Kecupan

1026 Words
"Saya bawakan kamu s**u hangat." Khalisa menoleh pada pintu kamar yang terbuka. Dari celahnya, Hadyan menyembul sambil membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat gelas berisi s**u. Usai mengurus prosesi pemakaman Hasan tadi sore, laki-laki itu membawanya pulang ke kediamannya. Hadyan melangkah pelan menghampiri Khalisa yang duduk bersandar pada pucuk kepala tempat tidur. Saat ini mereka sedang berada di kamar pribadinya. Mulai malam ini, kamar itu juga akan menjadi kamar Khalisa. Tangan Hadyan terulur meraih gelas berisi s**u dari atas nampan, lalu menyerahkannya pada Khalisa. "Diminum. Seharian ini kamu enggak makan," tuturnya lembut. Khalisa memang sama sekali tidak berselera setiap kali ditawari makan. Seharian dia hanya menangis, duduk menunggui jenazah Hasan sampai jasad kaku itu dimasukkan ke liang lahat. "Terima kasih." Khalisa meraih gelas itu dari Hadyan. "Hmm. Ayo, diminum. Supaya kamu ada tenaganya." Hadyan kembali berucap ketika isi gelas itu tidak langsung diminum Khalisa, melainkan hanya dipegang dan ditumpu di atas pangkuannya. "Iya." Khalisa menurut, tidak ingin membantah lagi. Laki-laki ini sudah banyak berbuat untuknya seharian ini. Pasti dia juga lelah. Sedikit demi sedikit isi gelas itu Khalisa seruput. Kerongkongannya seperti serat menerima setiap asupan yang masuk, sehingga butuh waktu cukup lama untuk minuman itu tandas. Hadyan menatap dalam diam, sabar menunggu. Dia tahu begitu dalam kesedihan gadis yang baru sah menjadi istrinya itu. Akan tetapi, untuk menghibur dirinya bukanlah sosok yang pandai merangkai banyak kata. Walaupun begitu ingin melakukannya, dia lebih memilih diam. Cukuplah berada di dekatnya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja. Pun untuk kembali memberi pelukan penguatan, Hadyan takut Khalisa merasa tidak nyaman. Padahal, sangat ingin dia mendekap tubuh ramping itu sekali lagi dan mengatakan, "Jangan bersedih. Ada aku di sini." Hadyan sadar diri, menikah dengannya pasti bukan keinginan hati Khalisa. Dia pasti terpaksa demi sang Ayah. "Sudah?" Tangan Hadyan lekas meraih gelas kosong yang diulurkan Khalisa, lalu meletakkannya kembali pada nampan yang tadi disimpannya di atas nakas. Sesaat dia menatap raut sembab di hadapannya. Dalam kesedihan pun, raut Khalisa terlihat begitu cantik. Hatinya berdesir. "Sekarang tidurlah. Kamu pasti lelah," ucapnya lembut mengalihkan sejenak desiran di hatinya. Suasana sedang berduka, tidak layak dia tenggelam dalam perasaan sendiri. Ah, gadis itu benar-benar telah menguasai hatinya. "Mas Hadyan tidur di mana?" Khalisa menengadah, menatap mata teduh yang tanpa dia tahu diam-diam sering mencuri pandang padanya. Di saat tatapan Khalisa mengarah padanya, Hadyan akan buru-buru mengalihkan perhatian ke sembarang arah. Sebaliknya, di saat Khalisa melihat ke arah lain, maka laki-laki itu akan menikmati raut cantiknya dengan debar-debar yang membuncah di d**a. Di dalam hati, Hadyan tidak bisa menampik pesona Khalisa bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Dia tidak sanggup menolak ketika tanpa diminta, bayang gadis itu melintas di benaknya, mengisi mimpi-mimpi indahnya. Akan tetapi, dalam keseharian Hadyan menyembunyikan dalam-dalam segenap rasa yang dia punya. Laki-laki itu sebenarnya sudah begitu takut jatuh cinta. Adalah sebab Eliana, wanita yang dulu pernah sangat dia cintai setulus hati, pergi bersama laki-laki lain beberapa saat setelah melahirkan satu-satunya buah cinta mereka. Ujian ekonomi yang membelit rumah tangga mereka di tahun kedua pernikahan, bertepatan dengan kehamilan Eliana, membuat wanita itu syok. Dia memilih pergi bersama laki-laki lain yang sanggup menjanjikan kemewahan untuknya. Sejak kejadian itu, Hadyan sempat membenci apa yang namanya cinta. Dia sengaja meminimalisir komunikasi dengan setiap wanita dan menutup rapat-rapat hatinya. Namun, cinta itu anugerah, kerap kali datang tanpa diminta. Keanggunan Khalisa yang dibalut dengan kesederhanaan mampu menerobos benteng hati yang dia bangun dengan kokoh, merobohkannya, lalu menghuninya tanpa pernah dia minta. "Tidur di si ...." Hadyan urung menyelesaikan kalimatnya ketika tidak sengaja matanya bersirobok dengan Khalisa. Dia menemukan ada kesan semacam rasa takut di mata istrinya itu, seperti tidak ingin mereka tidur satu tempat. "Saya gampang, kamu tidur saja di sini. Jangan khawatir, saya tidak akan mengganggu kamu," ralatnya kemudian. Sepertinya dia harus bersabar untuk beberapa lama, memberi waktu pada Khalisa untuk terbiasa menerima pernikahan mereka. Khalisa masih menatap Hadyan dengan sorot ragu. Dia seperti belum yakin dengan apa yang disampaikan Hadyan. Benarkah laki-laki itu tidak akan mengganggunya? Bukankah dirinya halal untuk dia ganggu? "Iya. Tapi, Mas, akan tidur di mana?" tanya Khalisa belum puas dengan jawaban yang diberikan Hadyan. Dia ingin memastikan apakah mereka akan tidur satu ranjang atau tidak. Meskipun merasa pertanyaan itu konyol, sebab yang namanya suami istri tentu saja akan tidur satu ranjang. Akan tetapi, jujur dari lubuk hati terdalam dia benar-benar merasa takut dan belum siap. "Apa kamu keberatan kalau saya tidur di sini?" Hadyan menjawab dengan balas mengajukan pertanyaan. Dia menatap Khalisa intens, mencoba untuk menggali lebih dalam hati istrinya itu. "Heh?" Khalisa tergeragap. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Jika menjawab tidak, sejujurnya dia memang keberatan. Namun, jika menjawab iya, artinya dia mengingkari fitrahnya sebagai seorang istri. Bagaimanapun terpaksanya dirinya dengan pernikahan ini, Khalisa tidak bisa melupakan pesan terakhir Hasan. Dia harus menjadi istri yang berbakti, melayani suami dengan ikhlas tanpa memandang siapa laki-laki yang menjadi suaminya itu. Apakah orang yang dicintainya atau bukan. "Saya bisa tidur di kamar Inaya untuk sementara. Atau di bawah." Hadyan menunjuk ruang kosong tepat di bagian bawah sisi tempat tidur. Kamar mereka tidak terlalu luas. Seluruh sudutnya sudah terisi lemari, meja kecil, dan jemuran kecil untuk meletakkan jaket atau baju bekas pakai. Hanya ada ruang kosong sempit tepat di bagian bawah sisi tempat tidur. Bagian itu dialasi karpet dan biasa digunakan Hadyan melaksanakan kewajiban lima waktu. Inaya merupakan buah cinta Hadyan bersama Eliana. Gadis kecil itu tidur di kamar terpisah. "Kamu tidur saja. Jangan pikirkan saya. Saya berjanji, selama kamu belum siap menerima pernikahan kita, saya tidak akan menuntut hak," pungkas Hadyan gamblang. Khalisa tersenyum lega. "Iya. Terima kasih atas pengertian Mas Hadyan," ucapnya. "Hmm. Sama-sama." Hadyan mengangguk. Walaupun mungkin berat menjalankan janji itu, tetapi dia harus melakukannya. Memaksa Khalisa bukanlah pilihan yang bijak. Apalagi dia sudah berjanji pada Hasan untuk selalu menjaga dan memerlakukan gadis itu dengan baik. "Saya ke kamar Inaya dulu. Tadi dia minta dibacakan cerita." Hadyan membentangkan selimut, lalu menutupkannya pada Khalisa yang sudah meluruskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Kamu tidurlah yang nyenyak. Supaya besok saat bangun kembali segar. Tenanglah. Saya ada di sini." Kemudian tangan kekarnya mengusap lembut pucuk kepala Khalisa. Matanya menatap teduh. Lalu tanpa bisa menahan diri, dia membungkuk. Satu kecupan lembut dilabuhkan pada kening istrinya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD