‧͙⁺˚*・༓☾Chapter 1☽༓・*˚⁺‧͙

1572 Words
    Kia membuka pintu balkon kamarnya. Udara pagi yang sejuk menyambut kehadiran Kia di balkon kamar itu. Kia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.     "Pagi, Jengger Ayam," sapa orang di balkon seberang.     Kia yang semula tengah memejamkan mata menikmati suasana pagi yang sejuk dan tenang akhirnya memutuskan untuk membuka matanya. Sebenarnya tanpa melihat pun, Kia sudah tahu siapa orang yang menyapanya dengan panggilan kurang ajar itu.     "Pagi juga Onta Gurun Pasir," balas Kia sarkas. Ia malas kalau pagi-pagi sudah berurusan dengan cowok bernama Ota Unga. Jadi Kia tak akan segan balas memanggil Ota dengan julukan Onta.     Kia kesal setiap kali Ota memanggilnya dengan julukan Jengger Ayam. Padahal nama asli Kia sangatlah bagus, Celocia Cristata. Tapi memang arti namanya adalah jengger ayam, sih.     Kia melotot kaget saat Ota tiba-tiba saja membuka kausnya dan memamerkan perutnya yang kotak-kotak seperti roti sobek. Sial, pagi-pagi mata Kia sudah ternodai! Ingin rasanya Kia menyobek-nyobek perut Ota biar cowok itu tidak hobi pamer bodi lagi.     "Eh, Onta. Badan lo tuh nggak ada bagus-bagusnya buat dipamerin. Bikin mata gue sakit aja," gerutu Kia sambil teriak-teriak.     Sedangkan Ota menanggapinya dengan santai, "Orang gue mau mandi. Lo aja yang nafsu liat-liat."     Setelah bicara begitu, Ota masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu menuju balkon.      Sementara Kia menghentakkan kakinya kesal dan turut melakukan apa yang Ota lakukan. Ia berjalan memasuki kamarnya sembari menggerutu. "Mentang-mentang mau mandi terus lepas baju di mana aja gitu? Kan bisa lepasnya di kamar mandi. Dasar Ota nggak waras!" ~♥~     Setelah beres membersihkan badan, Kia beranjak keluar dari kamar mandi dan sibuk memilih pakaian. Hari ini ia akan menghadiri kuliah. Seberes kuliah, Kia ada latihan paduan suara.     Kia mengambil celana berbahan kain dengan potongan longgar serta kemeja berwarna biru muda. Tampilannya harus formal karena ia akan menghadiri kelas dosen paling tertib dan taat aturan.     Setelah selesai memilih dan memakai pakaian, Kia berpindah tempat ke meja riasnya. Di sana Kia mulai sibuk memoles make up tipis, sekadar membuat dirinya tampil lebih segar.     Tak butuh waktu lama, Kia sudah kembali beranjak dari kesibukannya di meja rias. Ia beralih ke meja belajar dan menyambar buku catatan serta alat tulisnya. Kia tak lupa memasukkan ponselnya di antara buku catatan dan peralatan lain ke dalam tas yang harus dibawanya ke kampus.     Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu Kia lakukan di kamarnya, ia memilih menunggu jemputan temannya di teras rumah. Baru membuka pintu depan, klakson mobil terdengar. Kia buru-buru memotong jalan di pelataran rumahnya dan menghampiri mobil itu.     "Morning, Kia," sapa Abel Balqis Caesa atau singkatnya dipanggil Abel saja. Ia adalah sahabat Kia yang super banyak tingkah.     "Bel, tugas bikin autobiografi udah lo kirim ke surel Pak Dosen?" tanya Kia tanpa mengacuhkan sapaan Abel.     Abel mengangguk-angguk. "Udah, kan yang ngerjain cowok gue."     Kia memutar bola matanya, bosan dengan kelakuan Abel. "Bel, Bel, sampai kapan lo ngandelin cowok itu buat ngerjain tugas-tugas lo?"     "Orang dianya mau," balas Abel sambil nyengir. "Iri bilang, Ki. Makanya buruan cari cowok!"     Kia malas meladeni ocehan Abel. Ia segera duduk di jok penumpang samping pengemudi. Seperti biasa, Kia memang menumpang Abel untuk berangkat ke kampus. Rumah Kia yang tak seberapa jauhnya dari kampus tentunya akan membuat Abel tidak keberatan dimintai tumpangan. Toh, mereka searah.     "Eh, doi juga lagi siap-siap mau ke kampus tuh," celetuk Abel yang masih belum melajukan mobilnya.     Kia melirik ke rumah tetangganya, di mana ada Ota yang tengah bersiap dengan motornya.     "Udah lah, Bel. Nggak usah perhatiin dia. Ntar dia kepedean lagi," ketus Kia yang memang apa-apa dibawa serius.     Abel hanya mendengkus sembari terkekeh kecil. Ia lalu bersiap menjalankan mobilnya. Baru maju beberapa sentimeter, Abel terpaksa menginjak rem kuat-kuat. Alasannya tentu saja karena cowok yang tadi ia sebut sebagai doi itu tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.     "Woi, Onta, lo gila ya?" jerit Kia emosi. Ia bahkan melongokkan kepalanya keluar dari jendela mobil.     "Apa sih, Jengger Ayam? Orang gue mau nyapa Abel," balas Ota santai. Ia melambaikan tangannya pada Abel yang juga melongokkan kepala keluar jendela mobil. Ota menyapa Abel. "Pagi Abel. Kayanya lo makin gendutan, ya? Pipi lo makin tembem. Imut deh."     Setelah mengatakan hal itu, Ota kembali melajukan motornya menuju ke kampus.     "Duh, Ota tuh lucu ya?" gumam Abel tersipu.     "Bel, dia barusan body shaming, lho! Dia ngatain lo gendutan," ujar Kia berusaha menyadarkan Abel dari fantasi gilanya. Kia tak habis pikir bagaimana bisa Abel tersipu-sipu oleh ejekan Ota.     "Ish, Ki. Ota bercanda kali. Lagian gue yang digoda, kok lo yang sewot?" Abel bertanya masih sambil senyum-senyum sendiri.     Kia mendengkus. "Gue laporin ke cowok lo nih kalau lo hobi lirik-lirik Ota."     Abel memanyunkan bibirnya. Ia berhenti tersenyum sembari mengamati jalanan yang tadi dilewati Ota.     "Yuk, buruan jalan. Keburu telat kita," kejar Kia yang memang tidak bisa santai.     "Iya, Non Kia," seloroh Abel sembari mulai menjalankan mobilnya. Abel kembali senyum-senyum dengan gembira.     Kia memutar bola matanya kesal. Perjalanannya menuju kampus jadi terhambat karena Ota tebar pesona pada Abel. Kia merutuki Ota. "Gue sumpahin dia bakal kecelakaan." ~♥~     Sesampainya di kampus, Abel memarkirkan mobilnya di bagian luar pagar fakultas. Karena kalau parkir di dalam, bisa dipastikan Abel akan kesulitan mencari tempat.     "Ki, lo kenapa sih nggak suka banget sama si Ota? Padahal selera humornya bagus lho," ujar Abel saat mereka berjalan memasuki area fakultas.     Kia yang berjalan di sebelah Abel hanya menghela napas dan menampik pendapat Abel. "Gue nggak suka cowok humoris. Apalagi yang bentukannya kaya Ota. Dia bukan humoris, tapi sok asik."     "Hati-hati nanti jatuh hati," goda Abel membuat muka Kia makin suram saja.     Kia itu bagaikan bom waktu. Ia bisa meledak kapan saja. Apalagi kalau Kia dihadapkan pada orang-orang yang tidak bisa serius.     Tapi pengecualian untuk Abel. Meski Abel tipikal orang yang banyak tingkah dan banyak bercanda, Kia tetap berusaha menerima Abel berotasi di sekelilingnya. Selain Abel memang sahabat yang baik bagi Kia, Abel juga tahu apa yang Kia tahu. Dalam artian keduanya bisa melihat sesuatu yang tidak semua orang bisa melihatnya. Mungkin kalian menyebut mereka indigo.     Kia jadi ingat pertemuan pertama dirinya dan Abel. Saat itu mereka sedang mengikuti ospek jurusan. Acaranya memang diselenggarakan mulai sore sampai malam hari. Apesnya, Kia yang memang punya kemampuan melihat makhluk halus dibuat malu oleh makhluk itu.     Kia saat itu kesulitan membedakan mana yang manusia dan mana yang bukan. Alhasil, Kia tiba-tiba saja maju ke depan kelas di mana teman-temannya tengah sibuk memperhatikan penjelasan kakak-kakak himpunan. Kia merasa dirinya diminta maju. Padahal tidak seorang pun dari kakak himpunan itu meminta Kia maju ke depan kelas.     Jelas saja, semua orang dibuat kebingungan oleh tingkah Kia. Kia yang terlanjur merasa malu dan juga takut memutuskan untuk keluar dari kelas ospek jurusannya.      Alhasil, hanya Abel lah yang mengerti posisi Kia. Abel yang mengkhawatirkan Kia akhirnya menyusul izin keluar kelas. Abel menghampiri Kia dan menenangkan Kia yang saat itu syok berat.      Tapi berita soal Kia yang bisa melihat hantu menyebar begitu cepat. Semua yang mengenal Kia akhirnya memutuskan menjauh. Alasannya tentu saja takut. Takut kalau tiba-tiba Kia mengatakan hal yang tidak-tidak soal apa yang dilihatnya. Jadi hingga kini hanya Abel lah yang tetap tinggal dan memperlakukan Kia seperti layaknya orang biasa.     "Eh, Ki," potong Abel memutus lamunan Kia. Abel menunjuk ke sudut taman fakultas. Ia berbisik, "Itu hantu baru, ya? Gue belum pernah lihat sebelumnya."     Kia hanya bergidik ngeri. Bukan takut, ia hanya malas diganggu. Kia balas berbisik pada Abel. "Udah, jangan ditunjuk-tunjuk. Nanti dia tahu kalau kita bisa lihat dia. Jangan buat dia tertarik sama energi kita."     Abel terkekeh. Kalau Kia sering diganggu hantu, Abel justru gemar mengganggu ketenteraman hantu-hantu itu. Dasarnya Abel banyak tingkah, jadi ya begitu.     Mereka akhirnya tiba di kelas. Kia mengambil kursi di baris depan. Sementara Abel duduk tepat di belakang Kia.     Mereka memang tidak pernah duduk bersebelahan. Kia yang ambisius akan memilih duduk di barisan depan agar menyerap materi dosen dengan baik. Sementara Abel terlalu takut untuk duduk di barisan depan karena ia jarang memperhatikan penjelasan dosen mata kuliah yang ia ambil.     Abel menusuk-nusuk punggung Kia dengan penggaris. Begitu Kia menoleh, Abel langsung mengarahkan penggarisnya ke arah pintu masuk kelas.     "Ota sekelas sama kita?" bisik Abel antusias.     "Bodo amat. Gue nggak peduli," ketus Kia. Ia kembali menghadap ke bagian depan kelas. Kia lantas fokus pada ponselnya. Bukan untuk berselancar di dunia maya, tetapi Kia membaca materi kuliah dalam bentuk Power Point dan materi yang disiapkan dosen lewat PDF. Kia sedang mencuri start untuk belajar.     Tak berselang lama, kembali terdengar suara yang menginterupsi fokus Kia. Siapa lagi kalau bukan Ota pelakunya. Cowok itu berdiri di depan bangku yang letaknya di samping Kia. Ia meminta izin, "Gue duduk di sini ya?"     Kia meremas pena yang sedang ia gunakan untuk corat-coret di catatan. Ia mengangkat wajah, menantang Ota. "Lo bisa nggak sih pilih bangku lain aja? Cowok tuh duduk di bagian belakang. Bangku depan buat cewek. Kalau lo mau duduk di sini cuma buat bikin gue darting, mending minggir."     Ota masih terlihat santai. Wajahnya dibuat jenaka dengan alis diangkat sebelah. Ia mendebat ucapan Kia. "Emang ada aturan kaya gitu? Enggak tuh."     Ota dengan nekat menduduki bangku di sebelah Kia. Padahal ia jelas tahu kalau Kia tidak sudi dekat-dekat dengannya.     "Cie duduk sebelahan," goda Abel dari belakang. Ia memang tidak akan tinggal diam melihat kedekatan dua orang yang menjadi musuh bebuyutan sejak zaman dahulu kala.     "Bacot terus!" ketus Kia. Ia makin kesal saja.     Ota dan Abel sama-sama tertawa. Mereka memang senang membuat Kia bersungut-sungut marah. Meski pada akhirnya Abel akan meminta maaf dan Ota akan berpura-pura tidak pernah membuat masalah.     Kia melirik Ota dengan tatapan ingin membunuh yang tidak berusaha Kia tutup-tutupi. Kia ingin Ota segera lenyap dari dunia ini. ~♥~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD