Rindu

1446 Words
        Sesuai rencana awal, Dani menuju kelas Farhan. Dirinya berjalan sambil menggertakkan gigi, salah satu tangannya menyapu poni yang berantakan ke atas kepala. Ia mengintip ke dalam kelas Farhan, nihil, tidak ada satu orang pun di dalamnya.         “Semua pada kemana, sih?” Ia melihat ke dalam dan ke luar kelas.         “Nyari siapa?” tanya siswi yang ingin masuk ke kelas MIA 2.         “Farhan.” Dani menjawab dengan ramah.         “Oh, masih di lapangan basket kayaknya.” Gadis itu berjalan melewati Dani memasuki kelas.         Sesuatu dalam kepala Dani baru tercerahkan, ia baru ingat hari ini adalah jadwal kelas Farhan pelajaran olahraga. Karena tak punya alasan lain, dirinya memutuskan untuk pergi ke kantin sendirian. Dalam perjalanan kesana, ia berpapasan dengan seniornya di ekskul basket yang ia temui tadi pagi. Rizky.         “Hey, Kak!” sapa Dani.         “Dan!” Rizky yang menyadari ada Dani langsung menghampirinya. “Mau kemana?”         “Kantin.”         Rizky mengangguk-angguk.         “Kalo, Kak Rizky?” lanjut Dani penasaran.         “Ke lapangan basket, mau ketemu pak Agoy.”         Gantian Dani yang mengangguk-angguk. Tidak ada respon dari Rizky, keduanya diam dan berjalan seiringan. Akhirnya mereka berpisah di depan lorong lab kimia karena jalan menuju kantin dan Lapangan Basket berada di arah yang berbeda. Keduanya saling mengangkat tangan sebagai tanda sampai jumpa.         Dani menelusuri penjual-penjual yang ada di kantin, ia mencari sesuatu yang menarik untuk di beli. Para siswa lain bergerumbul di beberapa stan penjual seperti semut yang mengelilingi remahan roti. Melihatnya saja membuat ia mengurungkan niatnya untuk ikut antre, akhirnya ia berhenti pada stan es cincau yang tidak ramai di kelilingi siswa lain. Setelah mendapatkan es cincaunya ia melihat sekeliling untuk mencari tempat duduk.         “Woy, Dan!” teriak Kiki sambil melambaikan tangannya.         Tak perlu pikir dua kali, dia langsung menghampiri Kiki yang sedang duduk dengan teman sekelas yang lain.         “Nggak bareng si Farhan?”         “Lagi olahraga dia,” jawabnya sambil duduk di sebelah Kiki.         Beberapa teman Dani yang lain hanya mendengarkan dan sibuk bicara masing-masing, mereka masih belum akrab satu sama lain. Bisa dibilang di tahap adaptasi karena mereka juga masih satu bulan di sekolah ini.         Kiki mulai membuka obrolan diantara mereka, guyonan yang cukup membuat pendengarnya merasa terpancing untuk ikut mengobrol. Sikap inilah yang membuatnya dipilih menjadi ketua kelas.         Tujuh jam berada di sekolah membuat tubuh Dani mulai lelah, untungnya bel pulang sudah berbunyi. Hari ini dia akan menagih janji Farhan kemarin hari. Lidahnya sudah tidak sabar merasakan cilok depan sekolah langganan mereka.         Dia segera beranjak dari kursi untuk menghampiri Farhan. Ketika akan keluar dari kelas dia harus melewati bangku Aneta. Tapi dirinya memilih tak mempedulikan itu, mungkin saja Aneta juga sudah melupakannya. Mata mereka tak sengaja bertemu ketika Aneta beranjak dari tempat duduknya. Cara Aneta menatap Dani masih sama seperti tadi pagi.         Untuk membalas tatapan Aneta, mata Dani langsung kabur ke arah lain. Ia tak berani mentapnya, atau mungkin rasa bersalahnya masih belum hilang. Untungnya di depan kelas Farhan sudah menunggunya, sehingga ia tidak seperti salah tingkah di depan Aneta.         “Langsung ke bengkel, nih?” tanya Farhan memastikan.         “Eits, cilok dulu.” Dani tersenyum licik.         “Hampir aja Aku lupa.” Mereka berdua terkekeh lalu bergegas ke parkiran motor.         Setelah mengambil motor Farhan dan Dani melesat ke pedagang cilok yang ada di depan sekolah.  Pedagang tersebut sudah ramai pembeli ketika Dani dan Farhan sampai, memang rasa cilok Mang Doni tidak ada duanya. Semua orang yang merasakan ciloknya pasti akan kembali lagi suatu saat, termasuk para siswa di SMA Dani yang sudah langganan.         “Buruan antre, Ken!” seru Farhan yang sedang mermarkir motor tidak jauh dari sana.         “Oke!” Dani bergerak diantara kerumunan siswa yang antre, dia mencari celah untuk bisa menerobos antrean.         Akhirnya setelah sepuluh menit mengantre, Dani bisa mengatakan pesanannya pada Mang Doni. Dengan gesit tangan Laki-laki paruh baya itu menyiapkan cilok pesanan Dani, pengalamannya jualan selama lima tahun membuat dia semakin cekatan agar para pelanggannya tidak kabur karena harus menunggu.         Setelah Dani mendapatkan apa yang ia mau, ia menuju ke tempat Farhan yang sedang menunggunya di atas sepeda motor. Dani memainkan kresek berisi cilok sambil tersenyum seperti orang yang sedang membawa makanan mewah.         Melihat kelakuannya sahabatnya, Farhan tertawa kecil. “Kenapa, sih? kayak nggak pernah makan cilok aja.”         Dani tersenyum. “Makanan spesial sudah datang, Paduka.”         “Bagus, Perdana Menteri, sekarang naik ke motor. Let’s go!”         “Laksanakan!” seru Dani.         Letak bengkel diamana Dani meservice motornya tidak jauh dari rumah mereka, kira sekitar lima menit. Sampai disana Dani langsung menanyakan kabar tentang motornya. Kata salah satu montir montornya sudah selesai diperbaiki. Tak mau berlama-lama dia langsung membayar biaya service.         “Ayo, Han!” Dani memberikan tanda jika urusannya di bengkel sudah selesai.         Tangan Farhan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana begitu mendengar teriakkan Dani. Diputarnya gas pada stang motor untuk masuk kembali ke jalan raya. Sesampainya di rumah mereka berdua melambaikan tangan. Dani memarkir motor di teras rumah, sekarang keseruannya sudah selesai. Menyisakan sesuatu yang sangat ia benci di rumah.         Dani masuk ke dalam rumah, pintunya tidak di kunci seperti biasa. Terdengar saura sayup-sayup televisi dari ruang tengah. Dirinya tahu pasti ayahnya yang sedang sedang menonton. Memang apalagi yang bisa dilakukan oleh orang lumpuh. Di sisi lain Ayah Dani menyadari kepulangan anaknya, tapi dirinya memilih mendiamkannya saja.         Tidak ada yang bisa dilakukan di rumahnya sendiri, dirinya enggan menhabiskan waktunya di lantai bawah karena ayahnya selalu disana. Ia hanya merasa nyaman di lantai atas, tak perlu memikirkan ayahnya, karena laki-laki itu tidak bisa naik ke lantai atas.         Kebosanan melanda dirinya. Dani membuka ponselnya, ia mencari riwayat chat-nya dengan kakaknya. Dulu salah satu obat untuk mengatasi kebosanannya adalah dengan mengobrol dengan Kakaknya yang bernama Vina. Sekarang dia tak lagi bisa mengobrol seperti dulu sejak kakaknya terbang ke Singapura satu tahun lalu.         Jemarinya menggeser riwayat obrolan itu ke bawah, membaca pesan-pesan lama dari kakaknya. Matanya penuh dengan kerinduan akan sosok yang bisa ia jadikan sebagai tempat menyalurkan keresahannya. Tak seperti dulu, sekarang mereka jarang sekali mengobrol.         Kakaknya Sibuk kuliah dan kerja part-time di sebuah kafe di sana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Alasan kesibukan itulah yang membuat Dani segan untuk sekedar menanyakan kabar atau menelpon untuk melepas rindu.         Mata Dani masih sibuk membaca chat kakaknya, mungkin sudah puluhan kali ia melakukan itu. Terkahir kali ia bertanya kabar kakaknya adalah seminggu yang lalu, itu pun Kak Vina membalasnya dengan pesan singkat.         “Kak Vina apa kabar, ya?” Kata-kata lirih itu keluar dari mulutnya. Ia ingin sekali menelponnya saat ini juga, tapi ia takut menganggu Kakaknya. Dalam benaknya, terpikirkan untuk mengirimkan pesan.         “Kirim aja, lah,” ucapnya seraya menyakinkan diri.         Dani : Kak, sibuk nggak?          Pesan itu sukses terkirim, sekarang mengirimkan pesan saja terasa sangat sulit baginya. Belum ada tanda-tanda kakaknya membaca pesan. Menunggu balasan dari kakaknya membuat dia berpikir berkali-kali untuk menarik pesan yang telah ia kirim.          Karena tak kunjung ada balasan, ia memutuskan untuk keluar sebentar mencari angin. Ia berjalan menuju taman yang ada di dekat rumahnya. Bukan taman yang besar, luasnya hanya setengah lapangan basket. Tapi di sana sering ada anak kecil yang bermain karena terdapat sepasang ayunan.          Hari ini taman itu tampak sepi, tidak ada yang bermain di sekitarnya. Dani duduk di salah satu ayunan. Ia mengeluarkan ponselnya untuk mencari hiburan. Untuk sejenak, ia bisa merasakan kebebasan di hatinya. Tidak perlu selalu mengunci diri di kamar untuk menghindari ayahnya. Angin sore membuat dirinya merasa lebih hidup.          Tak terasa empat puluh menit berlalu sejak ia datang ke taman. Pikirnya sudah saatnya ia kembali ke rumah sebelum langit menjadi lebih gelap.          Dirinya mendorong pintu rumah, ketika pintu itu terbuka, terlihat sosok ayahnya di ruang tamu  sedang membaca buku. Mata mereka berdua bertemu, Dani tak ingin melihat lama-lama mata ayahnya. Ia segera menutup pintu agar bisa kabur dari situasi tersebut.          “Dari mana?” tanya laki-laki itu dengan nada sedikit meninggi.          Dani tak ingin menjawab pertanyaan itu, moodnya sedang baik saat ini.          “Kamu nggak ada kerjaan lain apa? keluyuran aja bisanya.”          Emosi Dani terpancing mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya. “Nggak salah?” kata Dani dengan nada menyindir. Ayahnya menatap Dani seakan bertanya-tanya maksud putranya.          “Siapa yang nggak ada kerjaan? Emang ayah punya kerjaan selain makan dan tidur?” Dani berjalan menjauh dari tempatnya berdiri. Kata-katanya barusan tentu saja membuat ayahnya menjadi lebih marah. Tapi bagi Dani, ayahnya harus sadar pada kenyataan.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD