PROLOG

1196 Words
“SENJA TUNGGU, SENJA!” “SENJA GUE MAU NGOMONG, GUE BISA JELASIN. TOLONG JANGAN KAYAK ANAK KECIL!!” “GUE TAU LO DENGAR. BERHENTI SENJA!” “SENJAAA!” Bahu Langit akhirnya merosot ketika perempuan yang diteriakinya itu berhenti melangkah. Hembusan napas kasar keluar dari bibir lelaki dengan seragam sekolah berlapis jaket kulit hitam tersebut. Perlahan Langit mendekat, sedangkan perempuan itu hanya diam. “Gue mohon jangan kayak anak kecil, Senja. Claudia lagi butuh—“ “Butuh apa?!” sentak Senja langsung berbalik badan. Matanya sudah memerah, siap meluncurkan air mata dalam sekali kedip. “Gue bosen Kak, dengar semua ucapan lo itu!” “Setiap gue minta hak gue sebagai pacar, selalu aja Kak Claudia yang lo jadikan alasan. Lo lebih mentingin dia daripada gue! Sebenarnya pacar lo itu gue apa dia sih, Kak? Hiks ....” Gagal, pertahanan perempuan itu akhirnya runtuh. Dadanya naik turun sebab amarahnya yang membeludak. Melihatnya membuat Langit ikut sesak. Namun, saat akan meraih tangan Senja, dia malah mundur dan menghindar. Senja menggelengkan kepalanya. Senja memberi jarak karena kecewa kepada kakak kelas yang menyandang sebagai kekasihnya itu. Satu minggu, hanya dalam satu minggu setelah Sky—saudara kembar Langit meninggal, Langit berubah. Dia tidak seperti Langit yang dulu pertama kali Senja kenal. Sekarang Langit begitu asing. “Oke, gue minta maaf,” pungkas Langit mengalah. “Maaf kalau gue jarang ada untuk lo, maaf kalau sikap gue buat lo cemburu, tapi lo juga harus ngertiin posisi gue, Senja,” lanjutnya dengan pandangan mata sayu. Bukan mau Langit mengabaikan Senja-nya seperti ini, tapi Langit harus, demi menuntaskan keinginan terkahir kembarnya sebelum meninggal. “Lo lupa, apa yang pernah Sky bilang ke gue?” tanya Langit yang tidak mendapat balasan dari lawan bicaranya. “Sky nitipin Claudia ke gue, Senja. Mau nggak mau gue harus ada untuk Claudia, gue harus jagain Claudia kayak Sky jaga dia dulu. Claudia masih sedih atas kepergian Sky, dia butuh orang untuk nemenin dia di masa-masa terpuruknya,” papar Langit. Melihat Senja yang masih bergeming, Langit pun kembali membuang napasnya dengan kasar. Langit menundukkan kepala untuk meraup oksigen lebih banyak. “Gue harap lo ngerti maksud gue,” ujarnya terdengar pasrah setelah itu. Senja lantas memalingkan mukanya. Sama sekali Senja tidak mau menatap Langit. Rasa sakit hati yang Senja alami sekarang, begitu melekat rasanya. Sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan, Senja lalu berbalik badan. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara tak asing yang membuat kedua tangan Senja refleks mengepal erat. “LANGIT!” Itu adalah teriakan Claudia, meski tidak melihatnya, tapi Senja sangat hafal dengan suaranya di luar kepala. “Gue cariin lo ternyata ada di sini. Jadi nganterin gue pulang kan?” tanya Claudia yang lagi-lagi sampai di telinga Senja. Sebelum membelas permintaan Claudia, Langit terus menatap punggung datar kekasihnya itu. Dalam hati, Langit mengerti bahwa Senja-nya sedang tidak baik-baik saja. “Lang?” tegur Claudia menyadarkan Langit dari lamunannya. Perempuan dengan kerudung hitam yang menutupi sebagian kepalanya tersebut menatap Langit dan Senja secara bergantian, lalu bertanya, “Pacar lo kenapa?” Langit menggeleng pelan. “Nggak pa-pa. Yaudah, ayo pulang.” “Senja?” Langit diam sejenak. Lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam. “Senja, ayo pulang,” ajak Langit. Tanpa Langit maupun Claudia sangka, yang Senja lakukan setelah itu, bukannya berbalik badan, dia malah langsung melenggang pergi begitu saja meninggalkan Langit dan Claudia dengan sangat dingin. Tanpa menengok lagi ke belakang, Senja pergi, pulang dari area pemakaman sendirian. Padahal tadi saat datang mereka barengan bertiga. Melihat ekspresi Langit yang berubah, Claudia langsung memegang keduanya bahunya hingga jika ada yang melihat dari belakang, seolah Claudia sedang merangkul Langit. “Kalian lagi berantem ya?” tebak Claudia dan lagi-lagi Langit menggeleng. “Jangan dipikirin, Senja lagi nggak mood aja. Mending sekarang gue antar lo pulang. Ayo.” Langit lalu meraih tangan Claudia untuk digenggamnya. Mereka jalan bersama dengan posisi tangan yang saling bertautan. Sampai di sini, mungkin bisa dibayangkan bagaimana rasanya menjadi Senja yang hadirnya seakan tak pernah dianggap bahkan oleh kekasihnya sendiri. Senja hancur lebur, perempuan itu ternyata belum pulang, dia memilih berhenti, sembunyi di balik sebuah tembok hingga matanya berhasil menangkap kekasinya bersama perempuan lain. Saat itulah tubuh Senja meluruh, Senja terisak hebat, kedua bahunya bergetar amat kuat. d**a Senja benar-benar sesak rasanya. “Kenapa lo jahat banget sih, Kak?” racau perempuan itu. “Lo berubah! Kak Langit yang gue kenal bukan kayak gini, gue rindu lo yang dulu, Kak.” Senja meringkuk di tempatnya. Dia memeluk lututnya sendiri lalu menenggelamkan kepalanya dalam lekukan kaki itu. Di sana Senja benar-benar meluapkan segala emosinya. Langit, dia adalah laki-laki pertama yang berhasil membuat Senja merasa jatuh cinta sekaligus patah hati. **** Hari sudah mulai gelap sebab matahari yang telah kembali pada peraduannya. Dengan gerakan malas, Langit melepas helm lalu turun dari motornya. Berulang kali Langit membuang napas kasar. Lelaki itu berjalan gontai untuk sampai ke dalam rumah. Pukul tujuh malam Langit baru pulang setelah menemani Claudia di rumahnya. Memang semenjak Sky meninggal, Langitlah yang selama itu menggantikan posisi Sky di hidup Claudia. Pikir Langit, setidaknya dengan ada hadirnya, Claudia jadi bisa merasakan kehadiran Sky, karena mereka kembar. Namun, tanpa sadar, apa yang Langit lakukan adalah sebuah kesalahan besar. “Baru pulang, Bang?” sapa Bunda yang tak sengaja lewat dari dapur ingin ke kamar. Seulas senyum Langit hadirkan pada wajahnya, kemudian dia mengangguk dan mendekat guna menyalimi tangan Bunda. “Habis dari rumah Claudia,” balasnya Langit. Bunda mengacak rambut Langit dengan penuh sayang. Anak ini yang selalu terlihat kuat di mata orang-orang. “Masih nemenin dia, Bang?” “Iya, Claudia butuh aku, Bun.” Bunda menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. “Bang?” panggilnya. “Gimana pun kamu harus bisa bedakan, mana kebutuhan dan mana prioritas. Jangan dibalak-balik ya, Bang? Kamu udah dewasa, bentar lagi lulus SMA, Bunda harap pemikiran kamu juga berubah,” ujar Bunda memberi pesan. Sebelah alis Langit terangkat bingung, agak kurang paham dengan apa yang Dela—Bundanya katakan. “Kebutuhan dan prioritas?” tanyanya. “Iya, kamu masih sama Senja kan sekarang?” Langit mengangguk, sedangkan Bunda kembali tersenyum. “Jaga perasaannya Bang, nggak ada satu pun perempuan yang mau lihat kekasihnya bareng sama perempuan lain. Yang tau batasan ya Bang jadi cowok.” “Tapi Claudia juga lagi butuh aku, Bun.” “Butuh, bukan untuk diprioritaskan.” “Udah ah, Bang, kamu udah gede, udah bisa mikir sendiri. Bunda tinggal ke kamar ya? Banyak kerjaan dari kantor yang belum Bunda selesaikan,” tutur Bunda lalu pergi setelahnya. Di tempatnya sekarang Langit terdiam. Laki-laki itu berpikir keras tentang apa yang semua Bundanya katakan. Prioritas ya? “Senja?” lirih Langit terbesit nama itu. Teringat akan pacarnya. Buru-buru Langit mengambil ponsel yang ada di saku celana, sejak siang tadi benda pipih itu sama sekali tak Langit jamah. Cukup terkejut, ternyata sudah banyak sekali pesan dari Senja yang masuk. Saat telah membuka benar-benar ponselnya, detak jantung Langit jadi berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Banyak sekali panggilan tidak terjawab. Astaga! Bagaimana Langit bisa lupa dengan kekasihnya. Hingga ada satu pesan yang terbaca oleh lelaki itu, sukses membuat dunia Langit rasanya berhenti untuk beberapa saat. Senja : |Kak, gue habis keserempet mobil. Bisa ke sini? RS. Brotosuryo|
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD