Arisha - 02

1708 Words
Jagoan kecil Arisha memang yang paling tangguh. Setelah drama demam semalam. Kini pagi harinya, Naufal sudah kembali ceria seperti sedia kala. Tak terlihat sama sekali wajah pucatnya semalam. Dalam hati Arisha bersorak gembira. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari pada senyum cerah putra-putrinya yang selalu menghiasi pagi Arisha. Keduanya tengah menyantap sarapannya di piring masing-masing. Sementara Arisha yang sudah lebih dulu sarapan, kini tengah merapikan setelah baju kerja rapih yang selalu dikenakannya untuk bekerja di sebuah butik baju perempuan. Selama ini demi menghidupi putra-putrinya seorang diri, Arisha hanya mengandalkan dua pekerjaan di jam yang berbeda. Pagi pukul delapan hingga pukul tiga sore, ia akan bekerja di butik baju wanita. Setelahnya pada pukul empat sore hingga pukul delapan malam, Arisha bekerja kembali di sebuah restoran cepat saji. Memang tidaklah mudah mempunyai dua pekerjaan dalam satu hari. Tapi semua itu berhasil Arisha lalui demi menghidupi kedua anaknya. Dan juga membiayai sekolah keduanya dengan hasil dari jerih payahnya sendiri. “Sudah selesai makannya?” “Sudah, Bun!” “Ya sudah, ayo Bunda antar ke sekolah.” “Bun, Naufal berangkat sendiri saja. Bunda antar Sheva saja!“ Naufal sudah bangkit dari posisi duduknya. Kini anak laki-laki berusia tujuh tahun itu tengah mencangklung tas gendongnya. Kemudian dengan khidmat ia mencium tangan bundanya. “Naufal berangkat, Bun! Assalamu’alaikum..” “Tapi—Naufal! W—waalaikumussalam.” Arisha pun pada akhirnya pasrah. Memang segala keinginan Naufal itu tidak bisa diganggu gugat ketika ia sudah memutuskan suatu hal. Sebagai seorang ibu, Arisha hanya bisa pasrah dan mencoba memberikan kepercayaan sepenuhnya pada jagoan kecilnya itu. Berharap sembari melafalkan do’a, semoga langkah kaki mungil Naufal-nya sampai di sekolah dengan selamat tanpa kurang satu pun. “Mas Naufal nggak mau ngerepotin Bunda.” “Huh?” Arisha menoleh pada sumber suara cempreng yang mengalun dari telinga sebelah kirinya. Di sana, Sheva juga sudah berdiri sembari mencangklung tas sekolahnya. Gadis kecil itu masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK), lebih tepatnya TK-B. “Tadi Mas Naufal bilang. Katanya, Bunda bisa telat kerja kalau harus antar Mas Naufal juga ke sekolahnya. Kan sekolah Sheva dan Mas Naufal berlawanan arahnya. Sheva belum berani berangkat sekolah sendiri Bunda. Maaf ya, Bunda. Sheva masih ngerepotin Bunda terus..” Dahi Arisha mengernyit keheranan. Sebenarnya, perbincangan macam apa yang pagi-pagi ini dilakukan oleh kedua anaknya itu. Dengan mensejajarkan tubuhnya dengan Sheva, Arisha memegangi kedua pipi tembam putrinya itu. “Kata siapa Sheva ngerepotin Bunda? Sheva sama sekali nggak pernah merepotkan Bunda. Mas Naufal juga. Jadi, jangan bilang seperti itu lagi ya Sayang.” “Iya Bunda, maaf.” “Ya sudah, jangan manyun dong! Yuk, kita berangkat!” “Yuk, Bunda!” Arisha dan Sheva pun berjalan keluar rumah. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah kontrakannya itu, Arisha tak lupa mengunci pintu kontrakan ini. Biasanya jika pulang sekolah, baik Naufal mau pun Sheva sudah pasti akan langsung pulang ke rumah Bu Rahma—ibu pemilik kontrakan yang selama ini dihuni oleh Arisha dan anak-anaknya. Syukurlah, hadirnya Bu Rahma benar-benar mempermudah Arisha. Arisha jadi tidak terlalu khawatir karena Bu Rahma selalu membuka lebar-lebar pintu rumahnya untuk Naufal dan Sheva sepulang sekolah. Bu Rahma dengan ketulusan hatinya juga kerap menyajikan makan siang sederhana untuk anak-anak Arisha. Selama ini, hanya kebaikan Bu Rahma yang masih menemani hari-hari Arisha yang semakin berat ke depannya. Mengingat anak-anaknya pasti akan semakin bertumbuh, belum lagi tentang bagaimana Arisha menjelaskan tentang kemana perginya ayah kedua anak itu. Ya, Firman—suami Arisha, hilang tanpa jejak selama lima tahun ini. Berbagai upaya sudah Arisha lakukan. Namun tetap saja, Firman tidak ditemukan bahkan hingga lima tahun berlalu. Kini, Arisha hanya pasrah pada Yang Maha Kuasa. Ia selalu berdo’a dalam setiap sujudnya, agar sekiranya Tuhan mengembalikan sosok tulang punggung keluarga sekaligus imam Arisha ke dalam keluarga kecil mereka. Satu hal yang hingga detik ini masih saja Arisha yakini yakni, tentang Firman yang hilang—pria itu masih hidup hingga detik ini. Hanya saja, jalan sebuah pertemuan masih belum membentang luas nan jelas di depan sana. “Tidak apa-apa, Mas Firman. Kuanggap, kita sedang melalui hubungan jarak jauh. Semoga segera dipertemukan kembali ya, Mas. Kedua anak kita semakin bertambah pintar setiap harinya. Kekhawatiranku hanyalah sebatas, aku yang belum menyusun jawaban tentang kepergianmu tanpa jejak kabar hingga lima tahun ini..” ucap Arisha seorang diri sembari kakinya terus melangkah menuju butik tempatnya bekerja mencari nafkah untuk kedua anaknya sehari-hari. Hari ini butik sangat ramai. Beberapa pegawai Lista—pemilik Butik Calista, sampai kewalahan untuk melayani para pembeli yang datang silih berganti. Syukurlah.. musim hajatan seperti pertunangan hingga pernikahan memang sedang berlangsung sekitar tiga sampai empat bulan ke depan. Di butik baju Calista ini memang menyediakan berbagai macam baju wanita. Mulai dari baju yang santai, hingga baju pernikahan. Semua ada ruangnya masing-masing. Kalian bisa membayangkan betapa besarnya tempat dimana Arisha bekerja ini? Namun untuk posisi Arisha berada di bagian baju pesta wanita. Ia dipercaya di tempat baju pesta karena ternyata pengetahuan Arisha mengenai baju-baju pesta itu mengalahkan beberapa karyawan di butik tersebut—yang tentu saja lebih mahir karena kebanyakan jebolan SMK Tata Busana atau sedang berkuliah jurusan busana. Berbeda dengan Arisha—yang serba tahu padahal ia hanya lulusan SMA. Mengapa bisa seperti itu? Karena Arisha sudah lebih banyak tahu tentang dunia busana jauh sebelum ia lulus SMA. Itu semua karena almarhumah ibunya yang dahulunya merupakan penjahit sekaligus pendesain baju yang cukup terkenal di tempatnya lahir. Tak heran bila sekarang ini sedikit banyak ilmu-ilmu pengetahuan yang pernah disampaikan oleh almarhumah ibunya masih membekas dan sangat berguna hingga kini. Selain itu juga, Arisha tidak pernah malu untuk bertanya agar memperluas juga pengetahuannya. Di butik Caalista ini, Arisha merupakan wanita tertua diantara para pegawai lainnya. Ia seumuran dengan Bu Lista, pantas aja keduanya kerap akrab di luar jam kerja. Keduanya sudah seperti seorang sahabat yang saling mendukung satu sama lain untuk sama-sama memajukan bisnis butik Calista ini. “Nih,” ucap Lista yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Arisha. Wanita itu menyerahkan minuman s**u kaleng yang sepertinya baru saja diambil dari lemari pendingin itu. Dengan senyum cerahnya, Arisha mengambil kaleng minuman yang diberikan oleh Lista itu. Tanpa sungkan sedikit pun, setelahnya dengan santai Lista mengambil duduk di samping Arisha. Arisha tentu saja merasa tak enak hati, karena sudah pasti rekan-rekan pegawai lainnya banyak yang melihat interaksi dekat mereka berdua. Arisha hanya takut bila kedekatannya dengan Lista menimbulkan rasa iri dan dengki di tempat kerjanya yang adem-ayem ini. Toh juga selama ini niat Arisha hanya ingin mencari nafkah untuk menghidupi kehidupannya dan kedua anaknya yang masih harus terus bersekolah. “Kenapa, Arisha?” tanya Lista sembari mengikuti arah tatapan mata Arisha yang menyisir seluruh ruang utama butiknya ini. Ya, keduanya tengah duduk santai di sofa ruang utama butik. Toko sudah tutup sejak pukul setengah tiga tadi, karena memang jam kerja sampai pukul tiga. Setidaknya, Lista masih berbaik hati membiarkan para pegawainya untuk beristirahat setengah jam sebelum mereka semua pulang ke rumah masing-masing. “Nggak enak sama pegawai lain, Bu Lista..” cicit Arisha mencoba mengatakan sebuah kejujuran yang memang harus Lista ketahui. “Dih, ‘kan jam kerja sudah habis Arisha.. Kenapa panggilnya masih begitu?” “Oke. Kamu nggak pulang, Lista?” “Nggak ah, males. Lagian jam segini tuh suamiku belum pulang.” Arisha hanya manggut-manggut saja. Lista ini memang merupakan seorang istri. Namun sayangnya, hingga pernikahannya menginjak usia empat tahun, Lista dan suaminya belum juga dikaruniai seorang anak. “Kalau kamu? Habis ini langsung ke restoran atau pulang dulu?” “Langsung mungkin..” jawab Arisha setelah menoleh pada jam dinding besar di ruang utama ini. “Yuk!” “Hah?” “Aku antar, Arisha!” “E—eh nggak usah! Aku bisa berangkat sendiri. Pun juga selama ini terbiasa berangkat sendiri, Lista. Mendingan sekarang kamu pulang ke rumah. Beberes rumah, masak, hitung-hitung persiapan sambut suamimu pulang.” Arisha memang tidak pernah segan untuk menasihati siapa pun. Meski pun dirinya sendiri selama lima tahun belakangan ini diam-diam sangat merindukan aktivitas mengurus suami. Siapa memangnya yang tidak rindu dengan aktivitas yang juga akan mendatangkan pahala karena melayani suami tersebut? Entahlah, perasaan Arisha rasanya campur aduk ketika ia berhasil menasihati orang lain, akan tetapi lupa dengan kenyataan keadaan yang selama ini membuatnya kerap bersedih. “Siap, Istri Sholehah! Hahaha, oh ya..Nih, aku titip bingkisan kecil buat anak-anak kamu. Do’akan aku segera dititipi momongan ya, Arisha.” Lista memberikan dua totebag pada Arisha. Apa katanya? Bingkisan kecil? Arisha sungguh tidak percaya bila barang yang ada di dalam sana merupakan bingkisan kecil. Terakhir kali Lista memberikan bingkisan pada anak-anak Arisha, isinya sungguh merupakan barang yang bermerk. Kali ini apalagi? “Iya, pasti selalu aku do’akan Lista. Jangan keseringan kasih anak-anakku bingkisan deh! Mereka jadi kebiasaan nanya-nanya kamu hloo..” “Ya biarin saja! Aku senang kok. Rezekiku semakin lancar kalau aku sering menyisihkan uangku untuk berbagi dengan orang lain. Terlebih mereka merupakan anak-anak yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Maaf Arisha, bukan maksudku—“ “Tidak apa-apa. Memang kenyataannya seperti itu, Lista.” “Tetap semangat untuk Naufal dan Sheva ya! Mereka berdua pasti sangat bangga memiliki seorang Bunda yang hebat seperti kamu. Aku yakin, Tuhan tengah mempersiapkan kebahagiaan yang hakiki untuk kamu nantinya. Aamiin.” “Aamiin Ya Rabb. Kamu juga tetap semangat, Lista! Usaha terus, dan jangan lupa selalu berdo’a dan berserah. Semoga saja kamu cepat diberi momongan.” Percakapan antar pegawai dan pemilik butik itu pun berakhir ketika Arisha melihat jam dinding sudah hampir menunjukkan pukul tiga sore. Ia harus segera bergegas untuk berangkat ke restoran tempatnya bekerja. Meski pun jam kerja Arisha di restoran dimulai pukul empat sore. Arisha memang sudah terbiasa datang setengah jam, sebelum jam kerjanya dimulai. Tak heran bila selama ini kinerja Arisha memang dinilai sangat bagus karena hampir tidak pernah terlambat masuk bekerja. Begitulah secuil kegigihan Arisha Danastri dalam menjalani aktivitas bekerjanya sehari-hari. Itu semua Arisha lalui guna menghidupi kedua anaknya yang tidak pernah sama sekali ditengok oleh ayah mereka. Hanya harapan segera jumpa dengan Firman yang selama ini Arisha adukan pada Sang Pencipta. “Aku yakin. Di belahan bumi mana kamu berada, namaku, Naufal dan Sheva akan selalu tertanam di bagian hatimu yang terdalam, Mas Firman. Cepatlah pulang, dan redakan beban di punggungku.” “Aku rapuh tanpa bahu ternyamanmu—tempat bersandarku.” ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD