09| Scientist I A Cold-hearted Man

2049 Words
Makanan utama di masa ini adalah olahan gandum, Theresa lega setelah mengetahui ini. Dia sudah takut sendiri membayangkan hidup memakan ikan bakar setiap hari. Persediaan gandum di rumah Firio lumayan banyak. Menurut Thana, dia jarang memakan semua itu— lebih memilih berburu dan memakannya langsung bersama kawanannya di hutan sekitar. Malam ini, Theresa berusaha mempelajari fungsi benda-benda asing di dapur rumah ini. Meskipun semua benda terkesan sangat primitif di matanya, tapi ada teknologi aneh yang tak pernah ia lihat, seperti kompornya yang mirip kompor listrik, tapi menggunakan baterai Iron. Sebagian besar teknologi disini menggunakan baterai Iron. Ada semacam alat elektronik berbentuk kotak hitam yang terpasang di sudut-sudut tembok, tidak ada tulisan apapun di permukaannya, jadi Theresa tak bisa menebak apa fungsinya. Wanita ini terlalu fokus mempelajari benda-benda disini, termasuk lemari pendingin kecil yang ada di atas meja, isi bagian dalamnya hanyalah irisan daging yang telah terbungkus plastik bening, dan dedaunan herbal. Firio datang ke dapur, wajahnya masih datar saat mengamati tingkah Theresa mirip anak yang mempelajari hal baru. “Kau harus menyalakan penghangat ruangan sebelum aku pulang,” katanya sembari menekan tombol di kotak hitam yang ada di sudut ruangan. “Cuaca di masa ini sangat dingin, tekan tombol pada setiap penghangat ruangan berbentuk kotak begini. Kau harus menyalakannya sebelum matahari tenggelam jika tidak ingin mati kedinginan, tubuhmu pasti lemah—” tambahnya menyelidik postur tubuh Theresa yang menurutnya sekecil peri dalam dongeng. Theresa menoleh cepat. “Bisakah kau tidak datang seenak jidatmu?” “Ini rumahku, kau menumpang.” Firio melepaskan mantel luarnya, lalu melemparkan itu pada Theresa. “Masukkan itu ke keranjang kamar mandi, dan besok cucilah dengan tangan saja— karena aku malas mengajarimu mesin cuci era ini.” Theresa membuang mantel itu di lantai. Dia tertawa mengejek. “Memangnya kalian punya yang namanya mesin cu—” Ia terhenti menatap pria itu. Pemandangan depannya sangat menggoda. Firio sedang melemaskan otot tubuh yang kini terlihat jelas kalau hanya terbalut kaos tipis hitam. “Dan sekarang buatkan aku makan malam, kau pasti sudah mempelajari benda-benda di dapur ini'kan? Aku jarang makan gandum, aku kebanyakan makan daging,” katanya lagi seraya menarik pengikat rambut, membiarkannya tergerai acak kembali. Theresa masih terpaku, tubuhnya panas dingin. Kini dia sadar mengapa menyukai sosok liar ini. Terlepas dari sifat buruknya, ternyata Firio benar-benar pria sejati— lebih menantang ketimbang para model tampan yang sering ia wawancarai. Bahaya, pria ini memang sanggup menggoyahkan naluri wanitanya. Tubuh terlatih, aura maskulin, tatapan penuh pesona. Sekali lagi dia heran, mengapa orang b******k selalu kelihatan seksi? Ia menutup mulut dengan tangan. s**l, aku bisa mati kepanasan disini, pikirnya. Firio meliriknya tajam. “Kenapa kau melihatku begitu?” “Tidak— aku ingin muntah.” Theresa gugup. Akhirnya ia berenang ke permukaan, — bisa menghirup udara lagi. Memandangi Firio dengan kaos tipis saja bisa membuatnya tertegun lama, bagaimana nanti kalau tahu bagian dalam? “Muntah kenapa?” “Melihatmu.” “Maksudmu apa?” Theresa berpaling, menghindari pemandangan berbahaya barusan. “Ya sudahlah, aku— aku harus apa?” Suaranya bergetar, rasa gugup melipat ganda. “Aku bilang buatkan makan malam, daging panggang, tenang itu daging rusa, daging rusa sekarang rasanya mirip dengan sapi di masamu, ambil daging dalam ICEB— maksudku kotak pendingin itu,” kata Firio menuding pendingin yang ada di atas meja dapur, “lalu panaskan di STOVEN— maksudku kompor itu.” Ia menuding benda mirip kompor listrik tadi. “Tekan saja tombol-tombolnya seperti kau bermain ponsel.” “Oke.” Theresa mengangguk cepat. Ia mengelus dadanya yang berdebar. Itu pasti bukanlah cinta, melainkan reaksi normal seorang wanita terhadap lawan jenis yang menarik, begitulah yang ia yakini. Firio mengerutkan dahi. “Tumben sekali kau tidak protes? Padahal aku belum menghinamu.” Theresa mengambil daging dalan mesin pendingin itu, lalu menaruhnya di wadah bundar mirip aluminum, serta mencucinya di bawah pancuran air wastafel. Ia bersyukur di masa ini, cara kerja keran masih sama. “Aku tidak apa-apa,” jawabnya, “akan kupanggang daging ini untukmu.” Penasaran, Firio mendekat seraya terus memperhatikan sikap aneh wanita ini. Ia mengambil botol kaca berisi garam dari rak lemari atas, lalu menaruhnya di meja dapur itu. Matanya masih menyelidik reaksi Theresa yang tak mau menatapnya. “Kau gugup, pasti kau menyembunyikan rencana lain dariku— apa yang kau lakukan di rumah seharian ini?” tanyanya curiga. “Aku seharian mengurus kebun binatangmu.” Theresa melangkah ke samping kala didekati Firio. Firio mencengkram lengannya. sorot matanya mengatakan kalau ia curiga, takut dikhianati lagi. “Kalau kau sampai mencuri barang-barangku atau membuat kesepakatan dengan penghuni dinding s****n itu, aku akan membunuhmu.” Theresa menghela napas panjang, sadar, untuk apa menyukai orang seperti ini? Dia menghentakkan lengannya, lalu menatapnya balik. “Aku tidak ada niatan mengambil batu-batu sihirmu, aku tidak peduli! Selama kau pergi berperang dengan suku lain, aku hanya bersama Thana, mempelajari tentang para sanak saudaramu itu! Kalau tidak percaya silakan tanya sana!” Mereka bertukar pandangan beberapa detik. Mata Firio makin terpicing, sedangkan d**a Theresa makin berdebar. “Aku tidak perperang.” Firio meralat sindiran Theresa yang masih saja mengejeknya kaum primitif. “Di luar dinding ini banyak penjahat, aku hanya membasmi orang-orangnya.” Theresa kembali menatap daging yang ia cuci, lalu menyindir lagi, “terserah, Avenger, aku akan memanggang dagingmu saja, kenapa kau— tidak keluar dan—dan jangan melototiku terus.” Firio meninggalkannya dengan langkah ragu, ia juga bingung apa yang mengusik dirinya? Apakah takut Theresa yang ini akan kabur meninggalkannya lagi, mencuri lagi atau lainnya? “Aku akan mandi,” katanya lirih tanpa sadar. Dia tertegun sejenak, menyesal mengatakan itu. Untuk apa dia bersikap seperti seorang suami yang baru pulang ke rumah? Kebiasaan ini sulit dihilangkan ternyata. Theresa makin merinding. Firio pergi. Udara di luar dinding memang sangat dingin. Akan tetapi suasana di dalam rumah ini tetap hangat. Seluruh jendela sudah terkunci rapat, teknologi penghangat juga mulai bekerja maksimal. Berbeda dengan beberapa hari sebelumnya, malam ini terjadi serbuan angin dingin yang mampu membuat kusen jendela dipenuhi kristal es. “Astaga, padahal tidak hujan, juga tidak bersalju, tapi malah berkristal,” ucap Theresa mengamati kusen kayu jendela ruang tamu. Dia membawa dua porsi irisan daging panggang yang dibuat semirip mungkin dengan steak. Ia memperhatikan cuaca berkabut putih di luar. “Apa di masa ini ada musim dingin? Sebenarnya sekarang ini musim apa? Saat pagi terasa seperti musim panas, saat malam terasa seperti musim dingin.” Firio tidak menjawab. Dia sedang duduk di sofa sambil membenarkan kaca IRISproject-nya. Lensa di mata kanan itu mampu mendeteksi kerusakan luar pada sirkuit dalam kubiks. Titik-titik merah terlihat di beberapa bagian. Tangannya lihai dalam menggunakan obeng kecil, mengotak-atik area titik merah yang ditujukan lensa IRISproject-nya. Theresa menaruh piring makan mereka di atas meja, lalu bersedekap di hadapan Firio, sudah seperti seorang istri yang dihiraukan suaminya. Kali ini dia tak terpengaruh oleh hipnotis pesona tubuh pria itu yang telah segar di balik kaos coklat. “Aku sedang bertanya, Mowgli,” katanya serius. Firio melepaskan lensa IRISproject-nya, lalu menengadah ke arah wanita itu. “Oh, sudah selesai, ayo makan malam.” Theresa hendak duduk samping pria itu. “Kukira kau akan memakiku lagi, aku suka kalau tidak terlalu—” Tak nyaman dengan tubuh Theresa yang mendekat, Firio menyela, “mau apa kau?” Ia seperti ingin menendang tubuh Theresa agar menjauh dari sofanya. “Duduk.” “Kalau mau makan di sini, duduk saja di lantai, atau makan saja di kamarmu. Jangan mendekatiku, dan berpikir bisa merayuku.” “Merayu? Aku bahkan malas melihatmu!” omel Theresa terpaksa duduk di atas karpet tebal lantai. Ia menghadap piringnya yang ada di atas meja. Matanya melirik sosok Firio yang terlalu dingin, seperti binatang liar yang terluka, didekati saja sudah menggeram marah. “Apa? Jangan melirikku, aku menahan diri agar tidak membencimu, jadi jangan membuat ulah. Jangan berpikir bisa kabur, mencuri atau malah membunuhku.” “Kalau bisa kabur, aku sudah lakukan dari pagi tadi.” “Bagus, kau sadar diri kalau pasti mati di luar sana tanpa perlindunganku. Era ini berbahaya, apalagi untukmu.” Firio menyandarkan diri, menengadahkan dagu, serta memandang rendah Theresa. Raut wajahnya menyatakan sikap malas luar biasa. Perutnya lapar, sudah naluri saat kelaparan begini— sikapnya jauh lebih liar. Untuk menepis kemarahan, dia memakan daging panggang. “Aku mau disini karena ada yang ingin kubahas denganmu—” ucap Theresa lirih. “Oh, lumayan, tidak terlalu matang, lain kali lebih banyak garam untuk porsiku, aku suka garam,” komentar Firio mengacuhkannya. “Kau bisa menggunakan kompor masa ini ternyata? Kau sudah terbiasa?” Theresa menggigit daging panggangnya sendiri, tidak ada bumbu apapun kecuali garam yang ia kenali. Dia hampir menangis karena rasanya tak sesuai dengan penampilan. Sangat hambar, hanya asin saja— dan kurang empuk. “Kenapa, Nyonya? Kau rindu rasanya burger Moonie di Cedar City?” sindir Firio mengoyak dagingnya dengan rakus. “Kau tahu burger itu?” Theresa agak kaget. Dia agak ngeri melihat gigi taring Firio yang terlalu tajam. “Tentu saja aku tahu, aku pernah tinggal disana. Kita sering makan disana.” “Kalian, bukan kita,” ralat Theresa kesal, lalu bertanya lagi, “kau tinggal dimana?” “Salah satu apartemen di Dawn Street.” “Itu dekat dengan rumahku.” “Ya, aku tahu.” “Berapa lama?” “Hampir setahun, sebelum kau merayuku untuk pulang kesini—” “Bukan aku yang ini, aku yang satunya,” ralat Theresa lagi. Ia tak lelah memberikan penjelasan, “aku bukan dia, Firio, tolong jangan terlalu jahat padaku. Aku takut— kau bisa tiba-tiba melemparkan pisau kepadaku.” Firio masih tetap bersikap dingin. “Kau bukan dia, tapi tetap dia. Tapi jangan khawatir, aku belum ingin membunuhmu.” “Belum ingin?” “Siapa tahu kau mencuri lagi.” “Aku akan memohon pada Aisla untuk membawaku dua minggu lagi. Aku merasa keselamatanku terancam.” “Kau harus paham, Tomat, kalau serigala sudah dapat mangsa itu tidak mungkin dilepaskan.” Theresa tertegun, lalu mengumpatinya, “kau memang b******k, kau tahu itu?” “Ya.” Firio tersenyum palsu. “Kalau menghadapi wanita s****n, tentu saja harus begini.” “Ah, memang tak ada habisnya jika bicara dengan Tarzan.” “Apa katamu?” “Tidak. Kembali ke bahasan kita, jadi, apa kesanmu tinggal di peradaban dulu?” “Menyenangkan, tidak ada pertikaian, tidak ada kanibalisme, tapi udaranya kotor, dan aku tidak suka melihat binatang dikurung dalam sebuah area dan dinamakan kebun binatang, disini semuanya bebas, dan manusia memang tak perlu mencari uang dengan mempertontonkan binatang.” “Oh, sebentar, apa disini ada sistem pembayaran yang disebut uang.” “Tentu saja, kau kira bagaimana caranya membeli sesuatu?” “Barter, kalian'kan primitif.” “Disini ada uang.” “Bagaimana caramu dapat yang kalau cuma keluyuran dengan serigala?” Firio memberikan tatapan tajam, dingin, muak, tapi juga cinta. Ia tak bersuara selama beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, “asal kau tahu saja, suamimu ini juga seorang geolog, distrik ini memiliki tambang batuan kaya, kami pemasok batuan itu ke distrik lain— yang berani membayar tinggi.” “Oh pantas kalian protektif sekali terhadap wilayah—” Theresa paham, tapi kemudian kaget, ada kalimat salah barusan terlontar daru bibir pria buas ini. “Kau bilang 'suamimu'? Kau bukan suamiku.” Dengan santainya, Firio memberi alasan, “salah ucap. Wajar saja, kau memang punya wajah, tubuh dan bau si kepala tomat itu, aku spontan mengatakanya.” “Tomat terus.” Theresa tersenyum sebal. “Terserah kau saja, Mowgli.” “Setiap kali kita b******a, rambutmu yang tergerai berantakan di sekitar kepalamu, membuatmu terlihat seperti buah tomat—” Firio sama sekali tak malu saat mengatakan hal semacam ini. “Aku selalu ingin mengatakan itu, tapi dulu aku takut kau marah.” Kepala Theresa terasa mendidih. Bukan hanya malu sendiri, tapi ucapan barusan terlalu memuakkan. “Berhenti menggunakan kata-mu! ganti kata dengan -nya! Rambutnya, kepalanya, membuatnya, Karena aku bukan dia!” “Ah sudahlah, Tomat, kau bilang mau bicara cepat bicaralah, aku harus keluar sebentar lagi untuk memasang CENSpro modifikasiku di sekitar wilayah ini.” “Ya, ini penting, kapan kau mulai meneliti mesin LYNX agar aku bisa pulang?” Firio malah berdiri, mengambil mantel hitam di balik pintu depan, memakainya, lalu membuka pintu, membiarkan udara dingin masuk sesaat. “Kalau aku ingin,” jawabnya singkat. Pintu pun ditutup. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD