Prolog

3228 Words
Terdengar suara riuh rendah dari kelas XI MIPA 2. Bel masuk sudah berbunyi, semua anak masuk ke dalam kelas. Belum ada guru yang datang ke kelas XI MIPA 2. Seluruh siswa masih duduk berpencar, berkumpul bersama teman yang lainnya. “Tumben nih bu Rani lama banget,” gumam Shakila. “Ini gak ada yang mau panggil bu Rani?” tanyanya. “Ih jangan deh, biarin aja. Jarang- jarang toh bu Rani datang telat begini,” bantah Kalila. Rena mengangguk setuju. “Biarin aja deh, tunggu aja satu jam pelajaran habis gitu. Baru juga 10 menit Kil,” ujar Rena. Shakila akhirnya memilih mengalah. “Eh eh denger denger nih ya, katanya ada anak baru ya di angkatan kita?” tanya Kiran yang nimbrung. “Heh beneran? Pertengahan semester gini?” tanya Kalila lagi. Kiran mengangguk. “Iya, katanya sih pindahan dari jauh,” jawab Kiran. “Terus terus terus, katanya anaknya cakep loh!” timpal Kiran. “Beneran? Anak barunya cewek cakep?” tanya Anton yang tiba- tiba nimbrung. “Dih apaan sih Nton. Semangat banget lu begitu denger yang cakep,” gerutu Kalila. “Yaelah, kamu juga semangat toh, denger yang cakep- cakep?” tanya Anton. Kalila nyengir lebar. “Ya, belum tau sih cewek atau cowok. Tapi denger- denger sih cakep,” jawab Kiran. Pintu kelas terbuka lebar. Bu Rani berdiri di depan pintu kelas sambil menenteng buku pelajaran. “Semuanya kembali ke tempat duduk,” perintah bu Rani. Semua langsung menuruti. Mereka duduk rapi di tempatnya masing- masing. Bu Rani melangkah masuk ke dalam kelas. Kelas hening, hanya terdengar tapak sepatu hak yang bu Rani kenakan. Bu Rani menaruh bukunya ke atas meja. “Selamat pagi anak- anak,” salam bu Rani. “Selamat pagi bu,” jawab sekelas serempak. “Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, ibu ada sedikit pengumuman.” Bu Rani berjalan ke tengah. Ia mengamati seluruh muridnya dengan seksama. “Hari ini, kalian akan kedatangan teman baru. Dia datang dari jauh, jadi ibu harap kalian yang baik dengannya. Oke kalau begitu, ibu izin sebentar untuk panggilkan teman kalian.” Bu Rani melangkah keluar kelar. Kelas mulai riuh begitu bu Rani keluar. Bu Rani melongokkan kepalanya. “Jangan ribut. Saya balik 10 menit lagi,” pinta bu Rani. Kelas kembali hening. Tak ada satupun yang berani membantah bu Rani. Bu Rani kembali keluar kelas. Benar saja, tak lama bu Rani sudah kembali ke kelas bersama dengan seorang anak laki- laki yang mengikuti di belakangnya. Murid perempuan terpana melihat ketampanan anak laki- laki itu, sedangkan murid laki- laki mendecik kesal. Anak pindahannya bukan anak perempuan cakep seperti yang mereka harapkan. Terdengar kembali suara riuh rendah di kelas. “Yak perhatian semuanya!” pinta bu Rani. Sekelas langsung hening. “Ini teman baru kalian. Silakan nak, kamu perkenalkan diri,” perintah bu Rani pada anak baru itu. Anak baru itu mengangguk. “Ehm .. perkenalkan, nama saya Novan Andriansyah, panggil saja Novan. Saya pindahan dari Jawa. Salam kenal semuanya.” Novan memperkenalkan dirinya. Suaranya yang ngebass berhasil membius anak- anak perempuan di kelas. “Baik nak Novan. Ada beberapa kursi kosong di kelas ini. Silakan kamu pilih sesukamu,” perintah bu Rani sambil menunjuk ke bagian belakang kelas. Ada 3 bangku kosong di sana. Novan mengangguk dan berjalan menuju salah satu kursi yang ada. Anak- anak perempuan menunggu dengan harap cemas. Mereka merapikan rambut dan baju mereka, berusaha mencari perhatian. Tapi sang target malah tidak perduli sama sekali. Akhirnya Novan menjatuhkan tasnya di kursi paling pojok dekat jendela, dimana hanya seorang saja yang duduk di sana. Anak perempuan sekelas melongo. Pupus sudah harapan mereka untuk duduk sebangku dengan anak baru yang ganteng itu. “Oke baik. Novan sudah duduk di tempatnya. Sekarang kita lanjutkan pelajaran. Semuanya buka buku halaman 90!” **** Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Bu Rani yang masih menuliskan materi di papan tulis menghentikan kegiatannya. Ia membereskan buku- bukunya di meja. “Oke baiklah. Karena jamnya sudah habis, pelajaran kita sampai di sini dulu. Silakan kalian catat ini materi yang ada di papan tulis ya. Jika ada yang tak di mengerti silakan kalian datang saja ke meja saya di kantor,” pinta bu Rani. Ia menenteng bukunya dan berjalan keluar kelas. “Saya pamit dulu. Baik- baiklah dengan teman baru kalian. Permisi.” Bu Rani pergi keluar meninggalkan kelas. Setelah suara sepatu hak bu Rani tidak lagi terdengar, beberapa anak mengerumuni meja Novan. Anak baru yang satu ini memang menarik banyak pasang mata. “Hei, kamu pindahan dari sekolah mana?” tanya Kalila. Novan tidak mengubris pertanyaan Kalila. Kalila menelan ludah. “Hei kenalan yuk, namaku Shakila. Salam kenal.” Shakila mengulurkan jabatan tangannya. Novan hanya meliriknya sebentar kemudian mengangguk. Ia memalingkan wajahnya. “Novan,” jawabnya singkat dan padat. Shakila menelan ludah dan menurunkan tangannya. Novan bersikap dingin pada siapapun yang mencoba berkenalan dengannya. Mereka tidak tahu, dan tidak sadar kalau sedari tadi Novan sudah keringat dingin. Jantungnya berdebar kencang. Ia menaruh tangannya di laci, berusaha menyembunyikan tremor. Kenapa semua anak perempuan sih yang ajak kenalan? Gerutu Novan dalam hati. Ia berusaha terlihat tenang walau sebenarnya ia nyaris sesak napas. Ia menatap tajam setiap anak yang mendekati mejanya. Kode keras kalau ia tak ingin di ganggu. Melihat tatapan tajam Novan, mereka mundur satu persatu dan kembali ke tempat duduknya. Guru pelajaran berikutnya sudah datang. Novan menghela napas lega. Akhirnya, dia bebas dari mereka untuk sementara wakyu. *** Jam istirahat telah tiba. Termyata anak perempuan di kelas ini tidak kapok. Meski sudah di kacangin dan di tatap tajam pula oleh Novan, mereka tetap ingin berkenalan dengannya. Yapi mereka sedikit terlambat karena Andi, si ketua kelas duluan menghampiri mejanya. “Oi bro. Aku Andi, ketua kelas di sini.” Andi mengulurkan jabatan tangan. Novan membalas jabatannya. “Dan aku di suruh sama wali kelas kita untuk ajak kamu keliling lingkungan sekolah. Yah biar gak nyasarlah,” jelas Andi. Novan mangut- mangut. “Yaudah sekarang aja, keburu waktu istirahat habis,” ajak Novan. Ia menarik Andi keluar dari kerumunan di mejanya. Mereka keluar kelas dengan langkah terburu- buru. Mereka baru berhenti di lorong kelas. “Kenapa kok buru- buru banget?” tanya Andi. Novan menoleh ke belakang dan menghela napas lega saat melihat tak ada yang mengikuti mereka. “Ah, gak apa. Aku males aja di kerumuni begitu,” jawab Novan. “Hah? Harusnya enak dong ya di kelilingi sama cewek- cewek,” timpal Andi. “Kamu aja, aku engga. Pengap. Mana pada berisik lagi,” tolak Novan. “Hidih, malah aku pengen deh di kejar- kejar cewek begitu. Udah 16 tahun hidup tapi masih aja jomblo, sedih banget hidup,” gerutu Andi. “Yah apa beda sih,” gumam Novan pelan, tapi cukup terdengar oleh Andi yang duduk di sebelahnya. Ia menoleh ke arah Novan dan membelakkan mata. “Ah masa? Bohong kau kan? Cakep kek gini banyaklah yang mau,” tanya Andi tak percaya. Ia meninju pelan pundak Novan. “Kagak. Bener. Buset dah, aku bukan playboy!” gerutu Novan. Ah, sering kali dia di kira playboy hanya karena tampangnya. Padahal dia sendiri tidak mau dekat dengan perempuan. Ia selalu gugup saat bertemu dengan perempuan. “Eh kantin mana? Kantin ajalah dulu yuk, lapar!” ajak Novan. “Traktir gak? Kalo gak traktir gamau nih ya,” tawar Andi. “Halah, beres itulah. Ayolah cepet ke kantin, keburu habis waktu istirahat!” ujar Novan tak sabar. “Wih mantep. Gini nih baru anak baek. Ayoklah ayok!” Andi merangkul bahu Novan. “Ke kantin!” **** Novan melongo sesampai di kantin. Bukan, bukan karena kantin ramai. Tapi karena Andi yang sangat tidak tahu diri dengan kalap jajan sana sini hingga meja penuh dengan makanan. Novan mengecek dompetnya dan menghela napas lega. Sepertinya uang jajannya masih di ambang aman. “Ini bener kan kau bayar semua bro?” tanya Andi ragu. “Iya dah iya, udah keburu janji juga,” jawab Novan malas. Andi nyengir lebar. “Hehehe … thanks bro!” Andi memakan semangkuk siomay dengan lahap. Novan geleng- geleng kepala melihatnya. Ia sendiri hanya memesan es teh manis dan pentol. “Kamu mesen itu aja?” Tanya Andi di sela kunyah. Novan mengangguk sambil mengunyah pentol. Pedas juga. “Duh aku jadi gak enak nih, pesen banyak sendiri,” ujar Andi. “Tau diri juga kamu ya,” gumam Novan pelan. “Ya udah sih, makan aja. Gak apa kok,” balas Novan. Yah sudahlah, tak apa untuk teman barunya ini, wujud rasa terimakasih juga karena sudah ajak dia keluar dari gerombolan wanita tadi. “Tadi rame banget yang ajak kamu kenalan. Famous juga kamu ya,” ujar Andi. “Mana cewek semua lagi. Kamu apa gak minat kenalan sama mereka?” tanyanya. Novan mengeleng. “Gak, gak minat. Kamu aja,” jawab Novan. Andi melongo dan menatap Novan lamat- lamat. “Hah? Kenapa? Itu cewek- cewek semua loh yang minta kenalan sama kamu. Dih kalo aku ya, udah aku samperin aja satu persatu, senang hati kenalan,” ujar Andi. “Ya, yaudah kamu aja yang kenalan sama mereka,” timpal Novan. “Ya tapi kan aku udah kenal semua sama mereka. Mereka terus yang aku liat tiap hari,” gerutu Andi. “Maunya sih ya, di ajak kenalan gitu ama yang lain, kayak yang itu tuh, tuh di belakang kamu arah jam 6.” Andi menunjuk ke belakang Novan. Novan menoleh. Ada 3 orang cewek cantik sedang berjalan memasuki kantin. Kedatangan mereka membuat semua mata siswa terpana. Saat mereka mengibaskan rambutnya, mereka ketar- ketir. Terpana bukan main memang melihat kecantikan ketiga cewek itu. Tapi tidak dengan Novan. Ia langsung balik badan dan menunduk. Sekuat tenaga ia menahan agar tidak gemetaran. “Gils, cakep banget ga sih mereka?” Tanya Andi dengan mata berbinar. Novan mengangguk. Iya, saking cantiknya jadi terlihat mengerikan di matanya. “Mereka itu geng The Mean Girls. Anak perempuan paling famous dan paling berpengaruh di sekolah ini. Mereka semua anak OSIS dan orangtua mereka juga donator sekolah ini, dan lagi mereka juga pintar. Bener- bener sempurna!” Andi menceritakan tentang ketiga cewek tadi. Novan hanya mangut- mangut. “Tuh tuh, lu liat tuh. Tuh itu yang rambutnya kecoklatan gitu, yang paling putih banget di antara mereka tuh, tengok tuh Nov!” Andi menunjuk ke arah ketiga cewek tadi. Novan tetap menunduk. “Ck kamu liat dulu itu!” Andi mengarahkan wajah Novan ke arah ketiga cewek tadi. Mereka sedang memesan makanan. Novan menelan ludah. “Tuh, tuh yang itu tuh, yang kayak bule, namanya Sarah. Sarah Claryson, gitu deh. Katanya dia emang ada keturunan bule dari bapaknya. Dia anggota OSIS, tuh keluarga dia kaya banget gila. Bapaknya punya perusahaan grup gitu deh, terus bapaknya juga donator sekolah ini.” “Terus di sebelahnya, yang rambutnya hitam lurus dan agak sipit itu, nah dia itu. Namanya Lili, Liliana Thalita. Dia chindo, orangtuanya punya toko emas di kota. Udah ada cabangnya dimana- mana. Dia selebgram loh, followersnya hampir sejuta katanya. Kamu gak tau dia?” Tanya Andi. Novan mengeleng. “Aku gak punya **,” jawab Novan. Andi melongo. “Hah? Yang bener aja lu! Jaman sekarang kagak punya **? Baru keluar dari gua mana lu hah?” Tanya Andi tak percaya. “Emang harus banget ya punya **?” Tanya Novan balik. Dia sama sekali tidak tertarik dengan sosmed yang satu itu. Dia juga tidak tertarik untuk punya sosmed apapun selain twitter. Andi makin melongo dan geleng- geleng kepala. “Hadeh, dahal kalo lu punya ** bakal jadi selebgram juga kayaknya,” gumam Andi. “Gak minat,” balas Novan. “Makan gih, nanti keburu bel masuk.” “Oh iya! Aku lupa!” Andi kembali makan dengan lahap. Novan hanya bisa geleng- geleng kepala melihat porsi makan temannya ini. Andi cocok ikutan lomba mukbang dan dia yakin Andi bisa menang. Lihatlah, dengan porsi sebanyak itu dia bisa menghabiskan semuanya tanpa sisa. Piringnya sangat bersih, saking bersihnya seperti tidak ada bekas makanan apapun di sana. Andi duduk berselonjor di dinding sambil memegang perutnya. Novan berdecak kagum dengan nafsu makan Andi. “Ckckck, gila banget emang nih anak. Bisa habis semua bersih kinclong tanpa sisa tak bernoda di piring,” gumam Novan. Andi nyengir lebar. “Tapi sebenarnya ini masih agak lapar sih …” Gumam Andi. Novan melongo. Masih agak lapar? Setelah dia menghabiskan 8 piring jajanan kantin? Gila sih ini anak. Padahal badannya kurus, tapi makannya kayak pesumo. Bel tanda jam pelajaran di mulai berbunyi. Semua anak bangkit dan berbondong- bondong meninggalkan kantin. “Yuk balik. Jam selanjutnya pak Fadil, susah nanti kalo kena semprot,” ajak Andi. “Oke yuk.” **** Lorong kelas masih ramai dengan murid- murid yang duduk di depan kelas. Belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Banyak pasang mata melirik saat Novan dan Andi menyusuri lorong. Tentu saja mereka menatap Novan yang tampan. Merasa risih dengan banyak pasang mata yang menatap, Novan memilih untuk berjalan di belakang Andi/ “Wih, gak pernah aku di tatapin kayak gini kalo jalan,” gumam Andi bangga. “Iya iya jangan natap aku lagi lah, malu tau. Tau kok tau aku kalo aku ganteng!” Andi mengibas rambutnya dengan penuh percaya diri. “Dih pede banget kau Ndi! Yang ganteng bukan kau, tapi itu yang di belakang kau!” Timpal seorang cewek di depan kelas XI IPS 3. Andi memanyunkan bibirnya. “Ren, iya Ren kamu pasti malu kan buat ngaku kalo aku tuh ganteng? Iya iya aku tau kok Ren, gak usah malu gitulah,” ujar Andi. Ia hendak mendekatkan dirinya ke cewek itu, tapi cewek itu keburu menghindar. “Ndi aku tampol kau ya kalo kau mendekat!” Ancam cewek itu. Andi nyengir lebar. “Galak amat jadi cewek,” gumam Andi, lalu menjauh dari cewek itu. Andi menatapku dari atas hingga bawah. “Ndi kenalan dong ama yang di belakang kamu itu. Siapa dia sih?” Tanya seorang cewek lain di sana. “Oh dia? Dia anak baru di kelas aku. Kamu mau kenalan gak sama mereka?” Tanya Andi pada Novan sambil menunjuk ke sekumpulan cewek di depan kelas XI IIS 3. Novan mengeleng kuat. “Gak Ndi, lain kali aja. Balik kelas ajalah yuk, nanti masuk guru berabe,” tolak Novan. “Tuh, gamau. Gak minat dia ama kalian. Kalo kenalan ama aku aja mau gak?” Andi mendekati kumpulan cewek tersebut. Ia kembali mengibaskan rambutnya di depan mereka. Seorang cewek malah menjitak kepala Andi. Andi meringis kesakitan. “Udah di ingetin ya tadi Ndi, jangan deket- deket!” Ujar cewek itu. Andi berdecik. “Ck, kasar banget sih kau Karen! Susah dapat cowok nanti!” Gerutu Andi. “Biarin! Aku independent woman!” Ujar cewek bernama Karen itu dengan bangganya. Novan jalan lebih dulu, meninggalkan Andi yang malah adu mulut dengan cewek di kelas XI IIS 3 itu. Novan menundukkan kepalanya sepanjang jalan, berusaha menghindari kontak mata dengan siapapun yang menatapnya. Novan jalan tanpa memperhatikan sekeliling dan tanpa sengaja, ia menabrak seseorang di depannya. Ia memegang kepalanya yang tidak sengaja menyeruduk punggung seseorang di depannya. “Maaf maaf aku gak seng …” Novan mendongakkan kepalanya. Napasnya tercekat saat melihat seseorang di depannya. Cewek berambut kecoklatan yang baru saja di beritahu oleh Andi di kantin tadi. Cewek itu membalikkan badannya. Benar, dia Sarah! “Makanya lain kali liat …” Belum juga dia menyelesaikan perkataannya, ia terdiam melihat ketampanan Novan. Ia melongo sesaat dan melirik Novan dari atas hingga bawah. Novan menggengam tangannya, keringat dingin mengucuri badannya. “Oh iya gak apa, aku juga minta maaf karena jalan seenaknya aja,” ujar Sarah. Ia menyinggungkan senyum manis. Novan menelan ludah. Keringat dingin semakin deras mengucur. “Aku belum pernah lihat kamu deh. Kamu anak baru ya? Dari kelas mana?” Tanya Sarah. Novan mengangguk dan menyinggungkan senyum canggung. Sarah mengulurkan jabatan tangan. Novan tidak membalas jabatan tangan itu. Andi keburu menghampiri mereka dan membalas jabatan tangan itu. “Oh ya, kenalin. Aku Andi, kelas XI MIPA 2.” Andi memperkenalkan diri. Ia menyinggungkan senyum lebar. Sarah menatapnya dengan tatapan jijik dan buru- buru menarik tangannya. “Ah iya, hehehe … iya Andi …” Ujar Sarah. Sarah nyengir lebar. Ia mengelap tangannya dengan baju seragamnya. “Itu teman kamu?” Tanya Sarah sambil menunjuk Novan. Andi mengangguk dan merangkul Novan. “Oh iya, dia anak baru di kelas aku. Namanya Novan!” Andi memperkenalkan Novan pada Sarah. Sarah menyinggungkan senyum manis dan mangut- mangut. “Hem, namanya ganteng sama kayak orangnya,” puji Sarah. Novan menelan ludah. Tolong siapapun, bawa aku pergi dari sini! Gumam Novan dalam hati. Kepalanya sudah mulai pusing berat. Sekuat tenaga Novan menahan tubuhnya yang gemetaran. Dua orang cewek menghampiri mereka. Novan makin tercekat. Keduanya cantik dan dia ingat, mereka berdua adalah sahabatnya Sarah, anggota ‘The Mean Girls’ yang popular di sekolah. “Sar kamu ngapain di sini? Aku cariin dimana- mana!” Tanya salah satu cewek bermata sipit dengan wajah china yang oriental. “Ah sori gais. Aku tadi di panggil bu Wulan,” jawab Sarah. “Mereka siapa?” Tanya salah seorang cewek berambut sebahu sambil menunjuk Novan dan Andi. Andi menatap mereka dengan mata berbinar. Ia tidak menyangka bisa berkenalan dengan Sarah, bahkan di kelilingi oleh The Mean Girls. “Oh, ini anak kelas XI MIPA 2. Ini yang dekil ini namanya Andi, dan yang ganteng ini namanya Novan ..” Sarah memperkenalkan Novan dan Andi. Andi melambaikan tangan pada mereka berdua. “Oh, kamu Andi ketua kelas XI MIPA 2 bukan?” Tanya cewek berambut sebahu. Andi mengangguk dengan semangat. Dia senang bukan main, tidka menyangka salah satu anggota ‘The Mean Girls’ kenal dirinya. “Ini yang ganteng kok asing ya, baru lihat ada yang ganteng begini,” gumam Lili sambil menatap Novan lamat- lamat. Novan memundurkan sedikit badannya, berusaha menghindari kontak dengan mereka. “Oh, dia anak baru, katanya.” Sarah memberitahu. Lili mangut- mangut. “Kamu udah kenalan dengan mereka ya Sar?” Tanya Lili. “Sama si tampan ini belum. Dia gak mau di ajak kenalan,” jawab Sarah sambil menujuk Novan. “Lah, kok gitu. Kenalan lagi deh! Biar lebih formal begitu.” Lili menarik tangan Sarah dan menyodorkan jabatan tangan Sarah kepada Novan. Novan mundur perlahan. “Eh bro kok mundur? Itu di ajak kenalan ama si Sarah,” Tanya Andi bingung. Novan mengeleng dan semakin mundur teratur. “Ih ini Sarah mau kenalan loh. Kapan lagi Sarah ajak kenalan,” ujar Lili. Mereka semakin maju dan menyodorkan jabatan tangan. Novan semakin mundur teratur. Tidak, ini tidak boleh. Kepala Novan mulai pusing berkunang- kunang. Sekelilingnya terasa berputar. Penglihatannya mulai buram. Novan sudah sekuat tenaga menahan dirinya. “Nih kenalin, dia Sarah Claryson.” Lili memperkenalkan Sarah. Ia menyodorkan kembali jabatan tangan Sarah. Novan mulai merasakan sesak nafas. Dia sudah tidak sanggup lagi menahan diri. Ia menepis jabatan tangan Sarah. “AKU GAK MAU KENALAN SAMA KAMU!” Teriakan Novan terdengar sepanjang lorong. Anak- anak dari kelas lain pun mulai keluar, penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka mengerubungi Novan, Andi, dan the Mean Girls. Riuh rendah bisik- bisik mulai terdengar. Sarah terdiam kaku di tempatnya. Ia tidak pernah di perlakukan seperti itu sebelumnya oleh cowok. Biasanya juga cowok- cowok itu duluan yang mengajaknya berkenalan, bukan sebaliknya. Baru Novan sajalah, cowok di sekolah yang tidak ingin berkenalan dengannya. Nafas Novan semakin sesak karena di kerumuni oleh orang- orang. Akhirnya ia pun menerobos kerumunan. Ia berlari dengan kencang, tak memperdulikan Andi yang memanggil. Ia harus pergi dari sana sebelum dirinya malu di depan umum. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD