Chapter 16 : Young, Dumb, and New Lover

1892 Words
"He hates me." Emily menghentikan pekerjaannya dan mendongak menatap Maureen yang berdiri memeluk pilar kayu ranjang. Sudah dua minggu kejadian malam tahun baru itu terjadi namun tampaknya masih membuat Maureen frustasi. Bahkan sejak tadi pagi Emily datang ke kediaman keluarga Grisham. Maureen tidak henti-hentinya merengek. "Dia tidak membencimu, Maureen." "Benarkah?", tanya Maureen. Sebelah alisnya terangkat.   Emily mengangkat bahunya santai. "Dia hanya marah kepadamu. Mungkin." "Kau sama sekali tidak membantu!" "Lalu apa yang harus kulakukan? Kau sendiri kenapa bisa-bisanya mencium Aram malam itu?", tanya Emily. "Dan jangan salahkan scotch yang kau minum.", ia bisa menebak apa yang hendak dikatakan Maureen. Maureen berdecak lidah. Ia duduk di tepi ranjang. "Aku benar-benar menyukainya." "Aku tahu. Tapi tidak bisakah kau menahan dirimu sedikit? Kau punya gelar sarjana dan pemilik merek parfum terkenal tapi kau merengek karena pria." "Untung saja kau sahabatku. Kalau tidak aku akan menjahit bibirmu." Emily memutar matanya. "Daripada kau buang-buang waktu memikirkan Aram. Lebih baik kau membantuku.", ia menurunkan macbook di pangkuannya dan menunjukkan Maureen menu yang ia buat untuk kafe yang ingin dibukanya. "Bagaiamana menurutmu? Apa menunya terlalu banyak?" Maureen mengecek sekilas. Ia tidak terlalu mengerti tentang masakan terutama pastry. Ia mendesah pelan. "Kau sebaiknya minta pendapat pada Aram. Secara dia memiliki hotel. Aku yakin ia dengan senang hati membantumu." "Benar juga...", gumamnya. "Kalau begitu aku akan pergi ke kantornya.", tambah Emily sambil menutup mac-nya dan mulai membereskan barang-barangnya. "Aku ingin ikut." "Yang benar saja?", Emily menatap Maureen dengan sebelah alis terangkat tinggi. Kemudian ia kembali membereskan barangnya dan mulai memasukkan kedalam tas.  Emily turun dari ranjang, mengintarinya dan memeluk Maureen singkat. "Aku akan menghubungimu." "Tolong tanyakan Aram kapan ia akan menerima permintaan maafku." Emily terkekeh pelan. "I'll text you.", katanya sambil lalu. ... Aram duduk bersandar pada kursi di ujung meja rapat. Tangannya mengusap dagu dan matanya fokus pada presentasi yang kali ini disajikan oleh divisi marketing untuk perencanaan selama satu tahun kedepan.  "Mr. Davis, bisakah berhenti sebentar?" Matthew Davis- kepala divisi marketing yang tadinya sedang menjelaskan kini terdiam ketika mendengar perintah Aram. "Courtyard Spa dan Resort yang berada di Singapore. Sebentar lagi akan ada perayaan tahun baru imlek. Kenapa tidak ada perencanaan apapun? Sementara di Shanghai ada." Matthew mengerjap. Ia menoleh menatap kearah layar presentasi dan mencari lokasi di dalam tabel hotel yang disebutkan. Benar saja pertanyaan yang di lontarkan Aram. Di dalam tabel tahunan itu tidak ada apapun keterangan mengenai tahun baru imlek. Hanya ada acara dan promosi seputar hari valentine. Seingatnya, ia sudah memasukkan tahun baru imlek di tabel khusus hotel ataupun resort yang ada di Asia. Namun sepertinya ia kelewatan. "Maafkan kesalahan saya. Saya akan perbaiki." Aram tidak berekasi apapun membuat Matthew meneguk salivanya susah payah. Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia melirik ketua divisi lainnya yang pastinya juga merasakan hal yang sama seperti Matthew. Matthew terbilang karyawan baru di Langford Internasional. Dalam hati ia berharap agar tidak dipecat hanya karena masalah ini. Ia mendengar dari beberapa orang jika Aram lebih tegas dibandingkan Adrian ketika bekerja. Namun di luar dugaan, Aram tidak marah. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu hanya berdehem pelan sebelum mengatakan, "Aku tunggu perbaikannya setelah makan siang." Aram melirik sekretarisnya yang sejak tadi menjadi notulen. "Jangan lupa kau cek lagi." "Baik, sir.", sahut sekretaris Aram. Matthew menghela napas lega. "Boleh saya lanjutkan?" Aram mengangkat sebelah tangannya untuk mempesilahkan. Matthew kembali melanjutkan presentasinya. Beberapa saat berlalu dan kini kepala divisi keuangan yang gilir mempresentasikan masalah keuangan tahun lalu. Berapa banyak keuntungan atau kerugian yang diperoleh Langford Internasional dari semua properti yang dimiliki. Namun saat kepala divisi keuangan baru membuka presentasi. Sekretaris Aram yang lainnya masuk kedalam ruang rapat. Ia berdiri di belakang Aram, membungkuk, dan membisikkan sesuatu. "Maaf mengganggu anda, sir. Emily Heywood ada di lobi." Aram menelengkan kepalanya. "Terima kasih." "Saya pamit, sir." Aram menangkat sudut bibirnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku dalam jas yang dikenakannya dan mengetikkan pesan agar Emily menunggu beberapa saat lagi. Ia tidak bisa meninggalkan rapat begitu saja meski ia ingin melakukannya. Rapat ini terlalu penting. Setelah mendapatkan balasan dari Emily. Aram akhirnya dapat mendengarkan kembali rapat tanpa perlu fokusnya terpecah.  Wanita itu sudah menyetujui untuk menunggu. Sekitar satu jam kemudian. Rapat akhirnya usai. Semua orang di dalam ruangan berdiri dibelakang meja dan menunduk memberi hormat. Aram bangkit berdiri, mengangguk singkat dan berlalu diikuti sekretarisnya. Dengan cepat ia melangkah kembali ke ruangannya untuk mengambil mantel dan dompetnya di dalam laci meja kerja. Kemudian keluar dan menuju meja sekretarisnya. "Amanda, tangani revisi-revisi saat rapat tadi. Saya ada urusan keluarga." "Siap, sir." Aram buru-buru masuk ke dalam lift khusus untuknya. Tidak butuh waktu lama agar ia akhirnya sampai di lobi. Sambil memasukkan ponsel dan dompetnya kedalam saku mantel. Aram berjalan menuju ruang tunggu. Ia menghampiri Emily yang tampak serius mengetik di macbook-nya sampai tidak menyadari jika Aram sudah berdiri di sebrangnya. Bahkan beberapa saat Aram menunggu- wanita itu masih fokus. Aram melipat tangannya di depan d**a. Ia menggelengkan kepalanya dan mengedarkan pandangan kesekitar. Tampaknya orang-orang yang melihatnya mulai penasaran. Pasalnya Aram tidak pernah berada di lobi lebih dari dua menit. Terlebih bersama dengan seorang wanita. Ralat- menunggu wanita. "Sampai kapan kau mau disini?" Emily gelagapan dan mendongak menatap Aram. Ia menutup layar mac-nya dengan cepat. "Kapan kau datang?" Aram melihat jam tangannya. "Sejak sepuluh menit yang lalu." Emily meringis. "Dan kenapa kau diam saja?", gerutunya. Dalam hati Aram memaki sebuah kalimat 'wanita selalu benar' yang kini sedang terjadi padanya. Aram dengan sigap membantu Emily membawakan tas berisi buku atau kertas- Aram tidak tahu intinya cukup berat untuk ukuran Emily- ketika wanita itu bangkit berdiri.  "Kau mau kemana?", tanya Aram kebingungan. Emily berjalan berlawanan arah dengannya. Wanita itu berjalan menuju lift sedangkan Aram menuju pintu keluar. Emily menoleh kebelakang. "Bukankah ruanganmu diatas?" Aram mendesah. "Kau tidak lihat aku sudah memakai mantelku?", sindirnya. "Lagipula itulah kenapa aku menyuruhmu menunggu di lobi daripada di ruanganku." "Kita mau kemana?", Aram tidak menjawab. Ia menghampiri, merengkuh dan menggeret Emily menuju pintu keluar membuat orang-orang yang melihatnya kebingungan. Terutama semua kaum hawa yang menganggap Aram Langford adalah calon suami idaman. Seketika mereka merasa sedang patah hati. ... "Emily, perkenalkan Antonio." Aram mencoba memperkenalkan Emily pada salah satu teman dekatnya- tidak bisa dikatakan sahabat karena sejujurnya menurut Aram tidak ada perbedaan anatara teman dekat dan sahabat. "Dan Antonio... perkenalkan Emily." Emily mengulas senyuman ramah di bibirnya. Ia mengulurkan tangannya. "Emily." Antonio menerima uluran tangan Emily. Kemudian membungkuk dan mencium punggung telapak tangannya seolah Emily adalah bangsawan. "Antonio." "Nice to know you, Antonio." Antonio melepaskan tangan Emily perlahan sambil meneggakkan tubuhnya. Ia memberikan senyuman terbaiknya. Ia menoleh menatap Aram dan berkata. "Zut! elle est magnifique." Aram hendak memperingati Antonio. Namun Emily lebih cepat memotong ucapannya. "Je vous remercie. Vous aussi." "Oh kau bisa berbahasa perancis." Antonio tidak mengira jika Emily bisa mengerti dan mengguakan bahasa ibunya. Ia menoleh menatap Aram dan Emily bergantian. Lalu tersenyum sungkan. "Aku tadi baru ingin memperingatimu, dude." timpal Aram dengan santai. Antonio memiringkan sedikit tubuhnya dan berbisik pada Aram. "Lain kali kau peringati lebih cepat. Aku jadi malu." Aram hanya mengangkat sudut bibirnya. "Jadi? Kalian ingin memesan apa?", tanya Antonio. Saat ini Emily dan Aram berada di salah satu hotel milik Langford International yang terdekat- Hampstead Heat. Aram sengaja membawa Emily kemari karena wanita itu tadi mengatakan ingin belajar lebih banyak tentang bisnis terutama di bidang kuliner sebelum membuka toko pastry keinginannya. Dan kebetulan, Antonio adalah kepala koki yang sangat berpengalaman dalam bidangnya dan bekerja di restoran yang ada di hotel itu. "Sebenarnya aku kemari karena ingin memperkenalkan kalian. Emily butuh saran untuk membuka kafe. Dan aku percaya kau bisa membantunya." Antonio mengangguk mantap. "Oh tentang itu tidak perlu khawatir. Dengan senang hati aku akan membantunya.", ia menoleh menatap Emily. "Mungkin kalau kau mau aku juga bisa mengajarimu memasak." Aram mendengus. "Dia lulusan Le Cordon Blue dan pernah menjadi karyawan magang di Gordon Ramsay." Emily yang mendengar Aram mulai menyombongkan diri untuknya kini memutar mata. "Aram...", peringatnya. "Apa?", tanyanya dengan santai. "Biarkan aku belajar dengannya. Kau sendiri yang bilang jika Antonio bisa kau percaya untuk membantuku." Aram terdiam beberapa saat sambil melirik Antonio. Ia memang percaya jika pria itu bisa di andalkan dalam hal berbisnis. Tapi untuk masalah merayu. Aram jadi tidak yakin jika Antonio orang yang tepat. Bisa jadi Emily menjadi korban rayuan pria itu. "Aku tinggal sebentar menemui direktur diatas.", terdengar tidak berhubungan, namun jawaban itu merupakan tanda jika Aram akhirnya setuju setelah berpikir lagi. "Je te préviens, Antonio." Antonio menyeringai dan mengedipkan sebelah matanya. "Ne t'inquiète pas. Elle est en sécurité avec moi. Au revoir alors.", kemudian ia membawa Emily menuju ke ruang kerjanya yang ada di dekat dapur terbuka. Disana. Antonio mempersilahkan Emily duduk di kursi kerjanya sementara ia duduk di sofa sambil sedikit merenggangkan ototnya. "Aku senang kau kemari." "Hmm?" Antonio terkekeh pelan melihat wajah polos Emily yang kebingungan. "Maksudku.. aku senang ketika Aram datang kemari. Aku jadi ada waktu istirahat." "Oh aku tahu rasanya.", timpal Emily.  "Ketika aku magang di Gordon Ramsay. Aku menjadi salah satu karyawan favorit manajer disana. Jadi ketika ia datang, ia akan mengajakku minum kopi." "Hmmm dan anehnya aku bertahan." Emily tertawa renyah. "Itu karena kau menyukai pekerjaannmu. Begitupula denganku." "Tapi aku heran..." Antonio meneggakkan tubuhnya. "Kau. Emily Heywood. Bekerja?" Emily meletakkan sikunya diatas meja dan bertopang dagu. "Bagaimana denganmu? Antonio Maxwell? Kau seharusnya bisa membuka restoran sendiri. Tapi kenapa malah bekerja dengan Aram?" Antonio mengangkat bahunya samar. Kemudian kembali menyandarkan punggungnya yang terasa remuk. "Well... Aku bukanlah penggila harta. Jadi aku bekerja hanya untuk sebatas menikmati hidup." Saat dalam perjalanan dari kantor pusat Aram ke hotel. Aram bercerita mengenai keluarga Antonio yang kaya raya di perancis. Namun pria itu tidak memakai kekayaan keluarganya sedikitpun. Malah semuanya nyaris dimasukkan kedalam asuransi dan juga sumbangan untuk orang yang membutuhkan. Jadi bisa dibayangkan berapa kekayaan yang akan diterima istri dan anaknya kelak ketika ia meninggal? "Kalau aku, sebatas menyibukkan diri." Antonio berdehem pelan. "Agar tidak teringat kejadian lima tahun lalu?" Emily mengerjap. Kemudian mengangguk kecil. "Tidak juga.", jawabnya ambigu. Mereka terdiam beberapa detik sebelum Antonio berkata, "Lupakan! Sebaiknya kita mulai." Antonio bangkit berdiri. Ia berpindah duduk di kursi di depan meja kerjanya di sebrang Emily. "Kau mau mulai darimana?", tanyanya cepat untuk mengalihkan topik. "Aku tidak tahu. Itu kenapa aku kemari." "Benar juga...", gumam Antonio konyol membuat Emily terkekeh pelan. "Kalau begitu kita mulai dari produk dan pelayanan." Emily mendengarkan penjelasan Antonio dengan serius kurang lebih selama satu jam. Terutama ketika pria itu menjelaskan tentang produksi pastry yang tentunya lebih rumit dan juga rentan rusak dibandingkan hidangan berat. Ia mencatat semuanya di dalam sebuah buku agenda berukuran sedang dan sesekali menatap pria itu. "Bagaimana? Kau paham?" "Aku paham.", jawab Emily. "Apa lagi yang ingin kau dengarkan?" "Langkah apa saja yang harus kuambil untuk pertama kali? Maksudku apa yang harus kusiapkan? Tempat? Peralatan?" Antonio melirik kearah jam dinding yang menempel di belakang Emily. Ia meringis pelan. "Ini sudah lewat jam makan siang. Apa kau tidak ingin makan terlebih dahulu?" Emily mengecek jam tangannya. Ia mendesah pelan. "Oh iya.", gumamnya. "Aku akan menghubungi Aram untuk bergabung makan siang. Aku yakin dia juga belum.", tambahnya sambil mengambil ponselnya dari dalam tas. Antonio mengangguk kecil. "Kalau begitu aku akan menyiapkan meja untuk kita." Emily tersenyum simpul. "Terima kasih." Antonio keluar dan menutup pintu. Sebelum beranjak pergi, ia menyempatkan diri mengamati Emily yang sedang menghubungi Aram dari jendela ruangannya. Dan seulas senyum simpul terukir di bibirnya.  "Akhirnya Aram kembali membuka hatinya untuk seseorang.", gumamnya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD