‧͙⁺˚*・༓☾Chapter 3☽༓・*˚⁺‧͙

1457 Words
    Kia selesai dengan latihan paduan suaranya. Ia segera menghampiri Abel yang sudah lebih dulu diperbolehkan keluar dari ruang latihan.     "Lama banget sih, Ki?" Abel terlihat tidak sabaran.     Kia mengedikkan bahu. "Nggak tau, disuruh ngulang-ngulang terus."     "Ya udah, yuk balik. Badan gue udah gerah banget ini. Pengen cepet-cepet mandi," gerutu Abel. Ia menarik tangan Kia untuk mempercepat langkah mereka menuju parkiran.     Kampus sudah sepi saat itu. Maklum lah, jam juga telah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Hanya segelintir orang yang tersisa dan berlalu lalang karena suatu hal yang memaksa mereka untuk tetap tinggal di kampus.     "Bel," gumam Kia, "gue mendadak merinding."     Abel memukul bahu Kia ringan. Ia melakukannya sekadar untuk menghentikan Kia agar tidak bicara yang aneh-aneh. "Diem aja, Ki. Gue juga ngerasain hawa-hawa nggak beres di sini."     Kia mengangguk mengerti. Ia semakin erat menggamit lengan Abel.     Untung lah, mereka akhirnya tiba juga di parkiran. Kedua cewek itu langsung masuk ke mobil. Abel juga tanpa banyak berbasa-basi langsung tancap gas pergi dari area kampus ini.     "Tadi itu makhluk apa ya?" tanya Abel. Ia masih melajukan mobilnya cepat di jalanan.     Kia menggelengkan kepala. "Gue nggak yakin itu apa. Tapi sosoknya gede banget. Astaga, merinding gue," ujar Kia. Ia mengusap-usap lengannya.     "Ki, kalau gue nggak berani pulang ke rumah, gue nginep di rumah lo aja, ya?" mohon Abel.     Kia menggumam setuju. Ia juga tidak mau terjadi apa-apa pada Abel kalau dibiarkan berkendara sendiri dalam kondisi setengah ketakutan begini.     Tak butuh waktu lama hingga kedua gadis itu tiba di rumah Kia. Maklum lah, Abel nyetir mobilnya ngebut tanpa kenal menginjak rem.     Tapi kedua gadis itu justru dibuat terdiam di dalam mobil karena apa yang mereka lihat di depan sana. Di sebelah rumah Kia, banyak orang tengah berkumpul. Lebih tepatnya, orang-orang itu sedang mengerumuni rumah tetangga Kia.     "Ki, kok ada orang rame-rame?" tanya Abel.     Kia mengernyit. Ia juga keheranan. Tapi tak lama kemudian, perasaan Kia berubah jadi tidak enak. Semoga saja, ini bukan apa-apa.     "Turun yuk, Bel," ajak Kia. Ia ragu untuk keluar dari mobil. Apalagi kalau harus berjalan sendirian.     Abel mengangguk setuju. Ia juga membuka pintu dan keluar dari mobil. Abel berjalan menghampiri Kia.     Baru saja Kia dan Abel melangkah beberapa meter menuju rumah itu, sebuah ambulans melintas melewati Kia dan Abel. Ambulans itu berhenti tepat di depan rumah tetangga Kia.     Ambulans itu tak datang sendirian. Di belakangnya, ada mobil hitam yang Kia kenali sebagai mobil keluarga Ota turut mengiringi ambulans itu.     Orang-orang yang semula berkumpul di samping rumah, kini memilih berjalan ke depan. Mereka seperti akan menyambut sesuatu. Namun tentunya tidak dalam kondisi bersuka cita. Wajah orang-orang itu tampak berduka.     Beberapa orang turun dari mobil hitam itu. Termasuk di antaranya adalah Ibu Ota yang tampak tak kuasa menahan kesedihan.     Sementara itu, pintu ambulans juga dibuka. Dikeluarkan peti mati dari dalam sana. Ada Ayah Ota yang selalu mendampingi peti mati itu.     "Bel," ujar Kia. Suaranya bergetar. Bahkan badannya juga gemetaran hingga limbung menabrak Abel.     Abel langsung siaga menopang tubuh Kia. Kedua gadis itu saling tatap dengan mata berkaca-kaca.     "Nggak mungkin kan, Bel?" gumam Kia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras.     Abel tak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya diam sembari menahan isakan.     "Kia, Abel." Seorang wanita paruh baya dengan tatapan sendu berjalan mendekati Kia dan Abel.     "Ma," ucap Kia.     "Tante." Abel turut menyapa.     Wanita paruh baya itu merangkul Kia. Ia membantu Abel menopang tubuh Kia yang mendadak lemas.     "Ma, siapa yang nggak ada?" tanya Kia.     Mama Kia mengusap kepala Kia. Ia membawa Kia ke dalam dekapannya. "Sabar ya, Sayang. Ota sudah berpulang."     Tangis Kia dan Abel langsung pecah. Mereka tidak lagi berusaha menahan-nahan kesedihan mereka.     Mama Kia juga menarik Abel dan memeluknya. Wanita berparas ayu itu menenangkan kedua gadis yang sedang menangis hebat.     Malam itu Kia sadar bahwa benar adanya jika ucapan itu juga sebuah doa. Kekesalan Kia terhadap Ota mungkin menjadi pemicu doa-doa buruk yang Kia ucapkan. Sumpah serapah yang sebenarnya tidak Kia aminkan nyatanya menjadi kenyataan.     Kia dan Ota memang selalu bermusuhan. Namun ketika Ota pergi, Kia sangat merasa kehilangan. ~♥~     Paginya, Kia memutuskan tidak pergi ke kampus. Semalaman, ia menghabiskan waktunya untuk menangis. Jadi jangan ditanya seberapa kacaunya keadaan Kia saat ini.     "Ki," panggil Abel. Sobat Kia itu juga memilih menginap di rumah Kia lantaran tak kuat kalau harus melanjutkan perjalanan pulang.     Kia menoleh atas panggilan Abel. Wajah Kia menyiratkan tanya. Tapi ia enggan bicara.     "Habis ini lo mau apa?" tanya Abel. Cewek itu beranjak turun dari kasur dan berjalan ke arah cermin di kamar Kia.     Kia tampak bingung. Ia tidak bisa menangkap maksud dari pertanyaan Abel. Jadi Kia menjawab sekenanya saja. "Gue nggak ke kampus dulu, Bel."     "Lo mau ke rumah Ota? Kita belum ngasih doa dan ucapan bela sungkawa," ucap Abel.     Kia diam saja. Meski belum menginjakkan kaki di rumah duka, Kia tak henti-hentinya memanjatkan doa untuk Ota. Di dalam hati, Kia juga berkali-kali meminta maaf pada Ota. Kia masih menyesali betapa buruk sikap dan ucapannya.     Pintu kamar diketuk. Ada Mama Kia berdiri di sana dengan baju serba putih. Sepertinya Mama Kia sudah siap melayat.     "Kia, Abel, kalian nggak mau melihat Ota?" tanya Mama Kia. "Mama tunggu di depan ya. Kalian siap-siap dulu. Teman-teman Ota juga sudah berdatangan."     Mama Kia kembali menutup pintu dan meninggalkan Kia serta Abel untuk bersiap-siap.     "Ki, gue mandi dulu ya. Habis gue selesai, lo yang mandi. Sekarang jangan nangis lagi," kata Abel sembari menepuk-nepuk bahu Kia.     Kia mengangguk saja. Ia masih tidak punya banyak tenaga untuk bicara. Lebih baik Kia gunakan waktunya untuk terus memanjatkan doa baik. Kia ingin menebus kesalahannya.     Sampai akhirnya, Abel selesai mandi lima belas menit kemudian. Abel menyeret Kia dan memaksa cewek itu untuk segera membersihkan diri dan bersiap-siap seperti pesan mamanya.     Kia enggan sebenarnya. Ia hanya ingin berdiam diri saja di dalam kamar. Tapi di sisi lain, Kia merasa perlu menemui Ota untuk terakhir kalinya.     Kia memutuskan untuk pergi mandi. Tak perlu lama-lama, mandi untuk saat ini hanya formalitas semata. Kia buru-buru mengenakan baju serba putih.     Sementara itu, Abel juga sudah membongkar lemari Kia dan mendapatkan baju putih yang serupa. Abel meminjam baju Kia lantaran dia tentu tidak siap dengan baju ganti.     Kia dan Abel akhirnya selesai juga dengan acara siap-siap mereka. Kedua gadis itu menghampiri Mama Kia yang telah menunggu di ruang tamu. Mereka bertiga pun berjalan bersama menuju rumah Ota.     Saat Kia sampai di halaman rumah tetangganya itu, Kia melihat Papanya sudah lebih dulu berada di sana. Rupanya Papa Kia ikut membantu pihak keluarga menyapa para pelayat.     "Mas." Mama Kia menepuk bahu suaminya lembut. Tatapan mata Mama Kia seolah memberi isyarat bahwa ia datang bersama Kia.     Papa Kia tersenyum dan menghampiri putrinya. Sejak semalam, ia memang belum bertemu dengan Kia. Papa Kia sibuk bantu-bantu tetangganya yang sedang terkena musibah itu. "Masuk ya, Nak. Di dalam ada Tante Bunga yang tentu merasa sangat sedih. Kamu hibur dia," pinta sang Papa pada Kia.     Kia mengangguk. Ia berusaha tersenyum. Meski senyum itu justru berakhir tampak getir.     Kia dan Abel digiring oleh Mama Kia untuk masuk ke dalam rumah Ota. Mereka langsung berhadapan dengan peti mati Ota yang diletakkan di ruang tamu.     Kia menggenggam tangan mamanya. Ia memejamkan mata dan memanjatkan doa. Kia sedikit menyelipkan permohonan konyol di akhir doanya.     Kia ingin Ota hidup kembali dan Kia akan memperbaiki diri. Kia tidak akan bicara sembarangan apalagi sampai mengutuk dan berucap sumpah serapah. Kia akan berusaha untuk tidak terpancing emosi dan tetap sabar menghadapi kelakuan nyeleneh Ota. Namun tentu saja, harapan itu terlalu mustahil untuk terwujud.     Kia tidak yakin bahwa Ota bisa keluar dari peti mati itu. Ota mengalami kecelakaan yang serius hingga nyawanya terenggut. Beberapa saksi mata mengatakan tubuh Ota hancur setelah mengalami kecelakaan itu.     Bahkan saat ini pun, Kia tidak bisa melihat bagaimana wajah Ota untuk terakhir kalinya. Yang bisa Kia lihat hanyalah peti matinya.     Jadi selesai berdoa, Mama Kia kembali mengajak Kia dan Abel untuk berjalan. Kali ini tujuan mereka adalah ruang tengah tempat keluarga Ota berkumpul.     Baru berdiri di ambang pintu saja, Kia sudah mendengar sedu sedan dari dalam sana. Sudah bisa dipastikan bahwa ruangan itu diliputi kesedihan.     Yang pertama Kia lihat di ruangan itu adalah Papa Ota. Laki-laki yang Kia kenal sebagai sosok humoris dan menyenangkan itu kini terlihat tak bertenaga dan kuyu. Meski begitu, Papa Ota tetap menyambut kedatangan Mama Kia, Kia, dan Abel di sana.     Mama Kia sedikit menyampaikan kata-kata pada Papa Ota. Sementara Kia dan Abel mengekor saja.     Mereka lantas berpindah ke sisi lain ruangan itu. Mereka mendekati Mama Ota yang terlihat jauh lebih menyedihkan. Mama Ota terlihat tak tegar. Wanita itu menangis hingga tampak lemas dan pucat.     Mama Kia kembali mengucapkan rasa turut berbela sungkawanya. Mama Kia juga memberi pelukan hangat pada Mama Ota. Selayaknya seorang kakak yang memberi dukungan morel pada adiknya.     Setelah Mama Kia mengurai pelukan itu, Mama Ota justru menarik Kia dan memeluknya. Mama Ota membisikkan beberapa kalimat di telinga Kia. Hingga tak ayal lagi, Kia dibuat menangis sejadi-jadinya. ~♥~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD