Langit kota Bandung hari ini tampak cerah. Matahari seakan bersahabat bagi setiap manusia untuk beraktivitas. Meski kini kota Bandung tak lagi terlalu dingin dan sejuk seperti beberapa tahun yang lalu yang mungkin saja akibat global warming dan asap kendaraan yang kini memadati jalanan utama. Kemacetan Bandung mungkin tak separah kota Jakarta. Tapi meski begitu macet tetaplah macet yang selalu bisa membuat banyak pengendara naik pitam saat bergelut dengan aspal dan bau asap knalpot kendaraan.
Sama halnya bagi pemuda yang akan beranjak berusia 29 tahun―Profesinya yang sebagai kurir katering mengharuskan ia mengantar makanan di perumahan-perumahan elite kota Bandung. Ia mendapat daerah pengiriman di kawasan Bandung selatan. Dalam enam hari ia akan terus berjibaku dengan jalanan untuk mengantar pesanan pelanggan dari mulai pukul sembilan pagi hingga pukul setengah dua belas siang.
"Ricon, ini tagihan buat Tante Mei Lan ya. Jangan lupa bilang ini tagihannya numpuk dua minggu, jadi harus segera dibayar," ucap Ci Siska―bos katering rumahan tempat Ricon bekerja.
Ricon―nama pemuda itu―menghentikan tangannya yang sedang menata tiga puluh kotak makanan dalam keranjang yang sudah diikat kuat di atas motor bebek 125 cc warna hitam abunya. Ia memerhatikan perintah dari Bosnya itu dan segera mengambil nota pembayaran untuk diberikan pada pelanggan katering.
"Iyah, Ci, nanti saya sampaikan."
Setelah membalas perintah dari bosnya tangan Ricon kembali menata box yang terdiri dari dua macam; basah dan kering. Basah untuk yang berkuah dan kering biasanya untuk lauk-pauk.
Tangan Ricon sebagai laki-laki dewasa sungguh menggoda. Kulitnya yang kuning kecoklatan tampak eksotis dengan pahatan otot-otot tangannya yang menonjol di beberapa bagian membuatnya semakin memesona.
Tak perlu ia melatih tubuh ke area fitness. Pekerjaannya sejak remaja sudah kasar. Bahkan menjadi kuli bangunan pun pernah ia lakoni. Meski sering kali ia diolok-olok oleh rekan sesama kerjanya bahwa paras wajahnya tak cocok untuk bekerja kasar. Namun apa daya garis hidup laki-laki perpaduan Minang dan Sunda ini harus demikian. Diejek hal seperti itu Ricon hanya tersenyum tipis. Kadang kala ia membalas agar mereka tak memandang Ricon dari tampangnya.
"Alhamdulillah, bila saya menawan." Begitu jawabnya simpel. Toh laki-laki itu memang tidak bohong bila ia menawan. Meski begitu hingga usianya 28 tahun belum sekali pun Ricon merasakan yang namanya pacaran. Baginya hal itu belum prioritas. Ia pun tak ingin mengulang kembali kisah tragis orang tuanya.
Azan zuhur sebentar lagi akan tiba. Box makanan sudah sampai di rumah para pelanggan. Mendekati azan Ricon akan segera menuju masjid terdekat. Masjid Subulussalam sudah menjadi masjid langganannya untuk menunaikan salat zuhur berjemaah. Para DKM―Dewan Keamanan Masjid pun sudah mengenal Ricon. Tak jarang kala bulan ramadan tiba, ia diminta bantuan untuk membantu persiapan takjil dan Idul Fitri.
Setelah ia beruwudu, Ricon memasuki ruangan utama masjid. Siang ini saat ia tiba di depan masjid tadi untuk memarkirkan motornya, ia dimintai tolong untuk mengumandangkan azan. Ricon melihat jam dinding pada atas mimbar masjid yang sudah tertera jadwal salat. Kurang dari tujuh menit lagi ia akan melantunkan seruan azan bagi umat muslim untuk segera menunaikan ibadah pada Sang Pencipta. Ricon pun mengeluarkan ponselnya untuk segera menonaktifkan nada dering tanpa diberi getar. Karena meski hanya bergetar Ricon khawatir akan tetap mengusik ketenangan beribadahnya.
Sebelum ia menonaktifkan nada ponsel dan getarnya, Ricon melihat sebuah pop up message,
Gina Mn
Uda, jangan lupa bawain pesenan aku. Nanti kalau lupa nggak aku bantuin promo jualan lagi?
Ricon tersenyum tipis atas pesan w******p Gina―tetangga dekat tempat ia tinggal. Sudah lebih dari sepuluh tahun mereka saling kenal dan begitu akrab. Senyumannya buyar begitu saja, ketika seorang DKM menepuk pundaknya untuk segera mengumandangkan azan.
Ia segera bangkit dan mengambil posisi mendekati microphone. Hatinya selalu berdesir kala akan melakukan azan. Ia tahu pahala bagi para muazin tapi kali ini bukan mengenai hal itu. Saat-saat azan seperti ini selalu mengingatkan Ricon akan ayahnya yang sudah tiada.
Setelah mengucapkan Bismilahirrahnirahim, segera Ricon mengundangkan azan. Suaranya begitu merdu dan syahdu. Tak sedikit jemaah di daerah ini yang mengenal suara azan Ricon. Bahkan saat bulan ramadan tiba, bila ada jadwal Ricon membantu masjid dan membantu persiapan takjil dan tarawih, akan banyak jemaah remaja gadis yang berdatangan. Wajah dan suara Ricon bagi para gadis-gadis itu mungkin tak ubah layaknya idol Korea. Untung saja mereka tak bertingkah histeris kala melihat Ricon. Bila seperti itu, bisa dipastikan akan membuat pemuda ini malu bukan kepalang.
***
"Mana?" todong seorang gadis bercelana jeans panjang dengan kaos oblong warna mocca yang kedodoran.
"Salam dulu, Gina," ucap Ricon datar.
Gina mendengus, "Iyah, Assalamualaikum, mana?" tanyanya sekali lagi dengan nada menodong menampakkan seringai senyuman jahilnya yang manis.
"Waalaikumsalam." Ricon menjawab sambil mengangkat dagunya ke arah meja ruang tamu rumah kecilnya itu. Di atas meja terdapat box bening yang tertera di atasnya tulisan microwave.
Gina segera berlari menuju meja makan. Ia begitu gembira. Dengan segera dibukanya kresek dan tutup box bening itu. Aroma baso cilok jando dengan kuah yang sudah diberi perasan jeruk sambal begitu memabukkan bagi gadis berusia 22 tahun itu.
Gina menggoyang-goyanngkan badannya ke kanan dan ke kiri, sembari mendendangkan lagu 'hareudang' itu dengan riangnya. Gadis itu menghirup aroma baso aci dalam-dalam, "hm...," tangannya dikibaskan ke arah hidungnya dengan gerakan lambat nan menghayati,
"Aromanya enak, Uda. Sini ayo ikut makan."
Ricon hanya menggeleng dan tersenyum tipis. Ia tahu gadis itu hanya basa-basi saja untuk menawari makanan kesukaannya. Ricon segera beranjak menuju etalase kecil tempat penyimpanan barang-barang jualan online di beberapa market place.
TOSERBA GANTENG
Itu adalah nama pemberian gadis aneh yang kini sedang melahap habis baso aci.
Saat Ricon sedang melakukan pengecekan terhadap stok jualannya tangannya terhenti ketika Gina mengucapkan sesuatu.
“Uda, jadi cuti? Nanti keenakan, dong, Uda bisa lihat bikini cewek bule disana," ucap Gina dengan bibirnya dikerucutkan tanda ia tak senang membayangkannya.
“Uda, kan, nggak pergi ke Bali,” kata Ricon tanpa menoleh sedikitpun. Tangannya masih sibuk menghitung stok barang jualannya.
“Oh, iya, yah. Gina lupa,” ucap Gina sambil tertawa pelan dan menggaruk kepalanya. Tiba-tiba ia terperangah seakan teringat akan sesuatu. “Hm … besok hari peringatan kepergian orang tua, Uda, kan?” tanya Gina pelan sembari menatap punggung Ricon yang kini tampak sedikit menegang atas pertanyaan Gina.
“Iyah.” Ricon hanya menjawab singkat. Hari kematian orang tuanya adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Setiap manusia tidak akan pernah siap dengan namanya perpisahan terlebih lagi perpisahan selamanya bernama kematian. Kepergian kedua orang tuanya sekaligus sungguh meninggalkan luka dalam bagi Ricon kala masih remaja SMA. Belum lagi beberapa hari sebelum kematian orang tuanya, ayah dan ibunya sedang bertengkar hebat. Ricon tak tahu perkara apa yang menjadi latar perdebatan dua orang dewasa itu. Ia hanya mendengar kata perselingkuhan yang terucap dari bibir ibunya yang ditujukan pada ayahnya. Padahal sebelumnya kedua orang tuanya itu tampak harmonis bagi Ricon.
Mengenang kembali masa-masa kelam itu, membuat Ricon meneteskan bulir air mata, namun tangannya menggenggam erat tali waistbag pesanan pelanggan online yang hendak ia packing dan dikirim nanti sore. Kemudian ia mendesah begitu lirih sembari mengusap wajahnya pelan, “Astagfirullah.”
Gina tahu bahwa luka laki-laki tampan itu teramat dalam. Tanpa sadar ia pun ikut merasakan nyeri di dalam dadanya hingga air matanya ikut luruh. Laki-laki yang selalu menjaganya sejak kepindahannya di kampung tempat tinggal Gina saat ini sebelas tahun yang lalu. Laki-laki mandiri dan pekerja keras tanpa orang tua membuatnya kagum. Laki-laki yang awalnya bagi Gina adalah seorang kakak namun perlahan membuat degup jantungnya tak menentu.
“Uda, orang hebat. Hingga saat ini, Uda, bisa bertahan dengan sangat baik. Gina kagum sama, Uda,” ucap Gina tulus. Gina sayang Uda kata-kata ini hanya mampu ia ucapkan dalam hati. Ia belum siap bila harus menyatakan sekarang ini.
“Terima kasih.” Ricon hanya menjawab lirih ucapan tulus dari Gina membuatnya sedikit tenang