Dara Aulia

1004 Words
Gadis itu bersemangat sekali untuk memasuki sekolah barunya. Dialah Dara Aulia, gadis berusia 16 tahun yang baru saja lulus dari bangku menengah pertama. Dara adalah sosok gadis yang periang dan mempunyai banyak teman. Dengan paras yang cantik, banyak pemuda yang tertarik padanya. Namun, gadis itu selalu menolak pernyataan cinta dari cowok yang mendekatinya. Alasannya sama ia hanya ingin belajar dengan giat. Semasa SMP, ia bahkan tak segan untuk menolak cinta senior tampan yang merupakan ketua OSIS di sekolahnya. Gadis itu hanya tahu berteman dan belajar. Sampai-sampai semua orang menjulukinya dengan sebutan kutu buku. Dara tak pernah mengenal yang namanya jatuh cinta. Menurutnya, terlalu awal untuk mengenal cinta. Sedangkan dirinya masih sepenuhnya bergantung pada mama dan papanya. Dara adalah gadis manis yang berprestasi dan mandiri. Ia selalu menjadi bintang kelas. Walaupun ia anak tunggal, tak pernah ia bersikap manja pada kedua orang tuanya. Dara tak mempermasalahkan julukan untuk dirinya. Karena baginya yang terpenting adalah ia mempunyai Risa Aulia, sahabatnya yang paling dekat. Nama belakang mereka yang sama membuat orang mengira mereka kembar. Karena wajah mereka sedikit ada kemiripan dan selalu bersama-sama. Sejak kelas satu SMP, mereka menjadi dekat. Selalu sekelas dan duduk sebangku. Dan kini, mereka masuk ke SMA yang sama dan duduk di kelas yang sama lagi. Keduanya bahagia karena semakin dekat dan lengket. Dara dan Risa saling menyayangi selayaknya saudara. "Risa ... seneng banget bisa sekelas dan sebangku sama kamu lagi," ucap Dara bahagia. Akhirnya mereka bisa satu sekolah lagi. Karena awalnya Risa pesimis dengan nilai yang dimilikinya. Karena sekolah elit dan favorit tempat mereka belajar itu menerima muridnya dengan sistem persaingan nilai. "Iya Ra. Aku juga seneng banget." Keduanya berpelukan bahagia mengabaikan seisi kelas yang menatap risih ke arah keduanya. Pemandangan yang sangat biasa. Karena sikap mereka yang terlalu mesra, sering kali menimbulkan pikiran negatif orang-orang di sekitar. "Sudah ah Ra. Banyak yang melihat kita," ucap Risa jengah karena menjadi pusat perhatian teman-teman barunya. "Lhah? Kenapa? Biar saja mereka melihat. Mata, mata mereka sendiri juga!" "Ra! Kamu ingin aku selamanya nggak laku dan jadi jomlo akut?" ucap Risa pura-pura cemberut. "Jadi kamu sudah berpikir untuk pacaran dan sudah siap meninggalkan aku menjomlo sendiri? Okay ... fine ... Jika ada ulangan matematika buat sendiri! Tak ada bantuan gratis lagi," ucap Dara pura-pura marah. Padahal semua hanya ancaman belaka. "Hehehe, enggak deh Ra. Jangan marah ya? Bercanda ...," ucap Risa merayu Dara. "Huuu ...dasar!" Hingga akhirnya keduanya bercanda lagi dan tertawa bahagia. Mereka memang terbiasa saling bercanda dan mengejek satu sama lain. "Lo bener yang namanya Dara, kan?" tanya seorang wanita berambut ikal menyerahkan kertas berwarna pink yang sudah dilipat sedemikian rupa pada Dara. Membuat gurauan kedua gadis itu terhenti. "Iya, ini apa?" tanya Dara pura-pura heran. "Surat buat Lo." "Dari?" tanya Dara mengernyitkan keningnya. Dara dapat menebak, apakah isi dari surat itu. Karena bukan sekali dua ia mendapatkan benda yang sama. "Baca saja sendiri. Ya sudah, yang penting gue sudah menyampaikan surat itu. Gue mau kembali ke kelas," ucap gadis itu pergi meninggalkan Dara dan kembali ke kelasnya. Dara heran bagaimana gadis tadi bisa mengenalnya dan bahkan tahu kelasnya. Sedangkan dirinya hanya mengenal Risa dan beberapa teman sekelasnya. "Buka! Buka! Buka!" Risa bertepuk-tepuk seperti anak kecil. Dara saja yang mendapatkan surat berwarna pink acuh tak acuh, tapi malah Risa yang bersemangat. "Ih males!" Dara meremas surat itu dan bersiap untuk melempar ke keranjang sampah. "Eh, tunggu Ra! Kamu kan belum membacanya? Surat itu dari siapa? Isinya apa? Baca dulu dong! Siapa tahu penting," ucap Risa mengambil surat yang sudah lecek dari tangan Dara. "Risa Aulia ... tiga tahun kamu selalu bersama Dara Aulia yang cantik jelita ini. Apakah sudah pernah ada surat berwarna pink yang aku terima yang isinya penting?" tanya Dara gemas. Risa hanya cengar-cengir. "Sudah deh ah. Buang saja! Nggak penting." "No! Ini surat pertama yang kamu terima di sekolah ini. Aku mau baca dong. Kalau perlu aku simpan, buat bahan ejekan nanti. Hahahaha," ucap Risa tertawa. "Awas saja kalau berani mengejek! Aku akan pecat kamu dari posisi sahabat aku!" ancam Dara. "Iya Nyonya bawel. Sudah, aku mau baca dulu," Risa membuka lipatan kertas lusuh itu dan mulai membaca. "OMG!! Wow ... fantastic!" ucap gadis itu lebai. Mulutnya masih komat-kamit membaca surat itu dengan serius. "Issshhh ... Lebai banget sih Ris! Kayak dapat surat dari mamas kurir La***a yang ganteng itu saja!" ucap Dara asal. "Ini mah lebih ganteng dari mamas kurir Ra. Dapat durian nomplok ini mah." "Apaan sih? Terus dari siapa? Pak satpam? Atau abang tukang kebun?" tanya Dara ngawur. "Ini bocah ya. Malah membandingkan abang tampan pengirim surat dengan Pak satpam apalagi tukang kebun. Yang mengirim surat ini kak Bobby, Ra. Mujur hidup kamu Ra." Risa masih sibuk melanjutkan membaca surat. "Emangnya siapa sih dia, Ris?" ucap Dara acuh tak acuh. "Ya Tuhan ... ni orang emang nggak gaul banget ya? Ra! Kamu sebenarnya ikut acara MOS nggak sih kemarin?" tanya Risa tak percaya sahabatnya seacuh itu hingga tak tahu sosok Bobby yang menjadi pusat perhatian seluruh cewek di sekolah itu. "Ya ikut! Kan sudah peraturan sekolah yang mewajibkan anak baru mengikuti Masa Orientasi Siswa," ucap Dara menegaskan. "Terus, kenapa kamu bisa nggak kenal sama Kak Bobby?" tanya Risa kesal. "Ya apa hubungannya coba Ris. Antara MOS dan Kak Bobby? Aneh deh." "Emang teman aku satu ini harus diceburin ke telaga dulu kali ya? Biar otaknya bening." "Coba saja kalau berani." "Masa kamu nggak tahu Ra? Kak Bobby kan idola di sekolah ini. Ganteng, pinter, ketua OSIS, emmm anak ketua yayasan lagi." "Oh ... jadi ini yang kamu maksud aku mujur?" tanya Dara seolah tak peduli. "Iyalah Ra. Tunggu apa lagi? Terima Ra! Terima cinta Kak Bobby," bujuk Risa. "Enggak!" Jawaban Dara membuat Risa kesal. "Kenapa?" tanya Risa bersungut-sungut. Menurut Risa ini adalah kesempatan terbaik. Sayang, sahabatnya itu lagi-lagi menolak. "Risa sayang ... Dara belum mau main cinta-cintaan. Karena Dara belum bisa cari uang sendiri. Apa-apa masih bergantung sama Mama dan Papa. Em, lebih baik kita fokus belajar deh Ris. Ukir prestasi yang bisa membanggakan orang tua kita." "Iya, iya deh," ucap Risa kesal. Terlalu sering Dara melewatkan cinta datang kepadanya. Hingga Risa tak yakin apakah sahabatnya itu juga merasakan masa puber seperti dirinya juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD