R 1.2

1347 Words
Shana memutar bola matanya, tampak malas memberikan tanggapan atas pertanyaan Agatha barusan. Ia pun menggelengkan kepala sekilas karena tidak etis rasanya membicarakan soal apa yang sebenarnya juga tak benar-benar Shana tahu. "Udah lah, Tha," kata Shana, "nanti aja kita omongin ini lagi. Gue juga nggak tau apa-apa. Bahkan Arthur yang pertama kali kontak sama cewek itu juga belum tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi." Agatha mengerucutkan bibirnya. Ia pun dengan berat hati menganggukkan kepala, setuju untuk tidak berusaha curi-curi kesempatan bertanya. Berhubung tandu lipat sudah ada di tangan Shana, gadis itu pun segera balik badan meninggalkan ruang kesehatan. Sebelum Shana menjauh, panitia yang bertugas di ruang kesehatan itu terdengar memanggil Shana. Setelah Shana menoleh, panitia itu bertanya, "Kamu bisa kan buka tandu lipatnya?" "Aman, Kak, aku dulu anak PMR," ujar Agatha mendahului Shana, "udah makanan sehari-hari kalau urusan tandu." Jadilah Shana hanya mengangguki, mendukung jawaban dari Agatha. Setelah urusan dengan panitia selesai, Shana dan Agatha pun kembali berlarian menuju ke ruang penyimpanan mesin. Mereka sudah menduga kalau mereka akan dimarahi oleh Arthur dan kawan-kawan yang berada di sana karena mereka sudah membuang waktu terlalu lama hanya untuk mengambil sebuah tandu. "Lama banget kalian!" protes Verrel begitu Shana dan Agatha meletakkan tandu di hadapan pemuda itu. "Banyak omong ya lo," balas Agatha dengan ketus. Ia menekuk wajahnya hingga tampak kusut. Arthur menengahi. Arthur meminta teman-temannya tidak memperkeruh suasana dan melakukan hal-hal yang penting saja. Pemuda itu meminta teman-temannya untuk membuka tandu lipat dan segera memindahkan si gadis yang berada dalam kondisi tak sadarkan diri itu ke atas tandu. Setelah dikomando Arthur, barulah mereka kembali fokus ke masalah yang sebenarnya. Mereka dengan cepat membuka tandu dan menggotong lalu meletakkan si gadis yang pingsan itu ke atas tandu untuk kemudian dievakuasi ke ruang kesehatan. "Kalian yang cewek-cewek duluan aja," kata Arthur kemudian, "ini biar gue, Verrel, Rick, sama Endra yang urus." Hea pun menimpali, "Oke, gue turun duluan. Sampai di ruang kesehatan, gue akan siap-siapin tempat dan sebagainya. By the way, butuhnya apa aja?" "Oksigen," gumam Agatha, "kayanya perlu deh." Hea pun mengangguk mengerti. Ia mengajak Agatha dan Shana turun dari sana terlebih dahulu. Namun, gayung tak bersambut. Mereka enggan menuruti ajakan Hea. Shana dan Agatha tampak kelelahan dan tak ingin mengikuti jejak Hea buru-buru turun dari sana. Ingat, mereka sudah jalan bolak-balik beberapa kali. Masa iya mereka harus berjalan turun lagi? "Gue nggak kuat," jerit Agatha membuat orang di sekitarnya terkejut. "Gue mau di sini dulu!" Shana juga mengangkat tangannya. Gadis itu tampak masih cukup terengah-engah. "Gue juga sama." Arthur mengambil keputusan dengan cepat. Ia tak bisa menunggu hingga Shana dan Agatha sanggup ikut turun dengan mereka. Sementara kondisi si gadis yang tak sadarkan diri itu juga perlu segera ditangani. "Oke, kalain berdua di sini dulu. Nanti kalian turun kalau udah nggak capek," kata Arthur, "berani, kan?" Shana asal mengangguk saja. Sementara Agatha tampak meneguk ludah, namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Dan sesaat kemudian, Arthur beserta tiga pemuda lainnya menggotong-gotong gadis yang tak sadarkan diri itu dengan tandu menuju ke ruang kesehatan. Sepeninggal mereka, otomatis area kamar mandi itu jadi sepi total. Terlalu sepi dan hening, Shana dan Agatha saling bertukar tatapan. Keduanya seperti sama-sama menahan untuk tidak bergidik ngeri dan membuat takut satu sama lain. "Tha," panggil Shana dengan nada bicara yang berusaha dibuat setenang mungkin, "udah nggak capek, kan? Turun sekarang aja gimana?" Agatha menganggukkan kepalanya dengan perlahan. "Ayo, Sha," ujarnya, meski ia masih merasa cukup lelah dan kakinya terasa lemah. Shana dan Agatha pun bangkit dari posisi duduk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar suara ranting dan dedaunan kering yang bergemerisik, seperti ada yang menginjaknya. Jadi tanpa berbasa-basi lagi, kedua gadis itu lari tunggang langgang meninggalkan ruang penyimpanan mesin air dan termasuk area kamar mandi. Kedua gadis itu sudah ketakutan hingga bulu kuduk mereka merinding hebat. Jantung mereka berpacu sangat cepat. Mereka bertekad untuk tidak berhenti berlari sampai setidaknya mereka berpapasan dengan orang atau mereka tiba di keramaian. *** Arthur memberi aba-aba agar ketiga temannya menurunkan tandu secara bersamaan ke atas kasur angin yang sudah disiapkan oleh Hea dan panitia di bagian kesehatan. Setelah tandu turun, mereka lantas mengangkat si gadis yang pingsan itu untuk ditidurkan di kasur angin. Hea sibuk menyuruh ini dan itu kepada kedua panitia yang kebagian tugas sebagai tim kesehatan. "Oksigennya jangan lupa dipasang," kata Hea pada kedua orang itu. Sementara salah satu dari panitia di tim medis itu bertanya, "Pakai oksigen yang besar atau yang portable?" "Terserah kalian, yang penting oksigen," kata Hea asal. Arthur yang menangkap pembicaraan itu pun membuka suara. "Kasih oksigen yang tabung aja. Kalau pakai yang portable, kayanya kurang." Merasa apa yang Arthur katakan benar, maka kedua panitia di bagian kesehatan itu tampak menuruti kata-katanya. Mereka lantas mulai menyiapkan pemberian oksigen kepada gadis yang pingsan itu. Verrel yang tampak mendudukkan diri di lantai di dekat tempat tidur si gadis yang pingsan itu pun tampak penasaran. Ia bertanya yang tidak spesifik ditujukan kepada siapa, "Dia kenapa, sih?" Hea tampak membuang napas keras sambil menggelengkan kepala. Ia juga tidak tahu jelasnya bagaimana. Namun ia menjawab pertanyaan Verrel berdasarkan apa yang dia tahu saja, "Waktu gue dan Endra dateng, cewek itu udah bergelantungan di tali yang terikat di plafon." "Dia gantung diri?" Rick membelalakkan matanya dengan berlebihan. “Bunuh diri gitu?” Arthur buru-buru menyela, "Belum pasti dia gantung diri dengan tujuan bunuh diri." "Terus apa dong, Ar?" cecar Verrel. "Masa iya ada yang bikin dia gantung diri? Mau bunuh dia gitu? Repot amat. Tapi ngomong-ngomong, ini cewek masih hidup, kan? Kayanya kalau orang tercekik itu bakalan cepat—" Ucapan Verrel terjeda karena kedua panitia yang sejak tadi berkutat mengurusi gadis yang pingsan itu akhirnya angkat bicara. Salah satu dari mereka berujar, "Eh, eh, kelopak matanya gerak nih." Sontak saja, beberapa dari mereka langsung menghampiri gadis itu untuk turut melihat perkembangan apa yang terjadi. Atau paling tidak, mereka memastikan dengan mata kepala mereka sendiri kalau gadis itu tidak meninggal. Semua orang di sana tampak mengucap syukur. Karena bagaimana pun, bukankah akan jadi merepotkan jika ada mayat di tengah kegiatan makrab? Apalagi karena dugaan bunuh diri dengan menggantung dirinya. Jika begitu, sudah pasti acara akan langsung bubar jalan. "Gimana, bisa diajak ngomong nggak? Coba ditanya-tanyain." Endra tampak bicara sembari mendesak maju—menggeser Hea dan Rick—untuk melihat apa respons dari si gadis itu. Arthur tampak mengusap dagunya. Ia melihat gadis yang baru sadar dari pingsannya itu memegangi leher sambil mengernyit kesakitan. Belum lagi, yang keluar dari mulut gadis itu hanyalah ucapan terbata yang sama sekali tak bisa dipahami oleh Arthur dan rekan-rekannya. Arthur pun berkata, "Jangan diajak bicara dulu. Dia kelihatan kesakitan setiap kali buka mulut. Suara dia juga terbata-bata. Lehernya pasti terluka dan kita jangan bikin itu tambah parah." Semua mengangguk sepakat. Mereka memang bukan ahlinya di bidang medis, jadi yang bisa mereka lakukan adalah mengantisipasi agar kondisi si gadis itu tidak semakin parah. Lagian, mereka juga hanya bisa menilai dari luarnya saja. Mana tahu mereka apa yang terjadi dengan luka dalam yang mungkin gadis itu alami. Beberapa saat kemudian, mungkin saja karena sakit atau semacamnya, gadis itu mulai menangis dalam diam. Hanya saja, air mata tak berhenti mengalir dari sudut-sudut matanya. Sontak, itu membuat orang-orang yang ada di sana tampak kelabakan, bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana mereka harus menolong gadis itu sementara mereka tak tahu apa yang gadis itu butuhkan saat ini? Belum cukup sampai di sana, orang-orang di dalam ruang kesehatan itu dikejutkan oleh kehadiran Shana dan Agatha yang cukup grasah-grusuh. Mereka datang dengan membawa kehebohan. "Cewek tadi meninggal?" tanya Shana dari ambang pintu masuk tanpa kata-kata pendahuluan. Tentu saja pertanyaan Shana membuat semua orang di dalam ruangan itu terdiam kebingungan. "Maksud lo?" tanya Rick pada akhirnya. Agatha yang napasnya masih tersengal-sengal namun sudah geregetan untuk turut buka suara pun mengambil alih tugas untuk menjelaskan, "Iya, barusan anak-anak di depan pada ngomongin soal ini. Kata mereka ada orang meninggal karena gantung diri. Itu yang dimaksud orang bunuh diri ya si cewek tadi itu, kan? Guys, gimana urusannya kok jadi ribet kaya gini?" Semua orang di sana saling bertukar pandangan sekilas-sekilas. Sulit menjelaskan bagaimana suasana yang terjadi saat ini di antara mereka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD