DUA : Karena sesungguhnya sinetron dan FTV juga berdasarkan kisah nyata (Sedikit)

1489 Words
Telat di hari pertama masuk ke kantor, tidak pernah ada dalam kamusku. Alarm selalu ku setting untuk berbunyi sebanyak tiga kali di tiap lima menit, dan biasanya di bunyi yang pertama aku akan langsung bangun dengan kaget dan sampai terduduk. Hari ini berbeda, entah kenapa aku malah asik mematikannya tiga kali dan akhirnya bisa sampai telat begini. Dan hari pertama ke kantor berarti aku belum memiliki ID card pegawai, sehingga aku harus pergi ke resepsionis, isi data diri untuk mendapatkan ID card pengunjung. Jika aku harus melakukan ini dulu untuk bisa masuk, sudah bisa dipastikan kalau aku akan lebih terlambat lagi, tapi apa boleh buat, memang ketentuannya harus seperti itu. Parahnya untuk bisa mendapatkan guest id card aku harus mengantre di antrean panjang sementara si resepsionis bekerja sangat lamban. Kenapa pemilik gedung ini begitu tidak sensitif pada pemilihan pegawai, sih? Selagi menunggu begini aku bahkan bisa merapikan alis, membuat wing eyeliner, bahkan merapikan baju hasil binatu ke dalam lemari karena terlalu lama menunggu di antrean. Meski aku masuk ke kantor baru ini karena undangan scout, tapi sebagai pegawai baru, aku juga kan harus profesional dan datang tepat waktu. Ini saja sudah lewat lima menit dari jam masuk. “Maaf Mba, kebetulan ini hari pertama saya masuk kantor dan ini kayaknya udah telat, boleh kita tukeran antre? Nanti Mba boleh kasih saya nomor w******p biar saya kirimkan kopi atau makanan buat Mbanya.” Kataku yang sudah sangat terburu-buru. “Oh, silakan. Nggak usah traktir saya nggak masalah kok.” Katanya yang membuatku sangat lega, lega bukan karena tidak perlu mentraktir kopi, melainkan karena aku bisa mengirit waktu dan bisa lebih cepat naik ke lantai dua puluh lima. Setelah berterima kasih beberapa kali, kami pun bertukar tempat dan akhirnya giliranku untuk bisa menukar KTP dengan guest id card pun sampai. Aku segera memberikan KTP, si resepsionis pun mengisi data yang mana juga sangat lama, kemudian aku mendapatkan guest id card sialan itu. Dengan setengah berlari, aku pun berkumpul di kerumunan yang sedang menunggu lift untuk membawa tubuh mereka ke lantai yang dituju. Dan ketika aku hendak masuk, aku terdorong tas besar seorang pria yang sedang memutar tubuhnya untuk menghadap ke pintu dan aku pun hampir terjatuh kalau di belakang ku tidak ada orang. Parahnya, aku menginjak pria tersebut dengan hak stiletto yang sedang aku pakai hari ini. Damn, pasti sakit sekali rasanya. “Sori.” Kataku singkat yang tidak mendapatkan jawaban dari pria yang wajahnya sih oke, tapi kelihatan sangat tidak ramah. Tanpa menunggu balasan yang tidak akan kejadian, aku pun langsung melangkah masuk ke lift dan bergabung dengan semua orang yang ada di sana. Dan ketika pria yang tadi sepatunya ku injak dengan hak sepatuku ingin masuk, lift malah berdenting dan membuat si pria yang tak ramah itu akhirnya harus menunggu lift lain yang kosong dan bisa menampung tubuhnya. Ia keluar dengan santai dan berbalik menatap pintu lift yang perlahan tertutup. Ekspresinya tidak berubah, dan sekilas, aku merasa kalau ia memerhatikanku meski hanya sebentar saja. Aku sedikit tersenyum dan rasanya ingin aku melambaikan tangan untuk membalas pria yang wajahnya saja ganteng tapi ekspresinya arogan setengah mati, namun tentu saja ku tahan. Lagi pula, sekarang ini yang paling membutuhkan tumpangan lift untuk menuju lantai di mana kantor baruku itu berada adalah aku, si anak baru yang kesiangan ini. Lift tertutup sepenuhnya, dan kini aku sudah mulai sedikit tenang meski kenyataan bahwa telat di hari pertama ini bukanlah hal yang baik. Tapi setidaknya sebentar lagi aku sampai. Ini sudah berada di gedung kantor, dan setelah lift terbuka, aku bisa langsung jalan cepat menuju kantor dan semuanya akan baik-baik saja. Dan begitulah, ketika lift terbuka, kelotak sepatu hak tinggiku berbunyi nyaring di lantai. Dan ketika aku melihat nama perusahaan dengan logo besar yang menyala, aku pun tersenyum. Secepat mungkin aku merapikan penampilanku dengan menepuk-nepuk pelan rok midi yang aku kenakan dan langsung masuk ke ruangan besar yang di depannya terdapat meja resepsionis. “Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” tanya sang resepsionis yang menyapaku sopan. “Pagi, saya ada janji sama Pak Aldo. Saya telat sepuluh menit.” Kataku. “Maaf dengan Ibu siapa?” tanya si resepsionis yang masih tersenyum ramah. “Margie. Margiela Audrey Triawardhana.” Jawabku. “Baik, mohon ditunggu sebentar ya, Ibu margie. Silakan duduk dulu di sofa, biar saya hubungi Bapak Aldo terlebih dahulu.” Aku menurut seperti apa yang direkomendasikan oleh si resepsionis. Pak Aldo, yang berperawakan tinggi tegap dengan kumis seperti ikan lele di usia yang mungkin akan menginjak awal enam puluhan, menyambutku dengan senyumnya yang terkembang senang. Aku berdiri, menysmbut orang yang sudah memberikanku kesempatan untuk bekerja di sini saat aku lulus interview sebulan yang lalu. “Oh, Mbak Margie sudah datang.” Sambutnya, aku tersenyum profesional untuk membuat first impression yang baik pada calon rekan kerja satu kantorku ini meski pun berbeda divisi. “Pagi, Pak Aldo. Maaf saya telat di hari pertama masuk kantor.” Kataku yang tidak memberikan alasan karena one o one etika yang dikatakan oleh Tjania adalah, jangan terlalu terlihat kalau kita ini terlalu defense dengan memberikan alasan yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Yang ada, nanti orang yang ajak berbicara malah berpikir kalau aku ini orangnya suka sekali beralasan. “Tidak apa-apa, hari pertama gugup jadi telat nggak masalah.” Ujarnya ramah dan memaklumi. “Kebetulan banget manager public relation-nya belum datang. Tapi nggak apa-apa, kita langsung aja ke ruangan kamu dan saya bisa kenalin kamu ke orang-orang di divisi yang bakalan jadi teman kerja baru kamu nantinya.” Ujar Pak Aldo. Aku menurut dan mengikuti pria dengan setelan kemeja cokelat dan kacamata itu. Orangnya terlihat ramah, meski aku hapal sekali kalau orang yang ramah dan baik sekalinya marah bisa sangat menyeramkan. “All, kenalin ini Mbak Margie yang akan kerja di sini buat gantiin Mbak Eva yang seminggu lain resign. Mbak Eva tolong dibantu ya penggantinya.” Pak Aldo menatap ke satu sisi meja yang di sana duduk seorang perempuan dengan hijab berwarna merah muda dan perut yang sudah terlihat besar karena sebentar lagi due date untuk lahir. Mbak Eva yang dipanggil oleh Pak Aldo tersenyum dan menghentikan aktivitas sarapannya, “pasti, Pak. Akan saya bantu sebelum saya resign.” Terdengar riuh dari teman-teman satu divisi yang terdengar dan terlihat tidak rela kalau temannya yang satu itu hanya memiliki waktu satu minggu sebelum benar-benar berhenti dari kantor dan menyelesaikan semua pekerjaannya yang tersisa. Aku paham betul rasanya, karena baru dua minggu lalu aku juga merasakan apa yang Mbak Eva ini rasakan. “Oke, kalau begitu Mbak Margie bisa duduk di sebelah Mbak Eva, ya. Saya mau kembali ke ruangan saya, nanti setelah makan siang kita bisa ketemu untuk bahas kontrak kerja dan semua info tambahan tentang pekerjaan dan juga posisi Mbak Margie di sini.” Ujar Pak Aldo yang aku sambut dengan anggukan kepala. “Baik, Pak.” Kataku. Dan belum juga aku sampai ke mejaku, suara Pak Aldo kembali terdengar dan membuatku menoleh ke arahnya yang ternyata belum meninggalkan ruangan. “Akhirnya! Bos satu ini sampai juga di kantor. Aduh, Pak Tama tumben telat. Anak buah yang baru udah lebih dulu sampai, pas interview juga nggak ketemu gara-gara Pak Tama ke New York. Nah, silakan kenalan sama pegawai yang baru.” Pak Aldo, dengan sneyumnya yang lebar. Pria yang membuatku tak bisa mengalihkan perhatian karena tentu saja! Hai dewa dewi keberuntungan yang sepertinya ogah dekat-dekat denganku, akhirnya membuatku bisa malu kembali karena sosok di hadapanku ini. Pria yang baru saja tadi ku ijak sepatunya dengan stilleto milikku ini, berdiri dengan tegap di sana. Wajahnya menyiratkan senyum tipis, yang mungkin kalau dilihat sekilas tidak akan terlalu kentara. “Saya udah ketemu kok, dua kali.” Katanya santai. “Oh sudah ketemu? Wah baik kalau begitu, berarti nggak perlu ada acara perkenalan lagi kalau begitu.” Pak Aldo menepuk tangannya senang sedangkan aku masih diam mematung dan berpikir. Dua kali katanya? Satu kali saat tadi bertemu di depan lift. Dan yang kedua? Di mana memang aku pernah bertemu pria ini sampai ia dengan sangat percaya dirinya mengatakan kalau sudah bertemu dua kali? “Semoga di kantor saat kerja, dan di luar kantor kalau sudah selesai kerja, tidak ceroboh, ya.” Ujarnya tegas, dengan suaranya yang dalam dan sangat laki. Belum apa-apa tapi kok aku merasa jengkel dengan pria ini? Pria yang akan menjadi manager di divisi tempatku bekerja, yang secara tidak langsung menyindir dan mempermalukanku di hadapan banyak orang meski aku yakin kalau orang-orang di sekitarku ini tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya barusan. Terutama dua kali? Kapan coba aku pernah bertemu dua kali dengannya? “AH!” Aku berteriak kaget, teringat satu waktu memalukan saat aku salah masuk ke mobil orang yang ku pikir adalah transportasi online waktu itu. Ingatan itu membuat wajahku pasti terlihat merah karena malu saat ini. “Saya juga berharap kamu nggak pelupa, ya.” Ujarnya, kemudian berlalu meninggalkanku yang menutup mulut dengan tangan kanan, untuk pergi ke ruangannya yang berada tak jauh dari meja baruku berada. Shit... s**t!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD