Pak Direktur

1484 Words
Di tempat sunyi ini, di mana banyak gundukan tanah berpenghuni di sana. Reva berjongkok di dekat sebuah makam, di mana nama sang ibu terukir jelas di sana. Senyum di bibirnya mengembang seraya mengelus penuh sayang nisan itu, meletakkan bucket bunga yang tadi dia bawa. "Mama apa kabar?" tanyanya. Tak ada jawaban. Tentu saja, namun Reva akan terus berbicara menyampaikan apapun yang ingin dia sampaikan. "Sekarang Reva udah kerja, Ma, di perusahaan dong. Mama pasti bangga," ucapnya lagi terkekeh pelan. Perlahan buliran bening itu mulai menumpuk di pelupuk matanya. Tak tahan jika harus berhadapan dengan kenyataan yang seperti ini. Dalam ekspektasinya, dia sedang berbaring di pangkuan sang ibu dan menceritakan keluh kesahnya sambil ibunya mengelus rambutnya. Pasti akan terasa nyaman. Bukan seperti ini. "Mama tenang aja, Reva gak bakal macam-macam kok. Reva 'kan udah bisa bela diri, ya walaupun cuma bisa nendang doang." Reva tertawa pelan kali ini. Entah untuk apa tawa itu, dia pun tidak tau. "Oh iya Ma." Reva menghentikan tawanya dan menghapus air matanya yang sempat terjatuh. "Tadi ada orang manggil Reva pake nama Mama. Kayaknya seumuran Mama deh, tapi Reva gak tau dia siapa. Kayaknya kita mirip banget ya Ma." Reva menjeda ucapannya. "Trus tadi pas mau ke sini ada yang bilang Reva ini adiknya. 'Kan aneh Ma. Apalagi nih ya Ma, dia pake meluk-meluk Reva lagi, ya Reva tampar aja. Enak aja main peluk-peluk orang sembarangan," lanjutnya mengingat kejadian tadi. Tersirat nada kesal di dalam kalimatnya. Hell, siapa yang tidak kesal di peluk sembarangan seperti tadi. Walaupun yang memeluknya tadi adalah kaum dewa. Ya Reva akui kalau laki-laki tadi memiliki wajah yang tampan, sangat malah. Eh. Aih, apa-apaan itu tadi? "Ya udah Ma, udah sore nih, Reva pamit ya. Mama baik-baik ya di sini, Reva bakal rajin ke sini kok, supaya Mama gak bosan," ucap Reva tersenyum manis. Menadahkan tangannya, untuk mendoakan sang ibu sebelum benar-benar pergi dari sana. Tanpa mengetahui seseorang yang terus memperhatikannya sedari tadi. ***** Ervan membanting dirinya di kasur empuk miliknya. Pikirannya masih terpikir pada kejadian tadi sore. Gadis itu benar-benar sangat mirip dengan adiknya, sungguh. Apa itu memang benar adiknya? Apakah adiknya tidak benar-benar meninggal waktu itu? Ervan bangkit dan mengusap wajahnya kasar. Itu tidak mungkin, dia menyaksikan sendiri adiknya mati tertembak waktu itu, dan dia sendiri yang menyaksikan adiknya dimakamkan. Lagi pula, dia juga ikut memakamkannya waktu itu. "Lebih baik aku mandi," gumamnya pelan dan berjalan ke arah kamar mandi. Sedangkan di bawah sana. "Tuan Ervan baru saja pulang, Tuan. Mungkin dia sedang mandi. Ingin Bibi panggilkan?" tanya asisten rumah tangga itu. "Tidak perlu, Bi. Saya hanya ingin memastikan dia sudah pulang atau belum. Kalau begitu saya akan pergi," Papa Haris berbalik untuk pergi dari sana. "Tapi Tuan. Apa Tuan tidak ingin makan malam bersama, Tuan Ervan? Tinggallah di sini sebentar," ucap bibi. Haris hanya tersenyum tipis dan menggeleng. "Saya masih harus bekerja, Bi. Mungkin lain waktu," ucapnya kembali berbalik. "Ah ya. Bibi temani dia ya, tolong pastikan dia baik-baik saja di sini. Saya tau kalau Ervan lebih sedikit terbuka pada Bibi dari pada saya," ucapnya berhenti sejenak sebelum benar-benar pergi dari sana. Bibi hanya dapat menghela nafas pasrah. Kapan kedua majikannya ini akan kembali seperti dulu? Dia sangat merindukan kehangatan di antara keduanya. Tidak seperti ini, seperti orang baru yang tidak saling mengenal. "Bibi." panggilan dari atas tangga membuat bibi berbalik pada asal suara. "Siapa?" tanyanya. Bibi mengerutkan keningnya tanda tak mengerti. "Barusan," ucap Ervan lagi masih melangkah santai turun ke bawah. "Oo, itu tadi Tuan besar datang, Tuan," jawab bibi dan Ervan hanya mengangguk menanggapi. "Bibi masak?" Lagi Ervan bertanya. Percayalah, hanya pada bibilah Ervan dapat berbicara seperti ini. Walaupun hanya satu dua kata, tapi itu sudah lebih baik. "Iya Tuan, Bibi baru aja selesai masak. Ayo biar Bibi siapkan makanan untuk Tuan," ucapnya berjalan ke arah meja makan di ikuti Ervan di belakangnya. Ervan hanya mengikuti apapun yang Bibi katakan padanya tanpa ingin berbicara apa apa lagi. Ting! Perhatiannya teralihkan pada ponsel di sampingnya. Seringaian Ervan kian tampak saat melihat siapa yang mengirim pesan padanya. Ervan mengutak atik sebentar lalu menempelkan benda pipih itu pada telinganya. "Bawa ke rumah gue," ucapnya lalu mematikan sambungannya tanpa ingin menunggu jawaban. Ervan menyudahi makannya dan meneguk habis air minumnya. "Bi, nanti bakal ada yang datang," ucapnya. "Bibi gak perlu kaget," lanjutnya terus berjalan menuju kamarnya. Bibi berpikir keras apa maksudnya, tapi kemudian mengangguk mengerti. Sudah biasa baginya mendapat semacam 'peringatan' seperti ini dari Ervan. ***** Menyemprotkan sedikit parfum di tubuhnya untuk menunjang penampilannya pagi ini. Tersenyum ke arah cermin seraya meneliti penampilannya. Terasa sudah cocok, Reva mengambil tasnya dan melangkah keluar dari apartmentnya menuju perusahaan dia bekerja. Dia merasa sangat bersemangat pagi ini. Seperti yang dia lakukan di pagi-pagi sebelumnya, Reva sedang berdiri di tepi jalan menunggu jemputannya, sang ojek online. "Ke perusahaan Anderta Group ya, Mas," ucap Reva duduk di atas motor ojol. "Siap, Neng," jawab abang ojol. Diperjalanan Reva lebih memilih menikmati suasana pagi di ibu kota ini. Tak ingin membuka pembicaraan dengan abang ojol, tidak seperti sebelumnya. Sekedar info saja, Reva adalah tipe orang yang mudah bosan, jadi siapapun yang ada di dekatnya sebisa mungkin untuk dia ajak berbicara agar tak bosan. Tapi tidak untuk kali ini. Hanya sekitar 15 menit perjalanan, tanpa macet tentunya, Reva sudah sampai di perusahaan tempatnya bekerja terhitung dua hari termasuk hari ini. Membayar ojol sebelum dia melangkah masuk ke dalam kawasan kantor. "Kak Melin!" panggil Reva sedikit mengeraskan suaranya. Merasa namanya di panggil, Melin menoleh dan mendapati Reva yang melambai padanya. "Baru dateng juga Rev? Berangkat sama siapa tadi?" tanya Melin berjalan bersama Reva. "Bareng Abang Ojol, Kak," jawab Reva membuat Melin terkekeh. "Gimana Mbak Nisa, Kak?" Reva kembali bertanya. "Nggak gimana-gimana sih. Paling besok udah bisa pulang ke rumah. Nanti aku mau bantu beres-beres di rumahnya Mbak Nisa. Kamu mau ikut?" tawar Melin. "Boleh tuh, Kak. Lagian aku gak ada kerjaan kalau di apartemen," jawab Reva. "Bagus deh, jadinya aku hemat tenaga," candanya dan keduanya tertawa. Reva dan Melin masuk ke dalam lift, menuju lantai 13. Dan beruntungnya lagi, ternyata Melin adalah rekan kerjanya, satu divisi dengannya. Reva sangat senang akan hal itu, apalagi saat tau bahwa Nisa merupakan atasan langsungnya di divisi itu. Reva merasa lega mendapat atasan dan senior sebaik mereka berdua. Bruk! Reva terjatuh ke lantai saat orang itu menabraknya dengan agak keras. "Eh, Reva. Sini aku bantuin. Kamu gak apa-apa?" tanya Melin membantu Reva berdiri. "Ini tas kamu, saya minta maaf. Saya tidak melihat kamu tadi." ucap orang itu memberikan tas itu pada Reva. Reva sudah menyiapkan kata-kata mutiara untuk di cecarkan pada pria yang menabraknya ini. Enak saja bilang tidak melihatnya, memangnya Reva ini debu tidak bisa di lihat? Hey! Tubuhnya tidak sekecil itu tolong. Namun saat dia mengangkat kepalanya, kata-kata mutiara itu kembali tersusun rapi di tempatnya semula saat melihat pria di depannya. Sang Pak Direktur. "Ah, iya Pak. Tidak masalah, saya juga tidak hati-hati tadi." Itulah yang akhirnya keluar dari mulut Reva. Ayolah, dia masih ingin bekerja di sini. Dia tak mau bunuh diri dengan mencaci atasannya sendiri. "Kamu karyawan baru itu 'kan?" tanyanya. "I---iya Pak. Saya baru di terima kemarin," jawab Reva hati-hati. Apakah dia akan dipecat? Pikirnya. "Ah iya. Selamat bergabung. Kemarin saya tidak sempat mengucapkannya padamu," ucap Pak Direktur mengulurkan tangannya. Reva membalas uluran tangan itu dengan ragu. Ini masih termasuk sopan bukan? Dia merasa canggung berjabat tangan dengan atasannya ini. "Iya Pak. Terimakasih banyak, dan maaf soal kemarin," ucap Reva lagi. "Tidak masalah. Melin sudah menjelaskannya pada saya," jawabnya tersenyum ramah. Benar kata Melin. Bosnya ini sangat baik. Ah, berbicara tentang Melin, sepertinya Reva melupakan Melin yang masih terdiam melihat interaksi mereka berdua. "Ya sudah, saya harus pergi sekarang. Sekali lagi maaf karena menabrakmu tadi," "Iya tidak masalah Pak," jawab Reva sekali lagi. "Semangat berkerjanya. Semoga kamu betah di sini," ucapnya sedangkan Reva hanya diam tak menjawab apa-apa. Pak Direktur berjalan kearah lift dan tersenyum pada Reva sebelum pintu lift menutup aksesnya. "Ehem ehem. Pagi-pagi udah di semangatin sama Pak Bos," celetuk Melin membawa Reva ke alam sadarnya. "Eh, apaan sih Kak." Melin tertawa melihat Reva yang malu-malu. "Kayaknya si Pak Bos suka sama kamu Rev." Goda Melin lagi. "Kak Melin, udah deh. Masih pagi gak perlu bikin gosip," ucap Reva seraya berjalan ke arah meja kerjanya. Melin hanya tertawa melihat reaksi Reva. Tapi Melin tak bergurau dengan ucapannya yang satu itu. Walaupun termasuk orang yang ramah, tapi jarang sekali direkturnya itu berinteraksi dalam waktu yang cukup lama dengan karyawannya, jika tidak membahas urusan yang penting. Apalagi tadi senyumnya tak berhenti mengembang. Reva meletakkan tasnya di atas meja. Menata meja kerjanya agar terlihat rapi. Dia suka dengan posisi mejanya saat ini, berhadapan dengan kaca yang membuatnya dapat melihat suasana di luar sana. Setidaknya itu dapat membantu saat kepalanya pusing karena mengerjakan pekerjaan. Namun saat tatapannya teralih pada suasana di bawah, matanya semakin menyipit melihat objek yang sepertinya dia kenal. "Itu, bukannya cowok yang kemarin ya?" tanyanya pelan pada dirinya sendiri. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD