Cibiran Tetangga

1008 Words
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA. Dua tetanggaku makin ngoceh saat aku diam saja tak menjawab pertanyaan mereka. Mbak Sinta pun sepertinya tak ada niat untuk membela. Entahlah. Mendadak aku punya pikiran buruk padanya kalau sikapnya seperti ini. "Kasihan ibumu, Rum. Harus pindah-pindah tiap bulan. Kakak sama adikmu juga sibuk kerja, tapi mereka masih berusaha merawat ibumu dengan baik. Meski harus gantian tiap bulan. Sementara kamu? Bukannya ikut andil merawat ibumu malah nggak pulang-pulang. Ingat, Rum. Surga anak itu terletak pada kaki ibunya. Lah kamu, nggak pernah mau mendekati ibumu gimana mau masuk surga?" ucap Budhe Nur sembari melipat tangannya ke d**a, menatapku dengan sinisnya. Kuhirup napas panjang lalu menghembuskannya. Baru duduk di kursi kayu di ruang tamu untuk melepas lelah, terpaksa harus kembali mendapatkan ceramah mereka bertiga, Budhe Narni, Budhe Nur sama Mbak Sri. "Lagian kalau di sana nggak ada kerjaan lebih bagus di sini jaga ibumu, Rum. Buat apa merantau kalau di sana juga nganggur. Anak-anakmu sekolah aja di kampung, biaya juga lebih murah. Suamimu biar aja di Jakarta sendiri. Tetangga juga banyak tuh yang suaminya merantau, tapi anak istri tinggal di kampung. Bisa nabung banyak. Pada beli sawah sama ternak. Daripada sekeluarga ikut semua tapi nggak punya apa-apa buat apa? Bertahun-tahun di kota itu harusnya bisa beli ini itu di kampung halaman, bukan malah menyusahkan." Budhe Narni ikut menimpali. Aku kembali mendelik mendapatkan serangan mereka yang tiada henti. Bisa-bisanya menuduhku macam-macam sebelum mendengar penjelasan dariku. Kupikir enak hidup di kampung dengan segala keramahan dan kesederhanaannya, ternyata dugaanku tak selamanya benar. Ramah sih iya, tapi julidnya luar biasa. Jika aku memutuskan tinggal di sini demi merawat ibu, sepertinya aku harus benar-benar kuat mental. Jangan sampai gampang sakit hati karena mendengar fitnah atau julidnya para saudara dan tetangga. "Aku memang nggak kerja di sana, Budhe tap- "Nah, kan. Kalau istri cuma pengangguran, anak-anak sekolah semua sementara yang kerja cuma laki doang ya pantes kalau nggak punya tabungan. Biaya hidup di sana juga mahal. Memangnya suamimu kerja apa sih, Rum? Sampai kamu nekat ikut merantau di sana? Harusnya kamu mikir kalau di kota itu nggak kaya di kampung begini yang serba murah. Di sana ke WC saja bayar, parkir bayar, apa-apa serba duit. Kalau nggak punya duit ya nggak makan. Memangnya kamu nggak mikir masa depan?" Mbak Sri yang usianya tak terpaut jauh dariku itu pun ikut menimpali. Sejak dulu dia memang selalu iri denganku. Di sekolah, tiap kali aku mendapatkan peringkat lima besar, dia selalu menyindir nggak jelas. Tiap kali aku nggak bisa ngumpul bersama teman-teman, dia juga memfitnahku macam-macam. Padahal jelas aku di rumah sibuk membantu ibu membuat keripik yang akan dititipkan ke warung-warung. Apalagi saat aku menikah dulu, Mbak Sri juga paling nyinyir. Dia bilang, "Buat apa cari jodoh jauh-jauh kalau kerjanya juga cuma serabutan. Lebih baik tetangga sendiri yang sudah kenal sejak awal. Lihat jelas bibit, bebet dan bobotnya." Tiap kali mengingat kata-katanya hanya membuatku sakit hati. Kupikir setelah sekian lama tak bersama dan masing-masing sudah menikah bakal berubah, ternyata sama saja malah lebih parah. "Sudah ya Mbak dan Budhe-budhe, aku mau istirahat. Aku benar-benar malas berdebat. Yang pasti suamiku itu punya pekerjaan halal dan selalu semangat cari nafkah buat keluarga. Dia juga penyayang dan setia. Itu sudah cukup buatku, soal harta yang lain itu kuanggap sebagai bonusnya," ucapku lagi demi mengakhiri perdebatan nggak jelas ini. "Halah, Rum. Kamu dulu waktu sekolah 'kan paling pintar di antara aku sama Betty, tapi lihat sekarang hidup kamu paling biasa aja. Malah cenderung paling susah. Sementara aku, meski tinggal di kampung sudah punya rumah, sawah, ternak, dan kendaraan. Betty juga sama, dia malah udah kredit mobil segala. Kami mikirin masa depan soalnya, bukan kebahagiaan sesaat saja seperti kamu itu. Nanti kalau kamu sudah agak lama di kampung pasti nyesel karena nggak bisa ngimbangi yang lain." Aku hanya tersenyum. Malas menanggapi mereka yang dari dulu memang sibuk menghina keluargaku. Aku masih ingat betul, dulu saat ibu bersikeras menyekolahkan anak-anaknya sampai SMA, para tetangga dengan entengnya menghina ibu sedemikian rupa. "Buat apa sekolah, lebih baik langsung kerja. Sekolah SMA 3 tahun itu menghabiskan banyak biaya. Coba kalau langsung kerja, malah dapat duit bisa bantu orang tua." "Anak perempuan sekolah juga buat apa kalau ujung-ujungnya di dapur? Lebih baik kerja, kalau sudah cukup umur ya nikah saja. Biar nggak terus-terusan menjadi beban orang tua." "Kasihan ibumu, Rum. Demi kamu dan kakak adikmu sekolah, dia harus pontang-panting cari duit. Nggak kenal panas, nggak kenal hujan. Putus sekolah aja sih mumpung masih kelas dua, kerja sana. Itu Mbak Ambar cari orang buat diajak kerja jadi asisten rumah tangga di Bandung. Ikut aja." Kata-kata itu kembali terngiang di benak. Sejak dulu, mereka memang selalu meremehkanku dan keluargaku. Membuatku down saat sekolah dulu. Namun aku sangat beruntung karena memiliki ibu yang berpendirian kuat. "Ibu nggak punya modal harta buat kalian semua, Nak. Ibu cuma punya tenaga, jadi selama ibu masih kuat kerja ibu akan terus bekerja. Ibu beri kalian modal pendidikan sampai SMA, setelah itu ... cari uang sendiri untuk modal kalian nikah nanti. Sekarang jangan pikirkan ibu, fokuslah sekolah. Buktikan pada mereka kalau kalian akan sukses suatu saat nanti. Setidaknya, bisa hidup mandiri dan jauh lebih baik dari kehidupan kita saat ini." Kuseka air mata yang menetes di pipi. Betapa aku merindukan hadirnya ibu di sini. Sekarang, aku akan merawat ibu dan suami juga anak-anak di rumah ini kembali. Rumah yang penuh kenangan bersama ibu dan almarhum bapak dulu. "Kalau nggak bisa pulang, harusnya kamu juga kirim uang, Rum. Bukannya malah enak-enakan dan lepas tangan. Kaishan tuh kakak dan adikmu kadang cari pinjaman buat belikan ibumu ini itu. Merawat orang tua itu nggak mudah, Rum. Mereka beralih seperti anak kecil lagi," ucap Budhe Narni dengan ketus sebelum meninggalkan rumah ibu. Mendadak aku menoleh ke arah Mbak Sinta. Apa dia ngomong yang nggak-nggak tentangku selama ini? Kenapa dia dan Mila harus cari pinjaman segala? Padahal jelas aku selalu mencukupi kebutuhan ibu tiap bulan, bahkan aku juga sering mentransfer lebih untuk anak-anaknya dan juga anak Mila. Apa uang empat juta untuk ibu di kampung masih kurang? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD