Pertemuan Tak Disengaja

1321 Words
Ara baru saja memasuki apartemen suaminya. Dia baru tahu jika suaminya itu berada di apartemen setelah 2 malam tidak pulang ke rumah mereka akibat pertengkaran mereka beberapa hari yang lalu. Arash memang kadang beberapa kali tak pulang ke rumah 2 tahun belakangan ini. Lelaki itu katanya menginap di kantor, kalau tidak pulang ke rumah orang tuanya yang tidak jauh dari kantor. Ara percaya-percaya saja selama ini, namun tidak lagi setelah kecurigaannya beberapa bulan yang lalu. Ara baru tahu jika lelaki itu sesekali pulang ke apartemen yang ditinggali lelaki itu sebelum menikah. Arash berada di balkon kamarnya sembari merokok. Ara menemuinya di sana. "Kenapa nggak bilang kalau nginep di sini?" Arash sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan istrinya. "Kapan kamu berhenti cari masalah?" Arash balik bertanya. Ara menghela napas. Dia ribut dengan Arash perkara sekretaris suaminya itu, bukan sekali dua kali seperti itu. Hingga akhirnya Ara pergi ke club karenaerasa frustasi menghadapi sang suami. "Kamu dengar aku nggak, sih?" "Aku dengar." Lelaki bernama Arash itu mengusap wajahnya kasar melihat ekspresi Ara yang terlampau santai, ketika ditanya perihal skandal yang menerpanya saat ini. "Kamu nggak hargai perasaan aku." Ara sontak menoleh. Perempuan itu tertawa sesaat, kemudian raut wajahnya berubah di saat menatap kedua mata lelaki berparas tampan itu yang sudah berdiri di dekatnya duduk saat ini. "Bukannya kamu yang nggak pernah hargai aku sebagai istri kamu? Bahkan, hingga 4 tahun usia pernikahan kita, kamu nggak mau siapa pun tahu mengenai hubungan kita. Oke, awalnya emang aku yang salah karena nggak mau media tahu di saat karirku sedang naik daun. Tapi setahun kemudian, aku menyadari kesalahanku dan minta maaf banget sama kamu. Tapi malah kamu yang terus pengen kayak gitu. Kamu yang nggak ingin ada orang yang tahu mengenai pernikahan kita. Sampai 3 tahun aku menunggu... " Suara Ara mulai melemah. "Aku udah bilang alasannya berkali-kali sama kamu. Kenapa nggak ngerti juga?" Ara tersenyum sinis. "Bilang aja kamu lagi jaga perasaan sekretaris kamu itu." "Ara!” Arash membentak istrinya itu. “Berapa kali harus aku jelasin kalau aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia." "Aku nggak percaya." Bagaimana Ara bisa percaya begitu saja kepada lelaki itu? Arash lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pekerjaan di kantor atau pun kadang harus keluar kota. Dan setahun belakangan ini, sekretaris lelaki itu merupakan mantannya dulu. Yang Ara tahu, mantan pacar Arash ketika lelaki itu masih SMA. Mantannya yang kala itu masih SMP. Mereka berpacaran cukup lama dari Arash SMA hingga kuliah. Ara menyelidiki semua tentang Arash—apa yang suaminya itu lakukan di belakangnya. Ara tak yakin jika Arash benar-benar sudah bisa melupakan cinta pertamanya itu. Sebelum itu, 2 tahun pertama hubungan pernikahan Ara dan Arash baik-baik. Ara memaklumi sikap Arash yang cuek dan sibuk bekerja, mungkin memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan lelaki itu sejak diangkat menjadi CEO. Arash yang merupakan pewaris tunggal di perusahaannya, baru saja menjabat sebagai CEO sekitar 3 tahun yang lalu saat berusia 29 tahun—di saat usia pernikahan mereka berusia 1 tahun. Papanya yang merupakan sahabatnya papa Ara sejak kuliah, menjodohkan mereka berdua. Ara tidak menolak karena pesona Arash yang begitu tampan. Arash juga pasrah saja menerima karena tidak ingin sang papa mencoret namanya dari daftar warisan. Dia juga sudah bekerja keras sejauh ini, jangan sampai papanya mencabut jabatannya begitu saja. Akan tetapi, Arash ingin menikah tanpa diketahui oleh siapa pun, cukup pihak keluarga saja yang tahu. Arash beralasan ingin fokus mengembangkan perusahaan keluarganya terlebih dahulu, itu yang Arash sampaikan kepada orang tuanya. Dia tidak ingin kinerjanya terganggu karena Ara yang merupakan seorang artis. Arash membuang puntung rokoknya, lalu memutar posisi duduknya menatap Ara tajam. "Kamu sendiri, ngapain kamu masih ke club aja? Apa maksud kamu tiba-tiba cium suami orang, hah?! Kapan kamu akan berhenti berulah? Lupa kalau masih punya suami?" "Aku jelasin juga, kamu nggak bakalan percaya." Ara tampak tenang mengatakannya. "Kamu sendiri... apa belakangan ini kamu sering lupa juga kalau udah beristri?" “Aku lagi sibuk kerja, Ra. Kamu aja yang selalu mikir aneh-aneh.” Ara mencintai Arash? Tentu saja. Walau sikap lelaki yang cenderung cuek, Ara telah menyukai Arash sejak saat mereka kenal beberapa tahun yang lalu. Ara jatuh cinta pada pandangan pertama pada lelaki itu. Dan Ara bersyukur ketika 4 tahun kemudian, papanya menjodohkan mereka berdua. "Apa karena Syafa yang membuat kamu masih berpikir-pikir untuk nggak publikasikan hubungan pernikahan kita?” "Jangan bawa-bawa nama dia, Ra,” ujar Arash dingin. "Lalu, apa? Apa kamu bisa mecat dia aja supaya aku nggak mikir yang macam-macam terus?" Arash berdecak kesal karena Ara yang selalu saja mengungkit tentang Syafa, mantan kekasihnya yang saat ini menjadi sekretarisnya. "Nggak... nggak bisa. Dia itu tulang punggung keluarganya. Masa iya aku pecat dia hanya karena kamu cemburu sama dia? Itu nggak profesional namanya. Sementara, kinerja dia bagus. Nggak pernah bikin masalah di kantor." Ara mendesah lelah. "Udahlah, Mas. Aku mau pulang aja. Nggak ada gunanya aku datang ke sini malam ini.” Ara yang sudah hendak pulang, kemudia kembali berbalik badan. “Kamu mau tetap di sini? Enggak mau pulang ke rumah?” “Ngapain pulang ke rumah kalau di sana kamu ngajakin ribut terus? Aku sama sekali enggak ngerasa nyaman di rumah belakangan ini.” “Terserah kamu aja lah.” Ara tak memaksa Arash untuk ikut dirinya pulang ke rumah. Ara meraih gagang pintu dan membukanya. "Sialann banget! Kenapa sejauh ini ini gue masih tetap cinta sama dia?" gerutunya sambil berjalan menuju lift. Walau sikap suaminya sering melukai hatinya, namun Ara masih tetap menginginkan yang terbaik untuk pernikahan mereka. Ara masih mencintai suaminya itu. Keluar dari lift, Ara berjalan tergesa menuju parkiran di basement. Khawatir ada yang melihatnya. Walau beritanya telah tenggelam di stasiun TV dan akun gosip, masih saja ada wartawan yang ingin menemuinya. Untung saja hingga saat ini, tak ada yang media yang mengetahui tempat tinggalnya bersama Arash. Media hanya tahu rumah orang tuanya serta apartemen yang Ara tinggali sebelum menikah. Ara berjalan menunduk hingga tak sadar bertabrakan dengan seseorang. Ara meringis ketika kakinya yang sedang memakai sendal hak tinggi itu, sepertinya terkilir. "Sorry... saya enggak sengaja." Ara mendongak dan mendapati seorang lelaki yang sedang membungkukkan badan di depannya. Lelaki yang tampan agak kebulean. "Kaki kamu sakit? Maaf, saya benar-benar enggak sengaja." Tidak sepenuhnya salah lelaki itu karena posisinya juga salah yang berjalan sambil menundukkan kepala. "Arabella... " Ara mengernyit ketika dia menggumamkan namanya.. Ah, Ara sampai lupa kalau dia adalah seorang artis yang sering viral karena skandal. Tentu saja banyak yang mengenalnya. "Sepertinya kamu terlihat kesakitan. Mau saya antar ke klinik di kawasan apartemen ini?" "Enggak... nggak usah. Saya enggak kenapa-napa, kok." Ara ingin berdiri, namun dia merasa kakinya berdenyut nyeri. "Saya rasa kamu keseleo. Mari, saya antar kamu ke klinik. Saya harus bertanggung jawab, karena kalau enggak tabrakan dengan saya, kamu enggak bakalan jatuh begini." "Kamu nggak salah, saya yang jalan sambil menunduk. Nggak lihat-lihat sekitar." "Tetap, ini salah saya juga. Saya yang nggak hati-hati. Jadi, ayo, kita ke klinik. Atau kamu mau nunggu di unit apartemen saya dan saya panggilkan dokter untuk datang memeriksa? Takut kamu enggak nyaman kalau saya bawa kamu ke klinik. Gimana, umm... Arabella? Kamu Arabella, 'kan?" Ara terdiam tampak sedang berpikir. "Saya bukan orang jahat, kok. Kalau mau ke unit saya, nanti ganjal aja pintunya biar kamu merasa aman." Ara merasa ke klinik bukan lah pilihan yang tepat, bisa ada gosip baru lagi nantinya dia dekat dengan seorang lelaki lain lagi. Tapi sungguh, kakinya saat ini sakit sekali rasanya. "Unit kamu ada di lantai berapa?" "Di lantai dua. Ayo, saya tuntun kamu ke sana." Leo melepas topi yang digunakannya. "Kamu bisa pakai topi ini kalau mau." Sungguh Leo senang sekali bisa melihat Ara dalam jarak sedekat ini. Tak disangka jika bisa bertemu dengan perempuan itu di kawasan apartemen yang baru dibelinya setahun yang lalu. Namun, jarang Leo tempati karena lebih sering tinggal di apartemen yang dibelikan oleh kakeknya—di mana letak apartemen itu tidak jauh dari kantornya. Leo tidak tahu saja jika Arabella yang dikaguminya itu masih merupakan istri dari orang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD