Rasa Bersalah

1294 Words
        Dani sampai sebelum bel masuk berdering. Ia hembuskan nafas puasnya mengingat dalam perjalanan tadi ia hampir menyerempet bapak-bapak yang sepertinya juga terburu-buru.         “Salah sendiri ngajak balapan,” pikirnya sambil mengeluarkan senyuman kemenangan.         Deru langkah kakinya lebih cepat dari biasanya. Ia tidak ingin mendapat bangku di depan seperti hari senin kemarin. Kesempatannya untuk dapat duduk di belakang memang kecil, tapi dirinya mencoba berpikiran positif.         Hampir semua teman-temannya sudah sampai sebelum dirinya. Begitupula bangku belakang juga penuh dengan tas. Harapannya pupus, kini ia harus memilih tempat duduk yang ada di jejeran depan.         Seseorang dari belakang menepuk bahu Dani. “Pagi, Dan!” Suara khas yang selalu menyapanya di pagi hari.         Tidak perlu memastikan siapa orang tersebut, Dani membalas sapaannya dengan nada lembut. “Halo, Lis!”         Lisa tersenyum mendengar respon Dani. Senyuman itulah yang sebenarnya orang lain sukai dari Lisa. Benar-benar menyejukkan hati. Tapi Dani tidak terlalu tertarik dengan senyuman Lisa, ia lebih tertarik mencari bangku untuk diduduki.         Akhirnya ia memilih bangku yang sama seperti hari senin kemarin. Di seberangnya ada Lisa yang tempat duduknya selalu di situ. Dani tidak tahu alasan Lisa yang tak pernah ganti tempat duduk, tapi tebakannya adalah karena ada kipas angin yang menempel di tembok dekatnya. Sebuah posisi yang cukup nyaman apalagi ketika hari menjelang siang.         Tidak lama setelah Dani duduk, muncullah Aneta memasuki kelas. Dirinya baru sadar jika saat ini ia duduk di belakang kursi yang biasa Aneta duduki. Dalam hati Dani berdo’a agar aneta memilih kursi lain. Jari jemarinya mengetuk meja dan matanya mengikuti langkah Aneta.         “Pagi, Aneta” sapa Lisa yang sudah dari tadi tak sabar menyapa teman barunya itu. Aneta tersenyum sambil sedikit menaikkan kedua alisnya. Setelahnya ia baru duduk.         Ahh! Hati Dani menolak kenyataan bahwa Aneta memilih tempat duduk seperti biasa. Aneta sendiri tidak peduli pada orang yang duduk di sekitarnya. Baginya ,Dani tidak ada bedanya dengan anak lain, bukan suatu masalah jika ia duduk di belakangnya.         Tapi Dani merasa canggung dan kesal jika harus melihat punggung Aneta sepanjang hari. Dani memilih mengeluarkan ponselnya mengecek pesan masuk.         Ibu : Jangan lupa bekalnya.         s**l! Dirinya benar-benar lupa akan hal itu. Seharusnya ia tidak lupa akan barang yang sudah ia bawa sejak duduk di Sekolah Dasar. Tangannya memukul-mukul kecil kepalanya. Ia merasa bersalah pada ibunya.         Dani mencoba mengingat-ingat kejadian tadi pagi, Benar juga, tidak biasanya ibu berangkat lebih siang dari setengah enam. Pikir Dani pasti ibunya berangkat siang karena berkali-kali mencoba membangunkan dirinya. Rasa bersalah dalah hatinya kian bertambah. Sekarang ia meletakkan kepalanya di atas meja, perasaan kecewa pada dirinya sendiri sudah mengambil alih pikirannya.         Dani memiringkan kepala ke kiri. Ia bisa melihat Lisa sedang mengobrol asik dengan teman sebangkunya. Sampai sekarang ia belum punya teman akrab yang bisa diajak ngobrol. Tentu saja selain Kiki. Dia pernah iri pada seseorang yang humble seperti Lisa dan Kiki. Jika dunia dipenuhi oleh orang seperti mereka, mungkin dunia ini akan lebih berwarna.         Lisa menyadari tingkah Dani yang sedikit aneh, temannya seperti sedang melamun ke arahnya. Lisa meniru posisi Dani, ia menurunkan kepalanya ke atas meja sambil menatap matanya. Lisa penasaran apa yang kira-kira dipikirkan Dani.         Bel masuk menyadarkan dirinya dari lamunan, ia melihat Lisa sedang memandangnya dengan tingkah yang aneh.         “Ngapain?” tanya Dani pada gadis di sampingnya itu.         “Niru kamu.” Lisa menjawab sambil mengarahkan jari telunjuk.         Dani ikut menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. Dia berpikir sebentar sampai akhirnya sadar jika sejak tadi ia memandangi Lisa. Ia langsung memperbaiki posisi duduknya lalu diikuti Lisa. Disampingnya, Lisa terkekeh melihat tingkah konyol Dani.         Pelajaran segera dimulai. Belakangan ini ia merasa kurang memperhatikan pembelajaran. Mulai sekarang ia bertekad akan menyimak seluruh materi yang disampaikan gurunya.         Pada jam ke enam, guru memanggil seluruh ketua kelas untuk berkumpul. Biasaya akan ada pengumuman yang disampaikan lalu ketua kelas bertugas mengumumkannya di kelas masing-masing. Kiki bergegas keluar setelah mendapat ijin dari guru yang sedang mengajar.         Di jam jam istirahat kedua Dani mampir ke kantin untuk membeli makan siang. Ini pertama kalinya ia mencoba menu makan siang yang ada di kantin. Nasi dan ayam geprek dipilihnya dari sekian menu yang lain. Rasanya tidak terlalu buruk, ia makan dengan lahap karena perutnya sudah keroncongan.         Ketika bel pulang sudah berbunyi, Kiki meminta teman-temannya untuk tidak pulang terlebih dahulu karena ada pengumuman penting yang harus ia sampaikan .         “Temen-temen, karena sembilan hari lagi tanggal 17 Agustus, sekolah mengadakan upacara bendera dan lomba pentas seni untuk turut memeriahkan Hari Kemerdekaan. Jadi waktu pagi kita akan upacara di sekolah, lalu setelah selesai kita diberi waktu untuk mempersiapkan atribut yang akan dipakai ketika tampil.”         “Pentas seninya ngapain, Ki?” tanya salah satu anak.         “Terserah, kita boleh mementaskan apa saja asalkan melibatkan seluruh anak dalam kelas.”         “Nge-dance?” saut Lisa.         “Iya nggak papa, kita diberi kebebasan untuk menampilkan apapun,” jelas Kiki.         Anak-anak dalam kelas menjadi lebih bersemangat setelah mendengar bahwa mereka boleh mementaskan apapun.         “Kita voting saja, ya.” Kiki mengambil spidol untuk bersiap menulis ide-ide yang diutarakan. “Siapa yang mau usul?”         Salah satu anak yang duduk dibelakang mengacungkan tangan. “Aku boleh ijin ke toilet?”         Seluruh anak dalam kelas langsung tertawa mendengar temannya yang malah bercanda di situasi serius seperti ini. Kiki memperbolehkan dia keluar untuk ke toilet.         “Ayo serius!” Kiki tidak mau bercanda. Dirinya igin segera mengakhiri ini karena tahu temannya juga punya kesibukkan lain.         “Gimana kalo nge-dance?” Lisa mengangkat tangan.         “Tapi nggak semua anak bisa joget.” Kiki menyuarakan pendapatnya tidak setuju.         Lisa berpikir sejenak, apa kata ketua kelas ada benarnya.         “Bikin drama aja gimana? Kayak drama-drama masa penjajahan.” Anak yang lain mengusulkan idenya.           Kiki mengangguk, ia menulis drama di papan tulis. Ia bertanya apa ada yang punya ide lain.         “Paduan suara?”         “Boleh ….” Kiki menulis paduan suara di papan. “Ada yang lain?”         Berapa menggeleng, yang lain hanya diam memperhatikan Kiki. Karena tidak ada ide lain yang masuk, Kiki memutuskan untuk melakukan voting suara terbanyak. Teman-temannya ia suruh mengatakan pilihannya secara berurutan.         Dani lebih memilih menampilkan drama karena ia tidak yakin dengan suaranya. Setelah semua anak bergiliran memberi suara, kini waktunya perhitungan suara. Delapan belas anak memilih drama, empat belas yang lain memilih paduan suara. Sudah ditentukan kelas mereka akan menampilkan Drama di pentas seni Hari Kemerdekaan.         “Oke, kita sepakat akan menampilkan drama. Untuk lebih lanjut bisa di bahas besok saja. Yang mau pulang, silahkan.” Kiki mengakhiri diskusi tersebut.         Semua anak langsung kembali pada kesibukkan masing-masing. Dani segera menuju ke lapangan basket. Lima menit lagi latihan hariannya dimulai.         “Ayo buruan!” Rizky mengigatkan seluruh anggota kelas sepuluh yang datang terlambat. Ia berkeliling sebentar sambil memastikan siapa saja yang datang hari ini. Dengan cepat Dani mengganti seragamnya dengan kaos. Langkah Rizky berhenti tepat di samping Dani. “Tumben telat?”         “Tadi ada pengumuman dari ketua kelas.” Dani masih melanjutkan aktivitasnya.         Rizky hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya. Dari pintu gedung olahraga muncul sosok Pak Agoy lengkap dengan kostum pelatihnya.         “Ayo semua baris!” teriak Rizky setelah mendapati Pak agoy menunggu di tengah lapangan. Dani dan anak kelas sepuluh yang lain berlarian ke lapangan dan membentuk formasi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD