Chapter 1 : Back To December

2201 Words
5 years later December, 1st 2019 Portland, Oregon United States Pagi ini Emily terbangun dengan perasaan jauh lebih baik. Selama lima tahun terakhir ia telah menghabiskan waktu untuk berlari dan menghindar semua kenyataan pahit dalam hidupnya. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan, menghadapi kebahagiaan yang menantinya karena takut dunia akan kembali mengecewakannya. Tapi pada akhirnya ia sadar, itulah yang namanya hidup. Lagipula tidak ada jaminan jika waktu akan menyembuhkan semua penderitaanya. Hanya dirinya sendiri yang mampu bahkan memulihkan semua penderitaan itu sampai tak bersisa. Untuk itu ia akan pulang. Ia akan kembali ke London dan berkumpul bersama orang-orang dimasa lalunya. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Emily mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Memperhatikan setiap detail ruangan tersebut sembari membayangkan kejadian-kejadian mulai dari kedatangannya hingga saat ini. Ia mengulas senyum tipis. Lalu mengenakan syal yang tersampir di sandaran sofa setelah puas mengamati. Tempat ini tidak mungkin akan terlupakan. Semua masa-masa sulit hingga ia dapat bangkit kembali ada disini. Dan selalu tetap di sini sebagai pengingat bahwa semua penderitaannya yang menjadikan dirinya seperti saat ini. Menjadikan dirinya sebagai manusia yang lebih kuat. "Miss Heywood. Mobil sudah siap.", Emily menoleh kebelakang, lalu mengangguk kecil pada pria berambut hitam yang akan mengantarnya ke bandara hari ini. Pria itu membawakan dua koper besar miliknya keluar. Perlahan Emily melangkah mundur, mematikan semua lampu, dan menutup pintu. ... December, 2nd 2019   8.20 AM London, United Kingdom Sepuluh jam lebih dua puluh satu menit perjalanan non-stop Portland ke London yang dilalui Emily tidak membuatnya lelah. Semuanya terbayarkan ketika manik mata biru semburat putih bagaikan gletser es yang indah melihat pemandangan kota sepanjang Heathrow Airport menuju mansion. Tidak banyak yang berubah dari terakhir kali yang ia lihat. Semuanya masih terlihat sama. Hanya saja karena ini memasuki bulan Desember, maka banyak sekali lampu-lampu berwarna melintang ke sebrang jalan, pohon-pohon yang dihias, dan juga ornamen-ornamen khas natal disetiap toko maupun rumah-rumah. Berbicara mengenai natal. Natal adalah hari yang sangat magis bagi Emily. Nyaris semua apa yang diinginkannya terkabul. Namun semuanya berubah ketika kejadian itu. Mengubah semua perspektifnya mengenai keajaiban yang selalu dirasakannya hingga semangat natalnya hilang. Emily tidak membenci natal, hanya saja ia tidak lagi merayakannya sejak saat itu. Ia menyibukkan diri di apartemennya yang berada di Grand Belmont selama sebulan hingga tahun berganti. Setelah itu barulah ia keluar dan menjalani rutinitasnya kembali. Tapi untuk tahun ini? Ia akan mempertimbangkannya. Tergantung pada adik dan ibunya merayakan atau tidak. Mobil yang ditumpangi Emily kini berbelok di jalan Kensington Palace Garden, berhenti tepat di depan gerbang besar dan tinggi yang terbuat dari perunggu emas. Diatas gerbang tersebut terdapat ukiran dengan huruf H yang tampak sangat indah. Satu hal baru yang dilihatnya sebelum mobil masuk dengan kecepatan rendah melewati drive way dan mengintari air mancur.  "Selamat datang, sayang.", Emily langsung disambut Natalie Heywood ketika baru saja turun dari dalam mobil. Tampaknya wanita itu sudah menanti kedatangan Emily. Sementara supir yang tadi membukakan pintu untuknya kini membuka bagasi untuk mengurus koper yang dibawa Emily bersama dua orang pelayan. "Welcome home.", sapanya. "Hei, mom.", Emily memejamkan matanya. Ia meletakkan dagunya diatas bahu Natalie sembari mencium aroma lavender dari rambut cokelat keemasan ibunya yang sangat ia rindukan. "Aku sangat-sangat merindukanmu.", suara Natalie terdengar pecah karena begitu terharu. "Ya. Aku juga.", balas Emily sebelum mereka saling melepaskan diri. Natalie mengusap lembut pipi putrinya, menatap manik biru itu, lalu tersenyum simpul. "Kenapa?", tanya Emily. Ingin sekali ia bertanya pada putrinya apakah ia baik-baik saja? Bagaimana hidupnya di negara lain? Apakah kuliahnya lancar? Tapi ia menyadari jika pertanyaan itu mungkin menyulitkan putrinya. Beberapa kali Natalie mengunjungi psikiater dan semua dokter mengatakan jika sebaiknya Natalie tidak bertanya, membahas, ataupun sampai memaksa Emily untuk membicarakan masa lalu. Terkecuali jika Emily sendiri yang membahasnya. Untuk itu ia tidak akan bertanya. Cukup dengan kepulangan gadis itu mewakili semuanya. Natalie menggeleng kecil. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja mom sangat-sangat bersyukur akhirnya kau kembali.", tangannya menyisir rambut panjang Emily yang bergelombang. Emily mengangkat sudut bibirnya. "Aku tidak akan pergi lagi, mom.", "That's sounds good to me.", Natalie berusaha sekuat mungkin menahan air matanya. Ia tidak ingin kepulangan putrinya disambut dengan air mata meski itu adalah air mata bahagia. "Ayo kita masuk.". ia mengaitkan lengannya pada lengan Emily. Membawa gadis itu masuk kedalam mansion. Ketika mereka di dalam. Kepala pelayan yang sejak tadi berdiri di foyer memberikan senyuman terbaiknya kepada Emily. "Selamat datang, nona. Senang melihatmu lagi.", Emily memeluk singkat kepala pelayan itu. "Senang juga bisa melihatmu lagi, Lily.", ia ingat jelas wanita tua itu. "Aku tidak menyangka kau masih bertahan disini.", kalau tidak salah ingat. Sekitar sepuluh tahun lebih wanita itu mengabdi pada keluarga Heywood. Sejak Emily masih berusia tiga belas tahun. "Hanya keluarga ini yang saya miliki.", Kerutan samar muncul di kening Emily. Ia tidak mengerti apa maksud perkataan yang ambigu itu. Sedangkan Lily menangkapnya. Ia meringis. "Perceraian.", balasnya singkat. Emily mendesah pelan ketika Lily berlalu membantu menunjukkan arah untuk membawa koper itu ke dalam kamar. Ia turut prihatin. "Lily tidak memiliki keturunan. Jadi lebih baik jika dia tinggal bersama kita.", Natalie mencoba menjelaskan secara singkat. "Ah i see...", ia mendesah kemudian. Natalie mengusap lembut punggung Emily. "Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh. Istirahatlah...", Emily mengangguk, "Tapi...", ia menggantung kalimatnya. Matanya mencari-cari sosok seseorang sambil melihat kearah tangga. "Dimana Nate?", "Nathaniel masih ada ujian yang tidak bisa di tinggalkan di kampusnya. Sore nanti dia pulang.", "Baiklah kalau begitu. Aku akan ke kamar.", "Mom, tidak merubahnya sedikitpun. Masih sama seperti kau meninggalkannya.", Natalie perlahan melepaskan tangannya dari tubuh Emily. "Sampai bertemu saat makan malam.", Emily menaiki anak tangga. Lalu ia berhenti ketika baru menginjakkan kaki. "Ada apa?", tanya Natalie bingung. Ia sedikit mendongak menatap putrinya. "Aku ingin bertanya.", Natalie mengangkat bahunya. "Apa yang ingin kau tanyakan?", "Apa mom dan Nate merayakan Natal?", Pertanyaan itu terdengar menjebak bagi Natalie. Ia tidak mengerti apa isi hati dan pikiran putrinya sehingga sulit baginya untuk menjawab. Ia berdehem pelan. Berusaha menutupi keraguannya. "Tidak apa, mom. Jawab saja.", Natalie menggigit bibir bawahnya. "Tahun lalu kami merayakannya. Maaf tidak memberitahu atau mengirimkan hadiah. Kami pikir kau masih membutuhkan wa-". "Aku paham, mom.", sergah Emily sebelum Natalie sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak ingin ibunya dihatui rasa penyesalan sepanjang penjelasan itu. Dirinyapun juga tidak merasa tersinggung apabila ibu dan adiknya merayakan natal tahun lalu. "Tidak perlu minta maaf.", Natalie tidak bisa membalas sehingga keheningan menciptakan suasana yang cukup aneh bagi keduanya. "Bagaimana dengan tahun ini?", Emily kembali membuka pembicaraan. Ia turun dan mendekati Natalie. "Bagaimana denganmu?", Natalie mengembalikan pertanyaan itu. "Kinda missed it...", ia sengaja menggantungkan kalimatnya sembari membayangkan mansion dipenuhi dengan hiasan-hiasan natal. "Jadi aku ingin merayakannya.", "Kau apa?", mata Natalie melebar. Ia nyaris tidak mempercayai apa yang didengarnya. Apakah itu alasan kenapa putrinya tadi bertanya? Sedikit sulit untuk dipercaya. Emily menarik napasnya sebelum menjawab, "Aku ingin merayakan natal.", Ternyata Natalie tidak salah dengar. Seketika rasa lega meluap di dadanya. Ia menghela napas sambil mengusap kepala Emily. "Baiklah kalau kau ingin merayakannya.", "Jadi kapan kita akan menghias pohon natal dan mansion?", nada bertanya Emily terdengar riang. Tentu Natalie tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia terkekeh pelan, menarik putrinya dan mengantarnya ke kamar. "Kita bicarakan semuanya besok. Sekarang sebaiknya kau beristirahat.". ... Emily nyaris menjatuhkan snow globe dalam genggamannya ketika Nathaniel- adiknya membuka pintu dengan cepat hingga menimbulkan suara benturan antara dinding dan pintu kayu yang keras. Laki-laki berusia dua puluh tahun itu juga berteriak,"Emily! Oh my god-", pekiknya tertahan. "The hell, Nate?!", Emily memekik karena terkejut. Nathaniel sedikit berlari, memeluk Emily dengan erat. "I really miss you.", Emily mendorong tubuh Nathaniel dengan lengannya. Tangannya masih berusaha melindungi benda yang masih dibawanya. "Aku baru saja selesai mandi, Nate. Sedangkan kau penuh keringat dan bau! Jangan memelukku!". serunya sembari meringis. Bisa Emily lihat jika kening, leher, hingga sepanjang lengan laki-laki itu dipenuhi keringat. Nathaniel tersenyum lebar. Ia berpikir, jika bertemu dengan Emily setelah beberapa tahun kemudian akan terasa sangat canggung dan berbeda. Namun ternyata masih sama. Perempuan yang paling disayanginya di dunia ini selain Natalie itu tetap sama baginya. Meskipun ia tahu mungkin jauh dalam lubuk Emily. Ia berbeda. "Maafkan aku terlalu bersemangat. Siapa suruh selama ini kau nyaris tidak pernah menghubungiku?". Selama di negara lain. Bisa dihitung jari berapa banyak Emily menghubungi Nathaniel dan Natalie. Berbanding terbalik dengan mereka berdua yang selalu menghubungi Emily setiap seminggu satu kali namun tidak pernah diangkat. Emily memutar matanya. "Aku sibuk, Nate. Aku disana kuliah asal kau tahu. Bukan liburan...", "Sibuk menghindari maksudmu?", Nathaniel melipat tangannya didepan d**a. Emily yang baru meletakkan snow globe kedalam rak gantung diatas cerobong asap yang ada di kamarnya, menoleh. Lalu ia menghela napas sembari menepuk pahanya dan mengusap hingga tangannya masuk kedalam saku jeans. "Nate, don't start. Okay?", "Fine... Tapi aku ingin bertanya apakah kau baik-baik saja?", "Apa bedanya dengan pertanyaanmu sebelumnya?", Emily mencibir. Ia kembali melakukan aktivitas membongkar muat koper kecilnya. Sisanya telah diurus Lily saat dirinya tidur siang tadi. Nathaniel membantu Emily. Ia mengambil sebuah catokan dan menyodorkannya pada Emily. "Apa tidak boleh aku bertanya seperti itu?", "Bukannya tidak boleh...", Emily menerima catokan tersebut sambil menghela napas. Lalu menggantungkan kalimatnya sembari menatap Nathaniel yang tampak banyak berubah. Laki-laki itu dulu hanya sebatas dadanya, rambutnya panjang dan selalu di kuncir keatas, dan kurus. Sekarang? Hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu bila bukan manik mata hijau zaitun yang mirip seperti ayahnya. Dan, Emily yakin adiknya itu jadi idaman banyak gadis diluar sana. "Kalau saja keadaan normal aku pasti akan menjawabnya. Kau paham maksudku?", "Lalu bagaimana aku tahu kalau kau baik-baik saja atau tidak, Em?", Nathaniel berkacak pinggang. Emily menuju ke closet milkinya diikuti Nathaniel, menarik laci dibawah meja riasnya dan meletakkan catokan itu didalamnya. "Selama kau melihatku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. Begitu sebaliknya.", Nathaniel memutar matanya. "Semua perempuan sama saja.", "Apa maksudnya itu?", Emily yang mendengar gumaman itu begitu tertarik. "Kau, mom, dan teman-teman perempuanku. Kalian selalu mengatakan baik-baik saja padahal kalian tidak baik-baik saja. Lalu kalian seolah memaksa kami para lelaki untuk peka.", Emily mendengus geli. Ia memutar matanya sebelum berlalu melewati Nate kembali ke dalam kamar. "Kembalilah ke kamarmu dan mandilah dahulu. Setelah itu turun kebawah untuk makan malam.", Nathaniel mengikuti perkataan Emily. Namun ketika ia sampai di ambang pintu. Nathaniel berhenti dan membalikkan tubuhnya. "Em...", panggilnya. "Apa?", "It's good damn to see you, here, with us.", Emily mendongak dan tersenyum simpul. "Me too.", "And please... just stay. We really need you.", Nathaniel menarik napasnya. "I really need you.", ... Semua sudah duduk di meja makan dengan napkins berada di pangkuan masing-masing. Sementara Lily dan tiga orang lainnya menyiapkan makan malam dan membantu menyiapkan peralatan. Ketika saatnya untuk menikmati hidangan, Natalie membuka pembicaraan. "Mom akan memimpin doa.", katanya sembari melipat tangan diatas meja. Emily dan Nathaniel mengikuti- mengambil sikap doa. "Dear god, thank you for your blessing everyday. We're really grateful that Emily is here, sitting on this table with us together as family. Thank you for this food. Bless it to our bodies. In the name of Jesus, we pray, Amen.". Emily tersenyum simpul sembari menatap satu persatu hidangan yang tampak begitu menggoda sebelum membalikkan piringnya. "Untuk sarapan besok. Aku yang akan memasak untuk kalian.". "Ide yang bagus!", timpal Nathaniel yang sedang sibuk mengambil lauk pauk ditengah meja untuk diberikan pada Natalie dan Emily. "Akhirnya mom dan Nate bisa mencicipi masakanmu.", Natalie merasa senang karena selama ini dirinya tidak begitu pandai memasak. Ia selalu dibantu oleh koki dan juga Lily. "Ngomong-ngomong soal masakan. Apa kau akan membuka restauran, Em?", Nathaniel cukup penasaran. Ia tahu jika kakaknya itu mengambil jurusan kuliner. Emily menggeleng, "Aku lebih memilih membuka patiseri.", balasnya. "Tapi tidak dalam waktu dekat. Masih banyak yang harus kulakukan dan kusiapkan.", "Kalau kau butuh bantuan. Katakan padaku.", "Memangnya apa yang bisa kau bantu, Nate? Kau hanya tahu makan, tidur, perempuan, dan basket.", Natalie mencibir setelah menyuapkan sesendok sup kedalam mulutnya. Nathaniel meneggakkan tubuhnya seolah ingin menunjukkan dia memiliki sesuatu untuk dibanggakan. "Aku bisa membawa semua temanku datang. Anggap saja bagian promosi.". Emily menggeleng kecil, lalu terkekeh pelan. "Terserahmu saja. Terima kasih tawarannya. Akan kuingat.", jawaban Emily membuat Nathaniel tersenyum puas. Lalu memberikan tatapan mengejek pada Natalie. "Jangan senang dulu... pikirkan kau akan melanjutkan pendidikanmu dimana, Nate.", tegur Natalie. Nathaniel memutar matanya. "Tidak ada hubungannya, mom.", ibunya itu selalu saja bisa membalasnya. Emily meletakkan gelasnya setelah minum air mineral beberapa teguk. "Aku juga penasaran.", "Kalau saja aku bisa tidak berkuliah. Akan kulakukan.", Nathaniel mengatakannya tanpa dosa sembari fokus memotong daging di piringnya. Sontak Natalie melototi laki-laki itu dan tangannya yang hendak menyuapkan makanan terhenti di ambang udara. "Jangan bercanda kau, Nathaniel!", jika sudah memanggil nama depannya. Itu artinya Natalie benar-benar serius. Nathaniel menatap Natalie dan Emily bergantian. Lalu menyeringai. "Mom benar. Aku memang sedang bercanda.", Emily memutar matanya. "Bercandamu selalu saja tidak lucu, Nate.", "Aku tahu, untuk itu aku tidak tertawa. Apa aku tertawa?", Ingin sekali Natalie melemparkan piring kewajah tampan putranya detik itu. Namun tidak mungkin. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan kembali makan. Sedangkan Emily hanya diam sambil menahan senyum dan menikmati momen. Beberapa saat kemudian. Setelah ketiganya telah selesai menghabiskan hidangan utama. Lily masuk kedalam ruang makan sambil membawakan hidangan penutup semangkuk besar. "Ini dia hidangan penutupnya. Puding almond kesukaan nona Emily.", Emily meletakkan peralatan makannya, lalu mengusap ujung bibirnya menggunakan napkin yang berada di pangkuannya. Ia mencondongkan tubuhnya hingga menempel dengan tepian meja makan hanya untuk melihat puding berwarna putih yang menggoda karena permukaannya begitu lembut. "Terima kasih.", katanya setelah Lily membagikkan potongan-potongan puding untuk masing-masing orang. "Sama-sama nona. Saya permisi.", Sepeninggalan Lily kembali menuju ke dapur bersama pelayan yang sudah membereskan meja makan. Tiba-tiba salah seorang pelayan lainnya datang dari arah belakang Natalie yang duduk diantara Emily dan Nathaniel yang berhadapan. Ditangan pelayan itu terdapat sebuah ponsel. Ia menunduk sesaat, "Maaf menganggu. Ada panggilan untuk Mrs. Heywood.", "Dari siapa?", Natalie bertanya sembari menoleh. "Dari Mr. Langford.". Natalie nyaris tersedak dan Nathaniel menjatuhkan sendok dalam gengamannya secara bersamaan. Emily yang masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi hanya menatap keduanya bergantian dengan sebelah alis terangkat. "Ada apa?", Natalie berdehem untuk menetralkan suaranya, "Tidak ada apa-apa sayang.", ia mengangkat sudut bibirnya. "Kalian nikmati sisanya. Mom harus menerima panggilan ini.", "Baiklah.", Emily tidak begitu menggubris. Ia kembali melanjutkan menyantap pudingnya yang masih tersisa. Sedangkan Nathaniel memberikan tatapan melotot pada Natalie. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD