Kejutan Kecil

1404 Words
Pagi-pagi aku semangat membuatkan Mas Huda dan anak-anak sarapan. Ibu pun sudah kubuatkan bubur merah sesuai permintaannya kemarin. Rasanya nggak sabar, kejutan apa yang akan diberikan Mas Huda buatku nanti. Anak-anak sudah sarapan dan berangkat sekolah diantar papanya. Ibu pun sudah bersih-bersih halaman. Sekarang mulai bakar-bakar sampah. Sementara aku dari tadi cuma duduk dengan gusar, bolak-balik lihat jarum jam, seolah nggak berputar. Dari tadi masih jam delapan aja, menyebalkan. "Kenapa sih, Dek?" tanya Mas Huda akhirnya. Mungkin merasa aneh lihat istri yang nggak tenang duduknya. Gelisah nggak jelas. "Buruan berangkat, Mas. Mau pergi katanya, kan?" Aku mencoba mengingatkan. Mas Huda pun tersenyum tipis lalu meletakkan cangkir kopinya kembali setelah meminumnya beberapa teguk. "Oh, gusar begitu karena penasaran sama kejutan?" Mas Huda seolah meledek. Benar-benar menyebalkan. Nggak tahu apa kalau aku sangat penasaran apa yang sebenarnya akan dia berikan sebagai kejutan itu. "Jangan ngeledek istri sendiri. Pamali," ucapku ketus. Mas Huda kembali menjawil pipiku. "Iya ... iya. Mas pergi dulu," pamitnya sembari mencium kening lalu mengusap puncak kepalaku perlahan. Kucium punggung tangannya lalu menjawab salamnya. Kulihat Mas Huda pun mencium punggung tangan ibu, berpamitan. Mereka terlibat obrolan sebentar lalu ibu mengangguk perlahan. Mas Huda sudah pergi dengan vespa kesayangannya. Aku sendiri tak tahu kemana karena dia bilang rahasia. Sesuai perintah Mas Huda, aku pun mengundang Mbak Sinta dan Mila sekeluarga. Aku sudah pesan lontong sate buat nanti malam, selain itu juga sudah pesan camilan supaya enak ngemil sambil ngobrol. Adzan dzuhur berkumandang, Mas Huda belum juga datang. Dia hanya memberi kabar, kalau masih memilih sesuatu. Jadi, aku diminta untuk lebih bersabar. Aku pun mengiyakan saja meski penasaran luar biasa. Sekitar jam setengah dua, Mas Huda baru pulang. Dia pun memarkir vespanya dengan santai di halaman tanpa pagar itu. "Mas, mana kejutannya?" todongku saat dia baru saja melangkah ke dalam rumah. Mas Huda tak menjawab, justru menyodorkan punggung tangannya. "Sebentar lagi juga datang. Kamu sudah kasih tahu Mbak Sinta sama Mila buat datang ke sini nanti malam, kan?" Aku pun mengangguk saat Mas Huda merebahkan badannya ke sofa. Sepertinya dia sangat lelah. Gegas kubuatkan madu hangat untuknya. "Bakda maghrib kan, Mas? Aku sudah bilang ke mereka kok, kubilang aja diundang makan malam sama kamu, Mas." "Iya, bagus. Kita selesaikan masalahnya satu-persatu biar enak," ucapnya lagi. Aku pun mengiyakan saja. Ibu dan Mas Huda kembali mengobrol, sementara aku keluar rumah setelah mendengar panggilan Mbak Sarti. "Kenapa, Mbak?" tanyaku padanya yang masih mengupas mangga di rumah Mbak Sri. "Sini, Rum. Ngerujak bareng-bareng," ajaknya kemudian. "Iya, Mbak. Cuma aku nggak suka mangga muda, linu gigiku. Bisa-bisa nggak doyan makan nanti." "Ada bengkoang, kedondong sama nanas juga kok," balas Mbak Sarti lagi. "Biarin aja lidah orang kota sama orang desa itu beda. Di kota kali terbiasa makan pizza, mana mau rujakan bareng kita," sahut Mbak Ambar. Dia melengos kesal saat aku menatapnya tajam. "Rum, kemarin kamu ditanyain Mas Andi loh. Sebenarnya dia mau main ke rumah, cuma nggak enak sama suamimu," Betty ikut berkomentar. "Oh, main aja mumpung suamiku di rumah. Kalau dia pergi justru jangan main, nanti ada aja omongan julid dan fitnah," balasku lagi. "Iya, nanti kalau ketemu kusampaikan deh." Cukup lama aku duduk di teras sembari membaca novel online, sesekali menyaksikan kumpulan ibu di tetangga sebelah yang sibuk ghibah entah siapa lagi. Suaranya begitu keras terdengar dari rumah ibu yang hanya berjarak beberapa meter saja. Sebuah mobil melaju perlahan lalu berhenti di depan rumah Mbak Sri. Tawa dan suara berisik yang dari tadi terdengar pun perlahan hilang. Mbak Ambar melihat kertas kecil yang disodorkan supir mobil. Mungkin berisi alamat, sepertinya agak kebingungan mencari alamat rumah. "Rum, bapaknya cari rumah kamu nih," teriak Budhe Narni sembari menunjuk rumah ibu. "Kamu kredit motor ya, Rum?" tanya Mbak Sri sembari melihat ke arah bak mobil itu. Aku hanya menggeleng. Tak peduli tetangga unikku itu saling bisik. Perlahan mobil parkir di depan rumah. Gegas kupanggil Mas Huda. Barang kali memang dia sengaja membelikanku motor baru seperti yang diucapkan Mbak Sri tadi. Aku sangat senang jika memang itu yang terjadi, meski belum tahu motor apa yang dibeli Mas Huda. "Iya itu kejutan kecilnya buat kamu, Sayang. Lihat dulu motornya sana," ucap Mas Huda sembari melangkah pelan ke arah Pak Supir. Ibu-ibu yang tadi sibuk rujakan pun bubar. Berhamburan ke halaman rumahku, rumah ibu lebih tepatnya. "Wah keren banget. Kamu beli P*X, Rum? Di sini baru anak Pak Lurah aja loh yang punya. Berapa belinya, Rum?" tanya Mbak Sarti dengan senyum lebarnya. "Nggak tahu, Mbak. Ini kado dari Mas Huda, katanya," jawabku sengaja dengan lebih keras supaya ibu-ibu itu mendengar jawabanku. "Kalau anak Pak Lurah mah cash belinya, Sar. Kalau Ningrum paling juga kredit. Kan lebih dari 30 juta kalau cash," ucap Mbak Ambar kemudian. Kedua matanya belum juga beralih dari bak mobil yang terbuka itu. "Mana tahu cash, Mbak. Wong jualan Ningrum laris banget gitu kok." Mbak Sarti tak mau kalah. Cuma dia yang waras, mau membelaku dan nggak ikut-ikutan mengejek seperti mereka. "Halah, gamis mahalnya seperti sapi itu? Kalau memang laris ya syukur. Ngambil untung nggak kira-kira Si Ningrum. Biar cepet kaya nggak gitu juga caranya, Rum." Aku hanya menghela napas mendengar jawaban Mbak Sri. Dia kembali melengos tiap kali kupandang. Setelah ngobrol beberapa menit dengan Mas Huda, perlahan sopir dan kenek itu pun menurunkan motornya. P*X berwarna merah menyala sudah parkir di halaman, samping vespa dan motor maticku. Ibu yang baru keluar dari kamar mandi pun bertanya-tanya siapa yang membeli motor itu. "Kamu kredit motor, Rum?" tanya ibu ikut mendekat. "Nggak kok, Bu. Mas Huda yang belikan cash," balasku yakin. Aku yakin Mas Huda beli cash. Ngapain juga kredit, duit juga ada. Lagipula dari dulu, sebelum kami mapan seperti sekarang Mas Huda memang nggak suka kredit. Kalau belum mampu beli cash ya nabung dulu, begitu prinsipnya. "Memangnya kamu kredit di mana sih, Da?" Budhe Narni mulai kepo. "Di Taruna Sakti, Budhe," balas Mas Huda sembari memasukkan ponselnya ke saku celana. "Sekarang bisa kan ya kalau kredit tanpa uang muka?" Mbak Sri ikut bertanya. Bukan bertanya sebenarnya cuma dia hanya ingin mengorek informasi soal motorku saja. "Oh, kurang tahu, Mbak," jawab Mas Huda singkat lalu menoleh ke arahku. Biar saja dia dengar sendiri kalau tetanggaku memang serese itu. Rese, bukan lucu seperti ucapannya waktu itu. "Memangnya kamu DP berapa sih, Da?" Budhe Narni pun semakin penasaran. "Nggak DP, Budhe. Saya beli cash hadiah spesial buat istri saya," ucap Mas Huda sembari menatapku. Aku merasa bahagia sekali mendengar ucapannya. Nah, gitu dong, Mas. Sesekali pamer kan nggak apa-apa. "Kamu beli cash, Da? Dapat uang dari mana?" Ibu terlihat begitu kaget mendengar ucapan Mas Huda. "Iya, Bu. Cash, Alhamdulillah ada rezeki," jawab Mas Huda dengan senyum tipisnya. "Halah, cash atau kredit nggak kelihatan kalau sekarang, Bu Yun. Kan STNK sama BPKBnya belum ada," ucap Mbak Ambar dengan angkuhnya. "Maksudnya gimana, Mbak?" Mas Huda pun balik tanya. "Iya 'kan kalau motor baru belum jadi STNK sama BPKBnya. Nggak ketahuan kredit atau cash. Kalau beneran cash kita tunggu aja sebulan lagi biasanya STNK sama BPKB sudah jadi, kalau nggak dapet BPKB berarti kredit," pungkas Mbak Ambar kemudian. Lagi-lagi Mas Huda hanya menoleh ke arahku sembari tersenyum tipis. Kan ... kan, baru tahu dia kalau tetanggaku memang senyinyir itu. "Iya sudah kalau nggak percaya nggak apa-apa. Saya juga nggak maksa ibu-ibu ini buat percaya. Yang penting istri saya percaya," ucap Mas Huda sembari menarik telapak tanganku untuk masuk ke rumah. Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat kegaduhan yang terjadi diantara kami. Meskipun Mas Huda sudah menjelaskan, tapi para ibu masih tak percaya kalau Mas Huda memang membeli motor itu cash untukku. Ah sudahlah, kalau mikirin mulut tetangga memang nggak ada habisnya. Aku pun mengikuti Mas Huda untuk menjauhi kerumunan ibu-ibu itu. Bisa kembali naik tensiku kalau terus-terusan dengerin nyinyiran mereka. Baru aja duduk di bangku teras, kulihat mobil yang mengangkut motorku tadi balik lagi. Keneknya turun sembari berlari kecil ke arah kami dengan membawa bungkusan entah apa. "Maaf Mas Huda. Tadi ketinggalan. Karena Mas Huda sudah beli motor cash di tempat kami, jadi Mas Huda dapat hadiah jaket ini," ucap laki-laki jangkung itu lagi sembari menyerahkan jaketnya ke tangan Mas Huda. Para ibu pun menoleh ke arah kami seketika. Mereka cukup kaget mendengar ucapan laki-laki itu barusan. Setelah laki-laki itu pergi, Mbak Ambar kembali melancarkan aksinya. "Halah, semua orang juga bisa beli motor cash, tapi duitnya dari mana kita 'kan nggak tahu. Bisa aja dari gadaikan sesuatu atau ambil hutang di bank. Iya, kan?" ucap Mbak Ambar kembali dengan nyinyirannya. Heran aku, tak paham apa maunya. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD