Ingin Diakui

1178 Words
Ben POV Pernahkah kamu mencintai tapi terhalang oleh status? Itulah yang terjadi padaku saat ini. Aku mencintai seseorang yang tak bisa kumiliki. Seseorang yang sangat dekat denganku tapi begitu jauh dari jangkauanku. Seseorang yang hanya bisa kujadikan sebagai khayalan dalam setiap mimpi-mimpiku. Memimpikan seorang wanita untuk kumiliki. Ah ... klasik sekali. Berapa usiaku saat ini? Aku bukan lagi anak remaja yang sedang dimabuk cinta dengan teman sekelasnya. Bukan, aku sudah terlalu tua. Namun, aku dibuat seperti anak remaja dengan perasaan yang tak bisa kukendalikan. Wajahnya yang cantik, senyum manisnya, ekspresinya, dan segala hal tentangnya membuatku semakin jatuh cinta di setiap harinya. Seseorang yang hanya cocok untuk menjadi wanita dalam mimpi-mimpiku. Tanpa bisa kumiliki seutuhnya. Aku sadar dan aku tahu itu. Tapi, aku sangat ingin memilikinya, entah bagaimanapun caranya. Bahkan dengan cara yang menyakitkan pun, aku bersedia asal aku bisa memilikinya. Ribuan rencana mengerikan memenuhi kepalaku agar dia bisa kumiliki. Bahkan aku mulai kepikiran melakukan tindakan kriminal, hanya untuk memilikinya. Aku tau aku salah, tapi aku tak bisa berhenti menginginkannya. Aku ingin memilikinya dan hanya untukku. **** Seorang pria dan seorang wanita tengah duduk di sebuah ruangan minim pencahayaan. Wajar, mereka memang sedang menonton film di sebuah bioskop. Si wanita sibuk mengunyah pop corn sambil memandangi layar lebar di hadapannya itu. Sementara si pria sibuk memandangi wajah cantik di sampingnya. “Gak takut?” Adel hanya menggeleng perlahan dengan ekspresi datar. Adegan film tersebut menunjukkan adegan pembantaian dengan darah yang berlumuran di sana-sini. Namun, respon yang diberikan Adel justru biasa saja. Pria yang duduk di sampingnya itu tak henti-hentinya memandangi wajahnya, berharap jika Adel akan ketakutan dan menjerit lalu memeluknya. Yah, hal klasik yang selalu diharapkan para pria jika ke bioskop. Berharap dapat kesempatan dalam kesempitan. Hal yang sama berlaku bagi Ben. Ia juga ingin menyentuh si cantik Adel yang duduk dengan tenang itu. Padahal wanita-wanita lain di bioskop tersebut sibuk berteriak histeris lalu memeluk pasangan masing-masing. Nasib … nasib .... Ben, seorang mahasiswa semester 3 program pascasarjana jurusan bisnis di sebuah universitas bergengsi di kota Jakarta. Usianya kini menginjak 31 tahun. Ia baru sempat melanjutkan kuliah S2 nya karena terlalu sibuk dengan perusahaannya. Ben pontang-panting membangun perusahaannya dari nol. Ben bukanlah seorang anak konglomerat yang membuatnya diwarisi aset milyaran hingga bisa hidup mewah. Namun, semua kemewahan yang ia nikmati dalam hidupnya saat ini adalah hasil kerja kerasnya. Hasil keringat dan perjuangan mati-matiannya. Ben dan Adel keluar dari bioskop setelah film berakhir. Wajah Ben muram karena kecewa. Harapannya harus ia kubur dalam-dalam karena ternyata Adel tidak takut dengan film-film thriller seperti yang tadi. “Mau balik sekarang, Miss?” Miss, yah begitulah Ben memanggil Adel. Karena wanita cantik bernama Adella Bianca Bagaskara itu adalah dosennya. Dosen yang sangat sering menghabiskan waktu berdua dengannya. Dosen yang sering dikirai pacarnya oleh teman-teman sekelas Ben. “Laper, makan dulu. Biar nanti gak masak lagi.” Ben mengangguk tanda bahwa ia paham maksud Miss Adelnya tercinta. Dosen yang berusia dua tahun lebih muda darinya. Mereka menjadi dekat sejak Adel mengajar mata kuliah metodologi riset di kelas Ben. Pertama kali mereka bertemu adalah saat Adel mengajar di kelas Ben, sejak itu pula mereka sering hang out bersama layaknya teman. Meski demikian, Ben masih tetap berbicara dengan sopan pada Adel. Memanggil dengan sebutan Miss serta berbicara layaknya mahasiswa kepada dosennya, meskipun mereka sedang di luar kelas. Adel juga tak pernah mempermasalahkan bagaimana Ben memanggilnya. Ia tak keberatan dipanggil Miss di depan umum. Adel juga merasa oke-oke saja dengan segala perlakuan Ben, karena itulah mereka semakin dan semakin dekat. Dua orang itu kini menikmati makanan Jepang. Ben memilih makanan Jepang karena ia tahu jika Adel menyukai segala hal tentang Jepang, termasuk makanannya. Adel memang pernah tinggal di Jepang, lebih tepatnya saat ia kuliah S2 di Jepang. Adel Kuliah S1 di Indonesia, lebih tepatnya di kota kelahirannya di Bandung. Lalu ke Jepang untuk kuliah S2. Selanjutnya, Adel menghabiskan waktu 3 tahun di Singapura untuk mengambil gelar PhD. Usianya 29 tahun, usia yang masih sangat muda baginya untuk menjadi dosen dengan gelar PhD di belakang namanya. Tahun ini adalah tahun pertamanya menjadi dosen, ia langsung mengajar di sebuah universitas negeri di Jakarta. Adel mendapatkan penawaran langsung dari dekan karena prestasi dan juga gelarnya. Hal itu tentunya tak lepas dari rekomendasi dari professornya saat di Singapura. “Miss, mau foto, gak?” “Boleh.” Setelah mereka kenyang, dua orang itu sibuk berpose di sudut cafe. Tempat yang memang disediakan khusus oleh pihak pengelola cafe. Bagian sudut cafe tersebut didesain semenarik mungkin, memang sengaja dibuat se-aesthetic mungkin. Setelah selesai makan, Ben mengantar Adel pulang ke apartemennya. Dan begitu sampai di tujuan, Adel langsung turun dari mobil sebelum Ben sempat membuka pintu mobil untuknya. Padahal Ben sudah turun duluan dan ingin meromantisinya. Nasib, lagi-lagi Ben gagal. Adel hanya tertawa melihat ekspresi muram di wajah mahasiswanya itu. “Thanks, rajin-rajin yah ditraktir. Lumayanlah, gaji aman,” ucap Adel sambil menepuk-nepuk tas jinjingnya. Adel melambaikan tangannya pada Ben lalu naik ke apartemennya. Sementara Ben, ia masih terus memandangi punggung dosen tercintanya itu dari kejauhan. Semakin dan semakin menjauh dari pandangannya. **** “Wuih … ada yang makin nempel sama Miss Adel nih.” Salah seorang teman sekelas Ben langsung menggoda Ben yang baru masuk ke ruang perkuliahan. Ben hanya tersenyum miring sambil meletakkan tas berisi laptop di atas meja. Semua orang di kelas bisnis tersebut memang sudah tahu bagaimana kedekatan antara Ben dan Adel. Beberapa bahkan berasumsi jika dua orang itu memang sudah berpacaran. Bagaimana tidak, mereka selalu ke mana-mana berdua. Makan berdua, nonton berdua, dan Ben bahkan sengaja mengajukan diri sebagai mahasiswa bimbingan Adel untuk penyusunan thesis-nya. Karena itulah, kedekatan mereka semakin tak terelakkan. “Kalian sebenernya pacaran apa gimana sih?” tanya seorang teman Ben yang lain. “Iya nih, jalan berdua mulu,” timpal pria bertubuh besar itu. “Pamer melulu di ** loe, Ben.” Ben hanya terkekeh. Sebenarnya Ben berkali-kali ingin mengutarakan perasaannya. Hanya saja ia merasa tak percaya diri. Alasannya karena statusnya sebagai mahasiswa Adel. Adel masih muda tapi sudah lulus S3. Prestasinya segudang dan sangat diidolakan banyak mahasiswa. Wajarlah jika Ben merasa dirinya tak pantas mendampingi sang dosen. Ben sebenarnya tak seburuk itu juga. Ia bisa membangun perusahaannya dari nol hingga berkembang pesat seperti sekarang karena ia cerdas dan pekerja keras. Penghasilannya perbulan bahkan lebih banyak jika dibandingkan penghasilan Adel dalam satu semesternya. Tapi, lagi-lagi karena prestasi Adel. Ben yang masih berstatus sebagai mahasiswa ingin mendatangi Adel dengan bangga. Ia ingin menunjukkan dirinya sebagai pria yang bisa Adel andalkan. Semenjak mengenal Adel, rasa percaya dirinya semakin dan semakin menciut. Ben adalah pria yang rupawan, badannya tegap dan kekar karena olahraga teratur. Ada banyak mahasiswi yang mengidam-idamkannya. Banyak pula teman sekelasnya yang memang lebih muda darinya selalu merasa kesal tiap kali Ben memposting foto-foto kebersamaannya dengan Adel. Rasa ingin diakui, itulah yang Ben butuhkan. Ia ingin bisa diakui oleh Adel sebelum ia benar-benar menyatakan perasaannya. Meskipun tak pernah ada aturan dimana pria harus selalu lebih dibandingkan wanita. Namun, yang namanya pria, tetap saja ada egoisme tinggi yang merasa jika harga dirinya akan jatuh jika wanitanya lebih hebat. Aku ingin diakui, dan ... itu olehmu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD