak ingin menjadi duta kampus." Tandas perempuan yang memberikan kotak tisu itu kepada Isabela yang saat ini tengah memoles sebuah lip ice pada bibirnya.
Isabela menatap perempuan itu dari samping, memang cantik. Mungkin hanya perempuan ini lah yang mau bicara padanya. Bahkan dari kedua matanya, terlihat ketulusan di sana. Perempuan di depannya memang bukan orang yang palsu, yang selalu mengekspresikan dirinya sesuai dengan apa yang terjadi. Suka atau tidak! Isabela bisa melihatnya.
"Namamu Kana, 'kan?" Tanya Isabela kepada perempuan itu.
Perempuan itu, Kana, mengangguk dengan cepat.
"Kita harus akrab karena aku akan menjadi kakak ipar yang baik." Ucap Kana yang membuat kerutan di dahi Isabela.
Apakah dia salah dengar? Bahkan tidak ada seorang pun yang pernah mengatakan suka pada Kakaknya sebelumnya dengan cara yang aneh seperti yang Kana lakukan baru saja. Tentu saja Isabela bisa menangkap bahwa Kana menyukai Kakaknya. Terlihat dari wajahnya yang sangat berbinar ketika bicara tentang Kakaknya.
Kana memegang kedua pundak Isabela, "katakan pada Arkana jika aku sudah tidak menggunakan baju yang terbuka, tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak datang ke club' malam, tidak berteman dengan orang yang membuatku berjalan di jalan yang salah, tidak—"
"Minum alkohol?" Sela Isabela pada Kana yang menyebutkan sesuatu yang mungkin dilarang oleh Arkana atau hanya akal-akalan Arkana saja agar tidak didekati siapapun.
Kana menganggukkan kepalanya dengan cepat, "Arkana sepertinya tidak suka perempuan yang minum alkohol apalagi sampai mabuk. Kata Arkana itu bahaya! Apalagi aku suka berpakaian seksi. Kamu tidak pernah pergi ke club'?"
Tentu saja Isabela menggelengkan kepalanya pelan. Pergi keluar rumah saja jarang dan keluar pun harus dengan ijin Kakaknya, bagaimana bisa dirinya datang ke club' malam yang seringkali diceritakan oleh remaja-remaja seumurannya dulu. Bahkan orang-orang seusianya sudah pernah mencicipi alkohol. Tetapi dirinya tidak pernah. Arkana akan memarahinya jika tahu Isabela pergi ke club' apalagi sampai minum alkohol seperti itu.
"Hm, ... bagaimana rasanya alkohol? Maksudku, bagaimana ketika seorang yang minum alkohol mabuk? Apakah orang yang mabuk bisa pendarahan atau semacamnya?" Tanya Isabela kepada Kana yang mengerutkan keningnya bingung.
Kana berpikir sejenak, "mabuk itu seperti tidak ingat sesuatu, mungkin. Aku jarang mabuk karena aku tidak mau berbuat kesalahan yang fatal. Kalau misalkan sampai pendarahan, bukankah itu berbahaya? Memang Arkana berdarah?"
"Oh, ... bukan! Bukan Kakakku." Ucap Isabela salah tingkah.
"Pacarmu yang menyebalkan itu?" Tanya Kana tanpa filter sama sekali dan mengatakan bahwa Gala orang yang menyebalkan. "Maksudnya, ... pacarmu! Iya, lupakan tentang kata menyebalkan yang aku sematkan tadi." Sambungnya sambil mencuci tangannya.
Isabela hanya menggeleng pelan dan tersenyum, "aku hanya penasaran saja."
"Mungkin jika ada yang terluka, itu bukan karena mabuk. Tapi karena berkelahi dengan orang lain. Ada momen disaat dua orang mabuk berkelahi karena hal sepele padahal mereka tidak saling mengenal." Lirih Kana akhirnya.
Isabela hanya penasaran dengan tetesan darah yang tercecer di lantai. Apakah Arkana terluka sampai darah kental itu menempel di lantai rumah? Tapi Arkana kelihatan sehat kecuali keringat yang banyak dan wajahnya yang pucat. Sebenarnya Isabela ingin bertanya kembali kepada Kana. Tapi dia mengurungkan niatnya itu.
"Isabela," panggil Kana sebelum mereka keluar dari kamar mandi bersama. "Jika mereka meremehkan kamu karena mengganggap kamu tidak pantas menjadi duta kampus. Maka buktikan bahwa kamu bisa mengalahkan mereka semua dan manjadi duta kampus. Memang mereka akan marah, hadapi saja! Mereka tidak akan berhenti begitu saja meskipun kamu diam." Sambung Kana lagi.
Ucapan Kana memang benar, tetapi dia tidak mempunyai keberanian itu. Dia hanya bisa diam ketika orang lain melakukan hal buruk kepadanya dan selalu mengatakan hal tidak pantas hanya karena dia cantik.
"Kana," panggil Isabela balik, sebelum Kana meninggalkannya. "Apa Arond baik-baik saja?" Sambung Isabela yang bertanya tentang keadaan Arond.
Terakhir kali mereka bertemu, tidak berjalan baik. Bahkan Arond hanya menatapnya dingin dan pergi begitu saja. Kana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padanya. Itu juga hari pertama Arond meninggalkan kelasnya. Bahkan dia tidak pernah melakukannya meski ketika aku ulang tahun sekalipun. Padahal aku teman baiknya dari kecil." Gerutu Kana sambil menatap sepasang sepatunya.
Isabela hanya menganggukkan kepalanya. Dia juga tidak tahu apa yang membuat Arond menatapnya dengan tatapan dingin seperti waktu itu. Padahal mereka baik-baik saja sebelumnya, bahkan mereka juga mengobrol bersama.
"Sebenarnya, ... bagaimana perasaan kamu pada Arond? Aku tahu kalau Arond sangat menyukai kamu. Dia bilang, kamu mirip dengan seorang yang dia kenal. Tapi orang yang dia kenal 'kan cuma aku. Dia sama sekali tidak pernah menceritakan tentang perempuan selain kamu. Pernahkan dia mengatakan perasaannya?" Tanya Kana kepada Isabela yang hanya ditanggapi dengan gelengan saja.
Kana mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
"Tapi, setahuku, Arond mau bilang padamu ketika memberikan sebuah sketchbook. Tapi entahlah, sepertinya dia tidak jadi melakukannya." Tandas Kana yang membuat Isabela terdiam beberapa saat.
Sketchbook? Arond memberikannya sebuah sketchbook waktu itu, ketika dia datang ke rumah Isabela. Lebih tepatnya lagi ketika Arond melihat Isabela bersama dengan Gala yang berada di dalam mobil. Isabela tak mampu berkata-kata selain hanya diam sambil memainkan jemarinya sendiri.
Kana menepuk bahu Isabela dan beranjak meninggalkan perempuan itu sendirian di kamar mandi. Isabela tidak tahu arti tatapan Kana kepada dirinya. Apalagi setelah mengatakan bahwa Arond menyukainya, bahkan hendak mengatakan perasaannya. Tetapi bagaimana perasaannya sekarang? Apakah jika Gala tidak mengatakan perasaannya saat itu, mungkinkah Isabela akan menerima Arond?
Perempuan itu hanya diam sambil menatap dirinya di cermin. Apakah sudah benar?
Padahal, awalnya Isabela memilih Gala karena laki-laki itu juga dekat dengan Arkana. Namun ternyata respon Arkana di luar dugaan. Arkana malah menentang hubungan antara keduanya. Bahkan mereka sempat bertengkar. Mungkin jika Isabela tidak sakit waktu itu, bisa jadi mereka berdua belum berbaikan. Jadi, apakah Isabela salah?
~~~~~~~~~
Selama perjalanan pulang, Isabela diam tanpa kata. Perempuan itu lebih banyak melamun sambil menatap ke arah keluar jendela. Gala yang ada di jok kemudi, sesekali menatap Isabela dan akhirnya memilih memegang tangannya. Isabela menoleh ketika tangannya digenggam oleh Gala—tersenyum sekilas sebagai tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Walaupun sebenarnya, pikiran perempuan itu terasa penuh dan penasaran dengan banyak hal.
Isabela masih kepikiran tentang pernyataan cinta Arond atau soal keadaan Arkana yang sekarang. Dia ingin segera sampai di rumah dan melihat kondisi Kakaknya itu. Apa Arkana sudah membaik atau masih terbaring di kamarnya. Semua itu juga terfokus kepada tetesan darah yang menempel di lantai. Isabela yakin bahwa itu darah. Teksturnya dan aromanya sangat berbeda dari apapun.
"Sesuatu terjadi?" Tanya Gala kepada Isabela ketika mobil mereka berhenti di lampu merah.
Isabela menganggukkan kepalanya pelan, "para senior memintaku untuk menjadi salah satu calon kandidat duta kampus. Banyak orang yang membenciku. Jadi aku menangis!"
Gala tersenyum melihat ekspresi menggemaskan yang ditunjukan oleh Isabela. Meskipun banyak hal yang ada di dalam kepalanya. Namun Isabela memilih mengatakan apa yang dia rasakan tentang kehidupan kampus yang dialaminya. Itu lebih baik daripada menceritakan tentang Arond ataupun Arkana. Karena dua laki-laki itu memang bukan masuk kapasitas Gala. Cukup Gala hanya tahu tentang dirinya, tanpa perlu tahu hal lainnya.
"Jadi, ... apa keputusanmu? Apakah kamu akan menyerah begitu saja? Atau tetap mengikutinya?" Tanya Gala, matanya masih fokus menatap Isabela.
Isabela hanya mengangkat kedua bahunya, "itu yang aku pikirkan sekarang. Tapi kata Kana, jika mereka meremehkan aku tentang hal itu. Maka aku harus bisa memenangkan hal itu juga. Aku tidak tahu harus menjadi seperti apa. Tapi sepertinya aku mulai setuju dengan pendapat Kana."
Setelah mendengar nama Kana, raut wajah Gala berubah tidak senang. Dia berusaha untuk menyembunyikannya dari Isabela. Walaupun tidak begitu mengenal Kana. Namun beberapa kali dirinya bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang selalu bersikap sok tahu tentang hidupnya.
"Kamu dekat dengan Kana?" Tanya Gala dengan melirik ke arah Isabela yang kembali fokus menatap ke arah keluar jendela.
Isabela menoleh dan menganggukkan kepalanya, "dia perempuan yang baik dan lucu. Dia juga berjiwa bebas dan pandai bertindak dalam situasi yang memaksanya untuk berpikir sendiri. Aku ingin sepertinya yang selalu bisa melakukan apapun sendirian. Kana menentukan tujuan hidupnya dan menemukan apa yang benar-benar diinginkannya."
Gala hanya menanggapinya dengan senyuman saja. Dia tidak mau banyak berkomentar tentang perempuan yang bernama Kana itu. Sejak awal pertemuan mereka memang tidak meninggalkan kesal yang baik dan membuat Gala membenci Kana. Apalagi Kana sepertinya sangat mengetahui tentang segala hal berkaitan dengan dirinya.
Setelah sampai di halaman rumah Isabela. Gala menghentikan mobilnya dengan senyuman ke arah perempuan itu dan mengelus kepalanya dengan lembut.
"Kak Gala tidak mau masuk dulu?" Tanya Isabela karena tidak melihat pergerakan yang signifikan dari Gala yang kelihatan akan turun dari mobil sama sekali.
Gala menggeleng pelan, "ada banyak urusan yang belum aku selesaikan. Tapi aku janji akan menelepon lagi jika semua urusanku sudah selesai. Maaf karena tidak mempunyai banyak waktu untuk bersama denganmu."
"Tidak apa-apa, Kak. Aku tahu jika Kakak sedang sibuk akhir-akhir ini. Apalagi memimpin perusahaan tidak bisa dianggap mudah. Pasti semuanya butuh penyesuaian. Aku mengerti!" Tandas Isabela yang akhirnya turun dari mobil Gala setelah mendapatkan sebuah ciuman di keningnya cukup lama.
Isabela melambaikan tangannya ke arah Gala sebelum mobil laki-laki itu keluar dari halaman rumahnya. Tak lama kemudian, Isabela masuk ke dalam rumahnya. Tercium aroma masakan yang sangat enak. Terlihat Arkana yang tengah menyiapkan piring yang dia letakkan di atas meja makan.
"Eh, ... sudah pulang?" Tanya Arkana yang kemudian memberikan senyum ke arah Isabela dengan raut wajah yang tidak sama seperti tadi, lebih cerah dan tidak sepucat tadi.
Isabela merasa lebih tenang ketika melihat raut wajah Kakaknya yang kembali ceria. Mungkin benar jika tadi Arkana mabuk sehingga terlihat sakit. Isabela tidak lagi curiga, padahal Arkana sudah berusaha mati-matian untuk menyembunyikan rasa sakitnya.
"Kakak sudah masak banyak untuk kamu. Maaf karena tadi pagi Kakak langsung tidur dan tidak mengantar kamu ke kampus." Ucap Arkana yang nada suaranya tidak enak.
Bukan karena tidak mengantarkan Isabela. Namun karena Arkana tidak enak dengan kebohongannya sendiri. Dia sudah banyak membohongi sang adik dan untungnya Isabela selalu percaya kepada seluruh kebohongan yang dirinya buat.
"Tidak apa-apa, Kak. Kalau begitu aku akan pergi ke kamar untuk mengganti pakaianku dan datang kemari untuk makan bersama dengan Kakak." Lirih Isabela yang memberikan pelukan singkatnya kepada Arkana.
Arkana menatap kepergian Isabela yang menuju ke kamarnya. Arkana memejamkan matanya sejenak ketika perutnya terasa nyeri yang tidak bisa tertahankan. Seharusnya dia banyak istirahat agar lukanya tidak semakin lebar. Namun sayangnya, dia harus terlihat baik-baik saja, setidaknya di depan Isabela. Karena Isabela selalu mengkhawatirkannya. Bahkan ketika dirinya datang tadi.
Tidak lama kemudian Isabela keluar dari kamarnya dan menghampiri Arkana yang berusaha mati-matian untuk menahan rasa sakitnya. Dia pun kembali tersenyum menatap Isabela. Mengajak Isabela makan dan mendengarkan cerita-cerita Isabela ketika seharian berada di kampus. Arkana hanya mendengarkan dan berusaha untuk memakan makanan yang dia masak bersama dengan Isabela. Meskipun rasanya tidak mempunyai napsu makan sama sekali, Arkana yang bisa memaksa makanan itu masuk ke dalam mulutnya.
Isabela sendiri tidak bicara tentang kejadian di kampusnya—kenyataan bahwa dirinya tidak mempunyai teman atau perundungan yang kadangkala membuatnya ingin kembali menjadi mahasiswa yang belajar di rumah dan melakukan kuliah lewat video saja. Isabela ingin mengatakan bahwa dirinya sangat kesulitan. Namun semua ini juga karena keinginannya sendiri. Dia memaksa Arkana mendaftarkannya kuliah di tempat yang diinginkannya. Sekarang, dia merasa tidak nyaman dan terjepit.
"Semua baik-baik saja?" Tanya Arkana membuka suara karena melihat ekspresi Isabela yang seperti ingin mengatakan sesuatu kepada dirinya.
Isabela menggeleng pelan, dia hanya tersenyum tipis dan mulai membahas Kana sebagai pencari suasana. Arkana tentu saja hanya menggelengkan kepalanya dengan heran dan Isabela dengan semangatnya bercerita. Mereka sejenak melupakan realita menyakitkan yang ada dan mulai berbicara tentang hal sepele yang membuat mereka bahagia.
~~~~~~~~~~