Chapter 1

1016 Words
Selamat membaca Jam menunjukkan pukul 06.50. Prawira menuruni tangga dengan langkah tergesa-gesa sambil mengenakan setelan jas hitam favoritnya "Gawat, aku pasti terlambat!" Gumamnya resah sambil melirik ke arah jam tangannya setelah jas hitam melekat di tubuh tegapnya. Walaupun ia sudah berumur 41 tahun, tapi tidak bisa di pungkiri jika pesonanya masih terpancar kuat. Wajahnya masih terlihat tampan seperti saat ia muda, garis-garis kerutan di wajahnya juga tidak terlalu terlihat, bahkan tubuhnya juga tetap atletis dan tidak berubah di umurnya yang sudah menginjak kepala empat. Tentu saja, karena ia rajin berolahraga untuk menjaga bentuk tubuhnya. "Megan, kamu nanti berangkat sekolah dianterin Pak Karyo, ya. Papa ada urusan penting di kantor," ucapnya ringan kepada putri semata wayangnya yang sedang menyantap sarapannya di meja makan. Tangan Megan terhenti ketika ingin memasukkan roti bakar ke dalam mulutnya. Ia menoleh ke arah ayahnya yang sedang merapikan setelan jas kerja sambil berjalan ke arahnya. "Hari ini kan aku wisuda, Pa," ungkap Megan berusaha untuk tetap bersikap biasa saja. "Nanti kalau urusan Papa di kantor udah selesai, Papa langsung ke sekolah kamu." "Udah ya, Papa berangkat sekarang," tukasnya singkat dan berjalan terburu-buru dengan langkah lebar menuju pintu depan. Megan menatap lurus punggung ayahnya dari belakang dengan kedua tangan yang terkepal erat. Kemudian ia melirik ke arah piring yang berisi roti bakar dan segelas s**u di atas meja yang masih utuh. Sarapan yang sudah ia siapkan untuk ayahnya. Tatapannya beralih ke arah kursi kosong tepat di hadapannya. Kursi yang biasanya ditempati oleh ibunya yang sekarang harus dirawat di rumah sakit karena mengidap penyakit kanker darah 4 bulan yang lalu. "Papa berubah, Ma," lirihnya pilu sambil menatap nanar ke arah kursi kosong itu. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Sunyi! Tatapannya melemah. Ia rindu suasana hangat yang dulu menyelimuti keluarganya. Ia rindu senyuman dan canda tawa yang menghiasi setiap harinya. Rindu dengan sosok ayah yang dulu begitu menyayanginya dengan sepenuh hati. Ayah yang akan mengutamakan dan memprioritaskan keluarganya terlebih dahulu daripada apapun. Dan juga ayah yang perhatian dan pengertian. Ia merindukannya... Semenjak beberapa tahun terakhir ini, perubahan di dalam diri ayahnya mulai terlihat. Ayahnya mulai jarang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dia lebih sering lembur dan mementingkan pekerjaan kantor. Padahal dulu ayahnya tidak pernah memedulikan tentang hal itu karena dialah pemimpinnya, sekaligus pemilik perusahaan itu. Tapi sekarang urusan perusahaan menjadi yang nomor satu baginya. Sebelumnya ayahnya juga tidak pernah menyukai jika harus melakukan perjalanan bisnis ke luar kota maupun ke luar negri yang menginap sampai berhari-hari, karena dia tidak ingin meninggalkan keluarganya terlalu lama. Tapi sekarang berbeda, ayahnya tidak lagi mengeluh. Justru dia terlihat begitu bersemangat ketika akan melakukan perjalanan bisnis. Dan perubahan terbesar dalam diri ayahnya semakin terlihat ketika ibunya masuk ke dalam rumah sakit. Ayahnya menjadi seseorang yang gila kerja dan jarang pulang ke rumah. Bahkan ketika ayahnya berada di rumah sekalipun, dia lebih memilih menyibukkan diri dengan ponsel daripada menghabiskan waktu dan mengobrol dengan putrinya sendiri. Seakan mereka seperti orang asing yang dibatasi jarak di antara keduanya. Megan menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan secara perlahan. Ia beranjak dari kursi dan segera membereskan meja makan, karena ia sudah tidak bernafsu lagi untuk melanjutkan sarapannya. Ia membuang roti bakar ke dalam tempat sampah dan membuang s**u yang tak tersentuh itu ke wastafel. Ia mencengkeram erat pinggir-pinggir wastafel untuk menyalurkan emosinya. Walaupun ia sudah berusaha keras menekan emosi yang ada di dalam dirinya, tapi tetap saja ucapan yang tadi dilontarkan ayahnya berhasil menyulut emosi yang sudah ia tahan sejak lama. Nyaris saja air mukanya hancur ketika mendengar ucapan ayahnya yang sama sekali tidak merasa bersalah ketika dengan santainya lebih memilih untuk menyelesaikan urusan kantor terlebih dahulu daripada menghadiri acara wisuda putrinya. Ceklek Megan menoleh ke arah suara pintu yang terbuka dan mendapati seorang wanita paruh baya berjalan menghampirinya dengan raut wajah yang terlihat merasa bersalah. "Aduh!" "Maaf ya, Dek Megan. Bibi terlambat, tadi di jalan macet total," tuturnya merasa tidak enak. Megan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Bi," sahutnya ringan. "Dek Megan hari ini wisuda, kan? Kenapa belum berangkat ke sekolah?" "Bibi kira tadi udah berangkat sama Pak Prawira, soalnya Bibi ketemu mobil Bapak di jalan." "Papa ke kantor, Bi. Ada urusan penting yang nggak bisa di tinggal. Nanti katanya mau nyusul ke sekolah kalau udah selesai." Darsini terdiam. Ia baru saja menyadari jika ucapannya barusan justru hanya akan semakin membuat Megan kecewa dan sedih. Karena Megan pasti akan teringat kembali dengan sikap ayahnya yang terlihat acuh tak acuh dan tidak peduli dengan acara wisudanya. Megan yang merasakan suasana di antara dirinya dan Darsini berubah menjadi canggung, akhirnya memutuskan untuk segera berpamitan ke sekolah bersama dengan sopir pribadi mamanya. "Ya udah, Bi. Megan berangkat dulu, takutnya terlambat." "Oh iya, hati-hati ya, Dek." Megan hanya mengangguk dan berjalan ke arah pintu. Sebenarnya jika sekarang Megan tidak memakai kebaya dan rambutnya disanggul, ia pasti sudah berangkat ke sekolah mengendarai motor seperti biasanya. Tapi karena keadaannya sedang ribet seperti ini, jadi ia tidak menolak diantar oleh pak Karyo agar ia nantinya tidak kerepotan di jalan. Ditambah lagi ia harus menghargai jasa perias yang sudah bekerja keras dan rela datang pagi-pagi ke rumah hanya untuk merias wajahnya. "Semangat, Dek Megan. Semoga lancar ya acaranya!" Seru Darsini riang. Megan terhenti. Padahal ayahnya sendiri tidak mengatakan apapun di hari yang penting baginya ini. Kenapa ia harus mendengar kalimat itu dari orang lain? Kenapa tidak ada salah satu keluarganya yang mencoba untuk memberikan semangat untuknya? Ia tidak mengharapkan ayahnya memberinya hadiah mahal ataupun mengucapkan kata-kata semangat yang indah untuknya. Ia hanya ingin ayahnya berada di sisinya, itu saja. Walaupun hanya sebentar. Megan menoleh ke arah Darsini dengan tatapan nanar. "Makasih, Bi," lirihnya tersenyum sayu. Setelah Megan keluar dari rumah, tatapan Darsini berubah sendu. Dulunya keluarga ini bukanlah keluarga yang hambar seperti ini. Keluarga ini begitu terlihat hangat dan bahagia. Tapi sekarang kehangatan itu sudah menghilang digantikan oleh suasana yang dingin. Bahkan anak yang ia kenal sebagai anak yang begitu ceria dan aktif, sekarang harus berubah menjadi anak yang pendiam dan kaku karena kecewa dan tidak bisa menerima keadaan keluarganya yang sekarang. Ia berharap semoga keluarga ini dapat kembali lagi seperti dulu. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD