Gelagat Tak Biasa

1474 Words
Pagi ini terasa sedikit istimewa bagi Hana. Kali ini Nathan tidak lagi menghilang dan pergi tanpa sepengetahuannya. Langit di luar sana masih gelap, tetapi Nathan sudah bersiap untuk kembali beraktivitas. Sosok superstar itu sudah tampil rapi dengan pakaian tebal yang sudah disiapkan Hana. Tak ketinggalan Hana juga menyiapkan sebuah topi beserta masker yang merupakan item penting yang harus dipakai oleh Nathan. “Apa kamu tidak mau sarapan dulu?” tanya Hana. Nathan menggeleng pelan. “Tidak usah.” “Apa kamu mau secangkir kopi atau teh?” “Tidak perlu.” Hana mengangguk pelan. Tatapannya kini tertuju pada Nathan yang terlihat sibuk dengan handphone-nya. “Kamu lagi chatting sama siapa?” Deg. Nathan terkejut mendengar pertanyaan itu. Bola matanya bergerak liar memikirkan sebuah alasan, sedangkan Hana masih menunggu jawaban dengan tatapan heran. Karena sepengetahuannya Nathan bukanlah orang yang suka berkirim pesan dengan orang lain. Dia biasanya langsung melakukan panggilan telepon saja untuk menyelesaikan segala urusannya. Namun dari sejak bangun tidur tadi jemari Nathan tidak pernah lepas dari handphone-nya yang terus berbunyi. “I-ini Ari... aku minta dia untuk datang lebih cepat lagi,” jawab Nathan kemudian. Hana mengangguk tanda mengerti. Bersamaan dengan itu suara deru mobil pun terdengar memasuki halaman rumah. “Itu dia sudah datang,” ucap Nathan. Hana meneguk ludah. “Hati-hati di jalan dan jaga kesehatan kamu.” Nathan mengangguk. “Kamu juga hati-hati, ya di rumah. Aku pergi dulu. Kamu tidak perlu mengantar aku ke depan. Di luar dingin sekali, lebih baik kamu kembali tidur.” Hana hanya tersenyum. Nathan pun sudah berbalik pergi. Tetapi di saat Nathan baru hendak melewati ambang pintu, Hana kembali mengejarnya dan memeluk Nathan dari belakang. Deg. Nathan sedikit terkejut. Tatapannya kini tertuju pada tangan Hana yang kini melingkar di pinggangnya. Nathan meraih tangan itu, membuka rangkulan Hana, kemudian berbalik dan memeluknya. “Sebenarnya aku masih kangen sama kamu,” bisik Hana. Nathan meneguk ludah. “Aku juga, tapi sekarang aku harus pergi.” _ Mobil van berwarna putih itu terus melaju menembus jalanan pagi yang lengang. Nathan duduk termangu sambil melihat jalanan di luar jendela. Sedangkan Ari yang sedang menyetir kini merasa heran. Biasanya Nathan terlihat sangat ceria jika dia sudah pulang ke rumah. Biasanya Nathan akan selalu bercerita dengan antusias tentang apa saja yang sudah dia lakukan bersama Hana. “Bagaimana perasaan kamu setelah pulang ke rumah?” tanya Ari memecah kesunyian. “Biasa saja.” “Hmm... Hana baik-baik saja kan?” “Dia baik-baik saja.” “Kemarin aku sempat melihat-lihat ada koleksi tas terbaru yang sangat bagus. Para selebritis perempuan di agensi kita tidak henti-hentinya membicarakan tentang tas itu. Apa kamu tertarik untuk membelikan Hana?” “Tidak perlu.” Ari menelan ludah. Jawaban Nathan yang dingin dan cuek membuatnya salah tingkah dan memutuskan untuk menutup mulut rapat-rapat. Biasanya Nathan selalu antusias untuk membelikan Hana suatu barang. Biasanya Nathan sering memberikan Hana kejutan-kejutan seperti itu. “Apa kalian bertengkar?” Ari tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Nathan hanya menatap sekilas, lalu memejamkan matanya. Ari pun hanya bisa mengembuskan napas panjang. Sebenarnya belakangan ini dia juga merasa heran atas perubahan sikap Nathan. Akhir-akhir ini Nathan sering menghilang tanpa sepengetahuannya. Nathan juga merahasiakan ke mana dia pergi. Ari tidak lagi bersuara. Hanya suara deru mobil dan desau angin yang terdengar pelan dari celah jendela mobil yang sedikit terbuka. Nathan yang tadinya memejamkan mata, kini mendesah pelan, lalu membuka matanya kembali. “Aku mau kamu membelikan tas itu,” ucap Nathan kemudian. Ari sontak tersenyum senang. “Tentu saja! aku yakin Hana pasti akan sangat menyukainya. _  Tanpa terasa waktu pun terus berlalu. Proses syuting film yang dilakoni Nathan dan Samanta kini sudah selesai dan hanya tinggal menunggu waktu penayangan saja. Iklan tentang film yang berjudul ‘Kesempatan Terakhir’ itu pun sudah berseliweran di mana-mana. Menurut kabar tiket premier film itu pun juga sudah laris dibeli para penggemar. Popularitas Nathan dan Samanta memang luar biasa. Masyarakat luas pun sangat antusias untuk menyaksikan duet mau kedua insan itu di dalam film. Malam ini seluruh kru yang terlibat mengadakan acara makan malam bersama. Sang produser, sutradara, seluruh staf dan kru yang terlibat sudah hadir memenuhi sebuah restoran yang dipesan secara khusus. Di antara tamu yang hadir juga terlihat sosok mbak Yessy selaku CEO dari agensi Nathan. Di tengah hiruk pikuk keramaian itu, Ari terlihat panik dengan handphone yang menempel di kupingnya. Bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, namun Nathan masih juga belum menampakkan batang hidungnya. Semua orang silih berganti menanyakan keberadaan bintang utama itu, tapi Nathan malah menghilang. “Ke mana lagi sih, dia,” desis Ari. Mbak Yessy yang juga mengetahui bahwa Natha belum datang cepat-cepat menghampiri Ari. “Dia belum datang juga?” Ari menurunkan handphone-nya, lalu menggeleng lemah. “D-dia belum datang, Mbak.” Mbak Yessy menatap gusar. “Ke mana sih dia? apa jangan-jangan dia menemui perempuan itu?” Ari meneguk ludah. “Kamu sudah coba menghubungi handphone Nathan?” tanya mbak Yessy lagi. Ari mengangguk cepat. “S-sudah Mbak, tapi dia tidak menjawabnya.” Kalau begitu coba hubungi perempuan itu.” perintah mbak Yessi. Ari hanya mengangguk. Mbak Yessy pun berlalu pergi menghampiri salah satu kenalannya. Sesuai perintah mbak Yessy, Ari pun segera menghubungi Hana. “H-halo...” sapa Ari. “Ari...? ada apa?” suara Hana terdengar jernih dibalik telepon. Ari menggigit bibirnya sendiri. “K-kamu ada di mana?” “Aku ada di rumah? Ada apa?” “A-apa mungkin Nathan ada di sana?” Ari bertanya dengan nada suara ragu-ragu. “Nathan pulang ke rumah...!?” Suara Hana terdengar lebih nyaring. Deg. Ari meneguk ludah. Dia semakin gelisah mengetahui bahwa Nathan tidak ada di sana. Semua ini benar-benar membuat Ari bingung. Setelah lama tertegun Ari pun kembali tersadar saat mendengar suara Hana. “Halo? Jadi kapan dia akan pulang?”  “Nanti... n-nanti dia pasti akan pulang jika ada waktu.” _ Di lantai dua restoran itu, tepatnya di sebuah lorong yang cukup sepi terdengar suara kikik tawa yang sesekali terdengar pelan. Cahaya yang temaram pun memperlihatkan dua wajah yang kini saling pandang. Ya... mereka adalah Nathan dan Samanta. Rupanya mereka berdua sudah berada di lokasi itu, namun mereka memilih untuk mencari tempat sepi agar bisa berbicara. “Semua orang pasti kebingungan mencari kita,” bisik Nathan. Samanta terkikik pelan. “Biarkan saja... lagipula acara seperti tidak pernah menyenangkan. Nathan pun mengangguk setuju. Malam ini Samanta terlihat begitu cantik dalam balutan gaun malam warna hitam tanpa lengan dengan aksen renda-renda putih yang yang menjuntai dari belahan d**a hingga belahan roknya. Penampilannya itu ditunjang oleh polesan make up minimalis dan juga rambut yang di sanggul tinggi. Sebagai pemanis. Samanta juga mengenakan sebuah liontin berbentuk bulan dengan ukuran yang cukup kecil. “Kamu terlihat begitu cantik malam ini,” puji Nathan. Samanta tersenyum tipis. “Padahal dulu kamu tidak menyukai aku.” “Hahaha....” Nathan tertawa pelan. “Entahlah... ternyata waktu bisa mengubah hati manusia.” “Sepertinya kamu juga terkena kutukan itu,” desis Samanta, Nathan mengernyit bingung. “Kutukan apa?” Samanta tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Nathan. “Kutukan cinta lokasi.” Nathan dan Samanta sontak sama-sama kesulitan menahan tawa. Keduanya terus saja memasang wajah yang sumringah, sampai kemudian tiba-tiba raut wajah Samanta berubah sedih. “Kamu kenapa?” tanya Nathan. Samanta pun menatap pria itu lekat-lekat. Hari ini Nathan terlihat begitu tampan dalam balutan jas yang dimodifikasi dengan kain batik warna cokelat muda. Seperti biasa rambut klimisnya terlihat begitu mengkilat. Wajahnya terlihat bersih bercahaya. Ketampanan Nathan memang tidak perlu diragukan lagi. Apapun yang dikenakannya akan selalu terlihat cocok. Sorot matanya itu selalu menjadi bius yang mematikan. Tak bisa dipungkiri bahwa Nathan memanglah sosok pria yang memesona. “Kamu terlihat tampan memakai pakaian ini,” ucap Samanta. Nathan menatap nakal. “Bukannya kamu pernah bilang kalau aku terlihat tampan saat tidak mengenakan apa-apa?” bisik Nathan dengan suara serak. Samanta tersenyum. “Yah... aku bahkan masih bisa membayangkannya sambil menutup mata.” Keduanya kembali tergelak. Tapi kemudian sorot mata Samanta kembali berubah sendu. “Kenapa kamu terlihat sedih?” tanya Nathan. “Karena kerja sama kita akan segera berakhir... itu artinya kita akan kesulitan untuk bertemu,” jawab Samanta. Nathan meraih tangan Samanta, lalu menggenggamnya erat. “Tenang saja! tidak akan ada yang bisa menghalangi kita.” “Apa kamu mencintai aku?” Samanta menatap Nathan lekat-lekat. Hening. Nathan tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Samanta yang tidak sabar menunggu jawaban kini menarik lengan kemeja Nathan. “Kenapa kamu tidak menjawab?” raut wajah Samanta terlihat cemas. Nathan menghela napas, kemudian menatap Samanta perlahan. “Maafkan aku,” ucapnya lirih. Samanta meneguk ludah. “Maaf kenapa?” Nathan menatap serius. “Karena aku sudah mencintai kamu.” Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu pun terus asyik bercanda. Hingga akhirnya mereka sadar akan jarum jam yang terus bergerak. Nathan dan Samanta pun akhirnya turun ke bawah dan ikut bergabung bersama seluruh tim kru film yang tengah berpesta. “Wah... itu mereka!” “Nathan dan Samanta ada di sini!” “Pasangan legendaris kita akhirnya muncul...!” Kehadiran Nathan dan Samanta itu pun langsung menarik perhatian. Tepuk tangan dan siulan yang keras pun mengiringi langkah keduanya. Nathan dan Samanta memang terlihat begitu serasi. Keduanya terlihat seperti pasangan putri dan pangeran yang datang dari negeri dongeng. Semua orang mengelu-elukan kecocokan mereka. Semua orang memuji kecantikan dan ketampanan mereka. Semua orang juga membicarakan kelihaian mereka dalam ebrakting. Nathan merasa bagai berada di atas awan. Berbagai pujian yang terlontar itu membuatnya merasa bangga membusungkan d**a. Tatapannya pun beralih pada Samanta yang kini juga tersenyum manis di sisinya. Kilatan lampu kamera tak henti menerpa wajah mereka berdua. Semua orang terlihat bersuka cita. Semua orang terlihat berbahagia. Namun di antara semua orang itu ada satu wajah yang terlihat berbeda. Ari menatap kedatangan Nathan dan Samanta dengan pupil mata yang bergetar. Dia menatap sosok Nathan lekat-lekat dengan tatapan tidak percaya. Kemudian pandangannya juga beralih menatap Samanta yang ada di sebelahnya. Hingga kemudian Ari kembali terpaku menatap sebuah benda yang dibawa oleh Samanta di tangannya. Sebuah benda yang membuatnya terkejut. Sebuah benda yang membuat hatinya bertanya-tanya. “Kenapa tas itu dipakai oleh Samanta?” _ Bersambung...    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD