Jangan Pergi

1552 Words
Hana melangkah mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Handphone-nya dari tadi terus berdering. Itu adalah panggilan telepon dari Nathan, namun Hana tidak menjawabnya.  Selain itu Nathan juga sudah mengirim banyak pesan via w******p, tapi Hana juga tidak membacanya. Hana terus menatap keluar setiap mendengar deru mobil. Saat ini dia hanya ingin bertemu Nathan dan meminta penjelasan atas segalanya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya terdengar suara deru mobil memasuki halaman. Hana meneguk ludah. Ternyata ancamannya kali ini berhasil. Hana langsung membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Terlihat Ari yang baru turun dengan raut wajah cemas. Tak lama setelah itu pintu belakang mobil juga terbuka. Deg. Nathan langsung bergegas menghampiri Hana dengan raut wajah murka. Pangkal gerahamnya bergerak-gerak pelan, tatapan matanya kini setajam pisau. Akan tetapi Hana sendiri sama kerasnya. Hana juga menatap mata itu dengan tatapan tajam. Kedua tangannya kini mengepal kuat. Sedetik kemudian tangan itu terangkat dan mengayun ke wajah Nathan, tapi Nathan langsung menangkap tangan itu dan menggenggamnya kuat-kuat. “Apa-apaan kamu, ha? membongkar semua rahasia ini? kamu pikir kamu siapa bisa melakukan hal itu?” bentak Nathan. Hana menatap nanar. “K-kamu—” Hana belum selesai berbicara, tetapi Nathan langsung mendorong kedua pundaknya dengan kasar hingga punggung Hana beradu dengan tembok yang ada di belakangnya. Hana benar-benar terkejut melihat raut wajah Nathan saat ini. Sosok suaminya itu benar-benar terlihat seeprti orang lain. Ada sorot kebencian yang tersirat di kedua matanya. Hana pun terhenyak dengan napas memburu, sedangkan Nathan kini menatapnya sinis. “Apa semua ini masih kurang bagi kamu? Apa rumah ini kurang besar? Apa uang yang aku kirimkan kurang banyak? Kenapa kamu bertingkah seperti ini? harusnya kamu bersyukur. Harusnya kamu mendukung aku!” Nathan berteriak keras. Bibir Hana bergetar seiring air matanya yang jatuh. Dia bahkan tidak bisa berkata-kata. Sedetik kemudian tatapan Nathan beralih pada perabotan yang ada di sekitarnya. Dengan cepat dia meraih benda-benda itu, kemudian melemparkannya ke segala arah dengan membabi buta. Kehebohan pun tak terelakkan. Guci-guci dan vas bunga pecah berkeping-keping begitu beradu dengan lantai. Tak sampai di situ, Nathan juga mendorong sebuah akuarium dengan gusar. Kaca akuarium itu pun pecah seiring air dan ikan-ikan yang kini meluap. Amukan Nathan benar-benar membuat Hana tercengang. “Nathaaaaaan...!!!” Hana berteriak di sela isak tangisnya.  Nathan berhenti dengan sebuah kursi yang kini diangkatnya di udara. Dia menatap Hana sekilas, lalu menghempaskan kursi itu ke lantai. Hana pun terhenyak dengan air mata yang mengalir deras, kedua tungkai kakinya bahkan terasa lemah hingga tubuhnya merosot ke lantai. Di sisi lain suara deru napas Nathan masih terdengar sesak. Dia mengambil sebuah kursi, lalu meletakkanya di depan Hana dan duduk di sana. Hana pun hanya menatap nanar. Sedangkan Nathan kini mematik sebatang rokok, lalu menghirupnya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya perlahan. Wajah Nathan yang di sapu asap rokok itu terlihat lebih menyeramkan lagi. Hana bahkan langsung menundukkan wajahnya. Inilah pertama kalinya Hana tidak berani menatap wajah itu. Inilah pertama kalinya Hana merasakan ada segenap perasaan asing yang mulai menyelimutinya. “Kenapa kamu seperti ini, ha?” suara Nathan sudah sedikit melunak. Hana meneguk ludah. Butuh waktu cukup lama baginya untuk bisa bersuara. Bibirnya sudah bergerak-gerak pelan, tapi tidak ada satu kata pun yang terlontar. “Aku tanya sekalin lagi... kenapa kamu seperti itu?” ulang Nathan. Hana mengangkat wajahnya. “K-kenapa kamu melakukan itu?” tanya Hana dengan suara lirih. Nathan menatap heran, “Melakukan apa?” “Aku menonton film-nya. Aku juga menonton wawancara live itu,” jawab Hana. Nathan meneguk ludah. “Lalu apa masalahnya?” Hana menatap nanar. “Bukankah dulu kamu sudah berjan—” “Semua itu adalah tuntutan pekerjaan. Aku tidak bisa menolaknya! Semua itu adlah bentuk profesionalitas dan aku harap kamu mengerti akan hal itu.” Nathan langsung memotong pembicaraan. “T-tapi kenapa kamu tidak membicarakannya terlebih dahulu dengan aku?” tanya Hana. Nathan memejamkan matanya sejenak, lalu membuang puntung rokoknya sembarangan. “Memangnya semua harus aku katakan sama kamu? Apa kamu produser? Apa kamu sutradara? Apa kamu penulis naskah? Untuk apa aku membicarakannya? Aku bahkan tidak punya waktu untuk tidur di malam hari... dan kamu ingin aku membicarakan hal sepele seperti itu?” “S-sepele...? aku ini istri kamu, Nath...!!!” pekik Hana diiringi ai mata yang kembali tumpah. “Aku ini istri kamu... apa kamu tahu bagaimana perasaan aku melihat kamu melakukan adegan seperti itu? apa kamu tahu bagaimana perasaan aku melihat potret kalian berdua?” Nathan menyapu wajahnya dengan telapak tangan, lalu menatap hambar. “Itu adalah risiko bagi kamu menjadi istri seorang superstar.” Deg. Napas Hana sontak tertahan mendengar kalimat itu. Apa yang terjadi dengan Nathan? Kenapa dia berubah seperti itu? Sejak kapan keangkuhan menjadi bagian dari dirinya? Hana menggeleng tidak percaya. “A-apa...? jadi aku harus menerima semua begitu saja?” tanya Hana. Nathan berdecak pelan. “Tentu saja! atau kalau kamu memang tidak siap... kamu boleh berhenti memainkan peran itu.” Deg. Hana melotot kaget. Otaknya masih mencerna apa makna dari kalimat itu. “Maksud kamu?” “Maksud aku kamu boleh berhenti jika memang tidak sanggup menjalani kehidupan yang seperti ini.” Nathan berucap lirih kemudian pergi meninggalkan Hana yang masih terhenyak di tempatnya. Hana pun hanya menatap kepergian Nathan dengan air mata berderai. Dia bahkan tidak punya energi untuk mengejar ataupun memanggil Nathan untuk kembali. Sesaat setelah mobil melaju meninggalkan halaman, barulah Hana terisak. Dia menangis keras sekali sambil memukul-mukul dadanya. Suara tangisnya menggema dalam rumah megah nan kosong itu. Hana merasa tercabik-cabik. Dia bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk menyampaikan apa yang tengah dia rasakan. Ke manakah Nathan yang dia kenal pergi? Mengapa sekarang Nathan menjadi seperti ini? Sebenarnya apa alasan Nathan bersikap seperti itu? Berbagai pertanyaan pun kini mencuat di pikiran Hana bersamaan dengan isak tangis yang terus berusaha ditahannya. _ Hana mengerjapkan matanya perlahan. Kepalanya kini terasa begitu pusing. Tatapannya pun beralih pada keadaan sekitarnya. Ternyata Hana terlelap di ruang tamu. Dia sendiri tidak ingat bagaimana dia bisa tertidur di sana. langit di luar jendela sudah menggelap. Itu artinya Hana terlelap dalam waktu yang cukup lama. Hana mencoba bangun, tapi kemudian dia segera berpegangan pada sofa yang ada di dekatnya. “Kenapa aku merasa pusing seperti ini?” bisik Hana. Hana berniat untuk beranjak ke dalam kamar, tapi tiba-tiba dia mendengar suara bel di luar sana. Hana mengernyit bingung. Dia tidak mendengar suara deru mobil sama sekali, lalu siapa yang mengunjunginya malam-malam seperti ini? Hana pun berjalan menuju pintu sambil berpegangan pada dinding. Suhu badannya kini terasa panas, tapi Hana malah merasa kedinginan. Sebelum membuka pintu, Hana mengintip terlebih dahulu dari balik kaca. Setelah melihat sosok yang berdiri di luar sana, dia pun cepat-cepat membukakan pintu. Hana memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “A-Airin...?” Airin tersenyum tipis, lalu mengangkat sebuah mangkok di tangannya. “Aku tadi sempat memasak sop daging sapi... ini untuk kamu.” Hana menatap mangkok yang masih mengepulkan asap itu seraya menelan ludah. Dia memang merasa sangat kelaparan. Hana tersenyum lemah dan mengambil mangkok itu, tapi tiba-tiba dia oleng dan hampir saja menumpahkan isi mangkok itu jika Airin tidak cepat-cepat membantunya. “Hana kamu kenapa?” Airin menatap panik. “A-aku merasa pusing,” jawab Hana. Airin pun segera membantu Hana berjalan dan mendudukkannya di sofa. Di perjalanan menuju sofa Airin terkejut saat melihat banyaknya pecahan kaca dan juga perabotan yang pecah berkeping-keping di lantai. Airin penasaran dengan apa yang sudah terjadi, tapi dia tidak mungkin menanyakan hal itu di saat sekarang ini. “Astaga... suhu badan kamu panas sekali, Hana!” Airin terkejut saat menempelkan telapak tangannya di kening Hana. Hana tidak lagi bisa berbicara. Dia hanya bergumam tak jelas dan tidak tahu apa yang sedang diucapkannya. Airin pun membaringkan Hana di sofa itu dengan raut wajah cemas. Setelah itu dia melihat-lihat keadaan sekitar dan segera berlari ke arah dapur. Airin mengambil sedikit air dan juga sebuah sapu tangan bersih yang ada di dekat lemari. Setelah mendapatkan apa yang dia perlukan, Airin pun kembali menghampiri Hana. Ibu satu anak itu segera mengompres kepala Hana yang sangat panas. “Kenapa kamu bisa jadi seperti ini?” desis Airin. Airin menatap Hana dengan wajah prihatin. Sebenarnya tadi dia siang dia sempat mendengar keributan yang terjadi di rumah itu. Karena saat Nathan datang, Airin kebetulan sedang bermain bersama Hamid di halaman rumahnya. Meski tidak bisa mendengar pembicaraan dengan jelas, namun Airin mengerti bahwa itu adalah sebuah pertengkaran rumah tangga. Airin bahkan juga melihat saat mobil Nathan kembali pergi meninggalkan rumah. Saat itu Airin sempat berpikir untuk langsung mendatangi Hana. Akan tetapi dia mengurungkan niatnya karena hal itu tidak sopan. Mereka belum kenal lama. Mereka juga belum terlalu dekat. Sampai akhirnya hari pun beranjak malam. Airin yang masih merasa khawatir akhirnya memutuskan untuk menemui Hana. Airin merawat Hana dengan telaten. Lama kelamaan deru napas Hana pun terdengar semakin pelan hingga akhirnya dia terlelap. Tatapan Airin pun beralih melihat sekitar rumah yang terlihat kosong itu. Rumah itu benar-benat terlihat hampa seperti tidak berpenghuni. Bahkan sebagian ruangan terlihat tidak memiliki penerangan dan dibiarkan gelap begitu saja. Airin menghela napas panjang. “Bagaimana bisa kamu berani tinggal sendirian di tempat seperti ini?” bisiknya lirih. Sekilas keadaan rumah Hana memang terlihat menakutkan. Aura rumah itu terlihat suram dan gelap. Anehnya lagi Airin tidak menemukan satupun potret yang ditempel di dinding. Harusnya dengan rumah semewah dan sebesar itu setidaknya ada menampilkan potret para pemiliknya.  Airin pun kembali menghela napas panjang saat melihat jari-jari tangan Hana yang terluka. Sepertinya tadi Hana sempat mencoba untuk membersihkan kekacauan itu. Meski belum lama mengenal Hana, tetapi Airin bisa ‘membaca’ sosok Hana. Di matanya Hana memang terlihat selalu sendu. Ada duka dibalik senyumnya. Ada luka dibalik tawanya. Tapi setiap Airin menanyakan keadaanya, maka jawaban yang keluar dari bibir Hana selalu sama. “Aku baik-baik saja.” “Sepertinya aku harus membantunya membereskan kekacauan ini.” Airin mengangguk pelan seraya menatap lantai yang berserakan itu. Airin segera bangun dari duduknya, tapi begitu akan melangkah pergi, dia terkejut karena tiba-tiba saja Hana memegangi tangannya dengan sangat erat. Deg. Airin menatap Hana yang saat ini terlihat gelisah. Kedua matanya masih tertutup rapat, tapi deru napasnya terdengar memburu. Sedetik kemudian Hana pun mulai bergumam. “Nathan... jangan pergi!” “Nathan... jangan pergi!” _ Bersambung      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD