"Al ..." Aku bergumam sendiri
Aku tahu aku salah menggumamkan namanya saat aku sudah berstatus sebagai istri dari pria lain. Tapi apa salahnya? Alfath adalah sahabatku. Aku hanya rindu mengundang, rindu lawakan garingnya. Apa aku senang? Entahlah dulu mungkin pernah, tapi aku selalu menyangkal perasaanku karena aku tidak mau persahabatan kami hancur.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengambil ponsel ku lalu membuka aplikasi chat dan mengetik pesan untuk Alfath.
Sinta Almeria: Terimakasih Al.. :')
Send
Tak ada balasan dari Alfath. hhhh, cukup lengkap memang tapi tak apa aku sudah mengiriminya pesan.
Aku terus melihat kolom percakapan, tetapi tidak ada reaksi apapun darinya, hanya memeriksa dua abu-abu yang berarti pesan itu hanya disampaikan tanpa di baca juga dibalasnya.
"Hhhhh" lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas.
Saat ini aku hanya bisa duduk di depan meja rias tanpa melakukan apapun. Di dalam ruangan di rumah besar yang hanya di huni oleh dua orang manusia.
Ya, kalian benar. Dua hari yang lalu saya sudah pindah ke rumah Dave yang besar dan sangat megah. Megah dalam artian sebenarnya, tapi sepertinya rumah sederhana yang penuh dengan manusia itu lebih menyenangkan dari pada diam di rumah mewah yang tanpa penghuni seperti ini. Tanpa pembantu, tanpa supir, tanpa tukang kebun, hhhhh aku sangat kesepian di sini, ditambah lagi dengan Dave yang bekerja dan akan kembali saat malam hari.
Aku terpaksa tombol power ponsel ku saat layarnya mati. Aku kembali membuka aplikasi chat dan membuka kolom percakapan dengan Alfath. Masih tak ada reaksi darinya. Tapi tunggu, tanda centangnya sudah berubah menjadi berwarna biru. Itu artinya Alfath sudah membacanya bukan? Tapi Alfath tidak membalasnya.
Aku kecewa Apa ini artinya Alfath? Apa dia tidak mau lagi berteman dengan ku? Aku tidak tahu harus berusaha apa, dadaku sibuk.
Aku memilih meletakkan kepalaku di atas meja, dan melewati ponselku. Mataku hampir membuka jika saja ponselku tidak bergetar dan membuatku akhirnya harus membuka mata. Saya melihat layar ponsel yang diaktifkan dan menampilkan kolom percakapan dengan Alfath. Kupikir adalah balasan terbukti tidak. Tapi, aku senang melihat apa yang baru kulihat di kolom percakapan.
Alfath Firmansyah
Sedang mengetik ....
Aku tersenyum membuka, ternyata Alfath mau membalas pesanku.
Satu menit ....
Tiga menit ...
Lima menit ...
Sepuluh menit ...
Masih tidak ada balasan, padahal jelas-jelas Alfath sedang menulis pesan.
Ting tong
Bel rumah berbunyi nyaring.
"Itu pasti Dave" aku buru-buru bangkit dan berlari pergi ke lantai bawah. Membuka kunci pintu lalu membuka pintunya lebar-lebar.
Aku tersenyum, ternyata itu benar Dave. Dia terlihat lelah dengan kemeja yang terlihat kusut, tapi anehnya dia tetap tampan. Tak adil bukan?
"Dave, ini tasnya" aku mengambil tas kerja Dave lalu mengambilnya di atas meja tamu.
"Terimakasih" Dave berucap sambil mengusap kepalaku. Dia duduk di sofa dengan tangan yang sibuk melonggarkan dasi.
"Apa kamu ingin aku buatkan teh hangat?" Tanyaku menantang.
Dave terlihat berpikir, sebelum akhirnya dia mengangguk.
"Emmm Sinta." Panggil Dave saat aku baru saja beberapa langkah menuju dapur.
"Ya?"
"Kalau boleh antarkan tehnya ke kamar saja ya, aku mau mandi dulu"
"diizinkan" jawabku.
Dave tersenyum tipis lalu bangkit bangkit dan menuju kamar yang ada di lantai dua.
*****
"Sedang apa?" Tanya Dave saat dia baru selesai mandi.
Dave mengambil gelas berisi teh hijau yang diletakkan Sinta diatas nakas lalu meneguknya sampai tuntas.
"Sedang nonton flm kartun" jawab Sinta yang tengah telungkup di atas sambil menatap layar laptopnya.
"Apa judulnya?"
"The Boss Baby" Sinta menjawab dengan antusias.
David hanya ber-oh ria lalu beralih menatap layar laptop. Saat pertama kali flm dimulai, Sinta sudah tertawa melihat setiap adegan bayi yang karakternya sangat songong itu. David juga ikut tersenyum, tetapi dia tidak tersenyum karena melihat kekonyolan tokoh di flm yang ditontonnya tengah, memuji dia tersenyum karena melihat Sinta tertawa bahagia.
Cantik. Gumam David dalam David.
"Uluh gemesnya" ucap Sinta tiba-tiba.
Merasa penasaran, David pun melihat apa yang sebenarnya Sinta panggil gemas dan ternyata itu hanyalah adegan bayi yang sedang memainkan mainannya.
"Aku bisa membuat bayi yang lebih lucu dari itu jika kamu mau" David berucap dengan entengnya. Sinta langsung berdiam diri menatap David dengan mata yang melebar.