2. Hanya Patah Hati

1485 Words
Suara bising yang memekakkan telinga terdengar menginvasi disetiap sudut ruangan itu. Sementara di lantai dansa semua orang berdansa, berteriak dan tertawa dengan begitu bebasnya. Bau alcohol dimana-mana, bahkan setiap pasangan bebasnya b******u disetiap tempat. Kotor, sangat penuh dengan dosa. Namun mereka semua menikmatinya.   Tidak berbeda jauh dengan Millian, ia kini duduk di dekat bar bersama dengan asisten pribadinya, Carlos. Sesekali menyecap minumannya dan sesekali hanya diam memandangi lantai dansa sebelum akhirnya mengajak Carlos berbicara.   “Carl apa kau belum berniat kembali kerumahmu?” tanya Millian “Aku muak hidup begini.”   Tak ada tanggapan. Carlos hanya melirik Millian yang tengah menegak minuman ditangannya lagi.   “Aku pikir ini saatnya status kita dibalik.” Lanjut Millian kemudian tertawa hambar. “Selama ini aku diam saat kehidupanku diatur, bahkan saat aku harus kuliah dijurusan yang tidak aku inginkan. Tapi sekarang, aku tidak ingin tinggal diam.”   Calos menghela nafas panjang lalu menghadap pada Millian yang sedang menatap kosong kearah lantai dansa. “Ada apa?”   Millian tersenyum masam. “Aku dijodohkan.”   ***   Beberapa jam lalu…   “Wendy Camella.”   Millian tersenyum begitu sosok cantik itu sekelebat hinggap dibenaknya. Sepanjang jalan, bahkan hingga dirinya sampai di unit mewahnya. Senyuman itu tidak lagi luntur. Apalagi saat bayangan tentang rencananya untuk menjerat wanita itu mulai tersusun dengan rapih. Persetan dengan status wanita itu yang akan segera menikah. Ia tidak peduli karena ia hanya ingin wanita itu untuk ia jadikan pendamping hidup.   “Millian.”   Millian menghentikan langkah saat namanya dipanggil begitu memasuki hunian miliknya. Ia menoleh kearah kiri. Disana, seorang wanita paruhbaya duduk dengan penampilan yang sangat anggun.   “Mam.”   “Duduk Milli.” Wanita itu, Ibu Millian, Margaret. Dia menepuk kursi disampingnya.   “Aku pikir tidak sopan memasuki rumah seseorang tanpa ijin.” Balas Millian dengan nada bicara yang sangat datar.   “Seseorang itu, anakku. Dimana bagian yang tidak sopannya?” Margaret bertanya dengan angkuhnya.   Millian menghela nafas, “Aku sedang tidak ingin berdebat. Katakan, ada apa?”   Margaret mendongak menatap puteranya yang hanya berdiri. “Tidak sopan.”   “Aku tidak pernah merasa diajarkan sopan santun.”   “Millian!”   “Jika tidak ada yang ingin kau katakan sebaiknya pulang, pintu keluarnya masih ditempat yang sama.” Ujar Millian.   “Aku sudah menyiapkan calon istri untukmu.”   Millian menatap nyalang pada wanita paruh baya yang berada didepannya itu. Rahangnya mengeras, bahkan kedua tangannya terkepal sangat erat.   “Sabtu malam ini, pulanglah. Kalian harus berkenalan secepatnya.”   “Tidak.”   “Lihat saja nanti jika kau coba-coba melawan.”   Keduanya saling melemparkan tatapan tajam, tidak ada yang mau mengalah. Pertanda peperangan akan kembali dimulai.   “Aku tidak peduli. Aku akan sangat bersyukur jika semua harta warisanku dicabut. Aku akan lebih menikmati hidup menjadi gelandangan daripada harus di kurung di sangkar emas!”   Wanita itu berdiri kemudian mendekatinya. “Jangan coba-coba membantahku Millian!”   “Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan. Silahkan keluar.”   Wanita itu mendengus sebelum akhirnya benar-benar beranjak meninggalkan Millian yang masih dikuasai oleh api amarah. Millian mengusap wajahnya kasar kemudian mengerang kencang.   Hidupnya memang bergelimangan harta, namun tidak pernah sekalipun ia merasakan kebebasa untuk memilih jalan hidupnya. Selama ini ia merasa bagaikan manekin yang hanya akan bergerak jika digerakan oleh tuannya, sementara hal lain tidak ia dapatkan.   Sial! Lihat saja, aku pastikan tidak akan pernah menerima perjodohan itu.   Millian mendengus lagi kemudian mendial kontak Carlos.   “Carl, aku butuh hiburan.”   “Hm. Aku tunggu di lobi.”   ***   “Tapi Milllian, aku pikir kau memang tidak bisa jauh dari harta kekayaanmu. Kau terlahir dengan sendok emas dimulutmu.” Ujar Carlos begitu Millian selesai bercerita.    “Kau berlebihan Carl.”   “Aku berbicara fakta. Sebaiknya terima saja, daripada kau jadi gelandangan.” Ujar Carlos sebelum menenggak kembali wine ditangannya.   Millian mendelik. “Kau ini sebenarnya orangku atau orangtuaku?” Desisnya.   Carlos mengedikkan bahunya. “Tergantung, siapa yang membayarku?”   Tak ada balasan lagi, Millian hanya mendengus mendengar jawaban tersebut. Jawaban yang selalu sama setiap ia melayangkan pertanyaan itu.   Setelahnya Millian fokus kembali melihat ke lantai dansa, mengabaikan Carlos yang kini sedang mendekati seorang wanita yang tampak seperti pelayan, atau siapapun itu ia tak peduli. Otaknya masih berputar mencari rencana menggagalkan perjodohan itu lagi, namun ia belum juga menemukannya. Selain, ia harus menjerat Wendy. Ia harus mendapatkan wanita itu segera, sekalipun dengan cara yang licik.   “Dasar jalang! Beraninya kau merebut calon suami orang hah?!”   Pandangan Millian teralih pada seorang wanita yang sedang menjambak wanita lain yang berpenampilan sangat seksi.   “Jalang sialan!”   “Siapa yang kau sebut jalang? Hah?! Calon suamimu saja yang bosan padamu.”   “Diam kau jalang murahan!” kali ini wanita itu menunjuk pada lelaki disamping si wanita seksi. “Dan kau Brian! Aku tidak menduga kau serendahan ini. Bermain dengan jalang seperti dia?!”   Millian menaikan satu alisnya saat menyadari jika wanita itu adalah Wendy. Wanita yang baru saja ia pikirkan. Setelah itu ia beranjak, mendekati mereka yang mulai dikerumuni banyak orang.   Lelaki itu kini justru tertawa sengau dengan setengah sadar. “Hey! Siapa kau? Calon istriku? Istri yang mana? Ah haha—yang tidak tahu cara menyenangkan calon suaminya?” lelaki itu berdiri. “Kau! Memang ada yang mau denganmu? Kau hanya wanita membosankan yang tidak tahu cara bersenang-senang. Kau!”   “Cukup Brian!”   “Kau—hanya wanita sok polos, naïf dan sangat munafik. Kau!” bentak lelaki itu pada Wendy.   Millian dapat melihat, mata Wendy mulai memerah. Menahan tangisan.   “Aku tidak menyangka ternyata kau serendahan ini Brian. Kau rendahan!”   “Apa kau bilang—?”   Millian dengan cepat meraih tangan yang hampir melayang pada wajah cantik Wendy. Ia melirik wanita itu sekilas. Ia dapat merasakan bahwa wanita itu sepertinya sangat terkejut dengan kehadirannya.   “Lelaki sejati tidak ada yang bermain tangan pada wanita Sir.”   “Siapa kau?” Lelaki itu tertawa sengau lalu menatap Millian lagi. “Ahh—kau tertarik pada wanita membosankan ini? Silahkan! Ambil. Aku tidak membutuhkan wanita membosankan yang tidak tahu cara bersenang-senang seperti dia. Ambil. Bebas. Aku yakin setelah satu minggu kau juga akan bosan.”   Millian hampir memelintir tangan yang ia masih berada dalam genggamannya itu. Ia muak melihat lelaki didepannya ini. Bisa-bisanya, dia berkata seperti itu pada wanita yang ia sukai.   “Terimakasih. Saya harap, anda tidak memintanya atau mengambilnya dariku lagi.” Desis Millian. Ia melirik wanita seksi disamping lelaki itu. “Silahkan bersenang-senang dengan jalang rendahanmu itu.”   “Apa kau bilang?”   “Dan—.” Millian mengacungkan telunjuk didepan lelaki itu. “Ingat mulai saat ini—.”   “Kita putus Brian! Tidak ada pernikahan dan jangan pernah menghubungiku lagi.” Tegas Wendy sebelum akhirnya beranjak darihadapan mantan calon suaminya itu.   Millian menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. Setelah itu ia juga beranjak mengejar Wendy yang berjalan dengan langkah lebar menuju pintu keluar.   Millian memelankan langkah kakinya begitu melihat Wendy yang bersandar pada pintu mobil dengan tangisan yang mulai pecah. Ia menghela nafas pelan begitu sampai disamping gadis itu. Dari sini ia merasakan kekecewaan dan rasa sakit hati yang diderita wanita itu, tangisan yang ia dengar membuktikan semuanya. Namun ia tidak melakukan apapun selain hanya berdiri memandangi wanita itu, menunggunya menghentikan tangisan. Setelah beberapa saat barulah wanita itu mengangkat wajahnya seraya menyeka wajahnya yang penuh dengan air mata.   Wendy sedikit membulatkan matanya begitu tatapan mereka bersinggungan. “Mr. Wesley.”   “Sudah?”   Wendy menatap Millian lagi kemudian mengangguk samar.   “Bagus.” Millian mengulurkan tangannya pada Wendy. Wanita itu, menatapnya dengan sedikit aneh.   “Kunci mobilmu.”   “Ke—kenapa?” Wendy mengeratkan genggaman pada kunci mobil yang berada ditangannya.   Millian mendesis lalu meraih kunci mobil itu dengan paksa.   “Mr. Wesley.”   “Kenapa Ms. Camella?” Millian maju satu langkah, ia menghimpit wanita itu diantara dirinya dan pintu mobil. Secara naluri Wendy memundurkan tubuhnya seraya memejamkan mata.   Millian tersenyum penuh kemenangan, saat melihat reaksi yang diberikan oleh wanita itu. Bolehkah ia bermain sesaat?   Tangan kanan Millian terangkat, menyentuh pipi wanita itu dengan punggung tangannya. Ia membelai permukaan wajah cantik itu beberapa saat. Terasa begitu lembut dan halus, bahkan lebih dari yang ia bayangkan. Ia juga tak menduga kulit wanita dihadapannya ini benar-benar bersih tanpa cacat.   Seringaian kembali terlihat diwajah Millian sebelum akhirnya ia menarik diri. “Masuk sana.”   “Hng?” Wendy membuka matanya lalu menatap Millian lagi.   Millian menghembuskan nafasnya lalu menarik tangan Wendy, membawa wanita itu untuk duduk dikursi penumpang. Setelah memastikan wanita itu duduk dengan tenang, barulah ia memasuki sisi lain kendaraan itu.   “Mr. Wesley.” Panggil Wendy begitu Millian mulai menstarter kendaraan tersebut.   “Mr. Wesley—kau akan membawaku kemana?” tanya Wendy saat menyadari Millian membelokkan kendaraannya ketempat asing.   Millian melirik pada Wendy sesaat, sebelum ia berujar. “Ke tempatku.”   “Tapi—untuk apa?”   Millian mendesis. “Untuk apa lagi?” Ia mendekatkan diri pada Wendy lagi, kemudian berbisik. “Tentu saja untuk bersenang-senang.” Lanjutnya diiringi dengan seringaian yang mampu membuat bulu kuduk Wendy meremang.   ***   Bersambung…   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD