Episode 3 : Di Bank

1767 Words
Beberapa tahun sebelumnya .... Hujan deras tiba-tiba mengguyur kehidupan ketika Arina baru saja memasukkan ATM-miliknya ke mesin ATM. Meski bukan hal yang perlu dikhawatirkan, tetapi di setiap hujan turun, hati wanita bertubuh cukup semampai itu menjadi tidak karuan. Arina selalu mendadak galau jika hujan mendadak melanda. Apalagi jika suasana juga sampai dikuasai mendung layaknya sekarang. Yang ada, pikiran wanita anggun yang menggerai rambut bergelombang berwarna kecokelatan dan panjangnya nyaris menyentuh pinggang itu menjadi melayang-layang. Pikiran Arina menjadi dihiasi kejadian monokrom yang sangat sulit Arina tolak, agar kejadian tersebut tidak bergulir di sana. “Aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu, Rin! Kamu mau, ya, jadi pacar aku?” Suara seorang pemuda terdengar begitu lembut dipenuhi rasa tulus, hingga hati Arina menjadi bergetar. Gelombang hangat juga detik itu menyelimuti hati wanita itu yang membuat jantungnya menjadi berdetak lebih cepat. Di antara lalu-lalang pengena seragam putih abu-abu di sana, Arina mendapati mereka yang awalnya menjadi penonton sepasang sejoli dan sedang bertatap serius—lebih tepatnya, seorang pemuda sedang mengungkapkan perasaan lengkap dengan sekuntum bunga mawar merah yang disodorkan— mereka semua mendadak mendekat dan berkerumun. “Zack … Zack. Kamu ini kenapa? Kamu boleh saja memacari semua cewek bahkan yang lebih tua dari kamu sekalipun. Tapi masa iya, cewek jadi-jadian sekelas Arina saja, juga kamu sikat? Kamu yakin, dalaman Arina enggak bikin kamu terkejut? Masa iya … pisang makan pis ... duh gimana yah, ngomongnya? Pengin jujur tapi takut jadi gosip!” celetuk salah seorang cewek yang berada di barisan paling depan, dan mengakhiri ucapannya dengan tawa miris. “Lah … kabarnya si Arina malah transgender. Katanya sih, ‘dibongkar-pasang’ di Thailan!” timpal cewek di sebelahnya dan sukses membuat tawa pecah seketika. Si pemuda yang sedang mengungkapkan cinta dan mereka panggil Zack, langsung menatap orang-orang di sekelilingnya yang masih tertawa, dengan sangat geram. Tidak dengan cewek berambut bergelombang yang panjangnya hanya setelinga. Meski cewek tersebut sempat menangis, tapi cewek bernama Arina itu buru-buru menyeka air matanya.  “Kalian ngomong begitu, seolah-olah kalian ini berpengalaman banget ya? Aku jadi penasaran, jangan-jangan, ... malah kalian yang pernah ‘bongkar-pasang’ di Thailand!” Arina, cewek tomboy itu tersenyum miris sebelum berlalu bersama hujan yang mendadak mengguyur deras. Baginya, tak ada pilihan lain selain berlalu dan meninggalkan semua itu. Tak ubahnya Arina, semuanya juga langsung bubar sekaligus berteduh, meski kedua cewek yang sempat Arina balas juga langsung meradang. Sedangkan si pemuda bernama Zack, pemuda itu juga lebih memilih mengejar Arina yang terus berlari meninggalkannya. Sebuah tahanan yang menahan sebelah pergelangan tangannya, membuat Arina terjaga. Arina terkesiap dan menatap tak percaya bocah laki-laki yang mulutnya sudah gelepotan cokelat. Tak semata karena sang bocah yang tidak lain Jio kemenakannya, telah mengagetkannya dan menariknya ke alam nyata, melainkan, di dalam ingatannya, Arina muda juga sedang mendadak ditahan tangannya dari belakang, hingga langkah lari Arina muda menjadi terhenti. “Jio … kamu, ya, hobi banget bikin Aunty kaget!” Arina mengelus dadanya menggunakan sebelah tangan seiring bibirnya yang mengerucut sebal. Ia masih menatap sebal Jio yang masih sibuk mengunyah cokelat batang berbungkus keemasan.  Jio menunjuk-nunjuk mesin ATM sambil bergumam tidak jelas. “Aunty … ATM-mu ditahan! Aku salah pencet PIN kayaknya!” Bocah berusia enam tahun itu menatap santai mesin ATM dengan layar monitor yang sudah dihiasi sederet tulisan. Sederet tulisan yang langsung membuat Arina semakin syok. “Ya ampun Jio? Ya ampun Jio, ngapain kamu asal masukin PIN?” pekik Arina sembari membingkai syok wajahnya. Ketar-ketir, kedua tangannya menjadi sibuk menyibak rambutnya ke belakang. Arina yang awalnya baik-baik saja dan mendadak galau akibat hujan dengan segelintir kenangan kelam di ingatannya yang mendadak terputar, kini juga menjadi terjerat sindrom panik. Dan Arina yang sadar Jio akan lelet jika ia tuntun, memutuskan untuk mengemban bocah itu. “Aunty, kita mau ke mana?” tanya Jio dengan polosnya. Ia menatap Arina sambil terus menikmati sisa cokelat di tangan kanannya. Arina yang masih ketar-ketir segera menatap Jio sambil terus bergegas meninggalkan ruang ATM. “Ya masuk ke bank buat urus ATM Aunty yang ketelan. Tanpa ATM kita susah buat belanja sama ambil uang, Jio! Kamu ini ya. Ada-ada saja. Untung kita di sebelah bank, kalau jauh, ribetlah dunia Aunty. Sudah diem jangan asal otak-atik lagi!” Arina menerobos hujan yang masih mengguyur. Kebetulan, di waktu yang sama, seorang pria yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih, lewat sambil berlindung di bawah payung yang terbilang besar. Pria itu mendadak memayungi Arina yang kerepotan karena menggendong Jio. “Maaf, Bu, ... ibu mau ke mana?” ucap pria berwajah santun tersebut. Arina masih menatap bingung wajah si pria, ketika Jio justru berkata, “masuk ke bank, Om. Soalnya ATM kami ketelan mesin di sebelah!” Si pria bergaya rapi tersebut langsung mengangguk-angguk mengerti sambil menatap Jio, sebelum kembali menatap wajah Arina yang masih menatapnya dengan bingung dan sedikit canggung. “Ya sudah, ayo. Saya juga mau masuk ke bank. Kita bisa sekalian!” sergah si pria yang rela membagi payungnya lebih banyak kepada Arina dan Jio, hingga punggungnya menjadi agak basah karena terterpa hujan. Arina yang mendapati kenyataan tersebut menjadi merasa tak enak hati. Akan tetapi, Arina tak kuasa berkata-kata, selain mengucapkan terima kasih setelah mereka sampai di teras bank. Arina segera menurunkan Jio. Akan tetapi, ia tak lantas melepaskan bocah itu. Arina menatap saksama wajah Jio yang sebagiannya tertutup oleh topi merah yang bocah itu kenakan. Sebuah warna yang sudah menjadi warna kesukaan bocah itu, di mana setelan kaus basket berikut sepatu kets yang Jio kenakan saja juga masih berwarna senada; merah. “Jio, janji ke Aunty, jangan macam-macam apalagi asal pencet dan lebih parahnya, jika itu bukan punya kamu. Pamali menyentuh apalagi otak-atik barang orang lain! Janji, ya?” lirih Arina berusaha memberi Jio pengertian. Lantaran Jio sampai menengadah hanya untuk menatapnya, Arina sengaja meletakkan penutup bagian depan topi yang Jio kenakan, ke belakang, selain ia yang sengaja semakin membungkuk demi menyelaraskan tingginya dengan Jio. “Tapikan, Aunty bukan orang lain? Aunty adiknya mami Jio?” balas Jio yang masih aktif mengunyah cokelat hingga tampangnya menjadi semakin menggemaskan. “Tetap saja, kalau kita asal pegang apalagi macam-macam ke barang yang bukan punya kita, namanya enggak sopan. Bahkan ke barang papi mami kamu, termasuk sekadar ponsel, kalau kamu mau pakai, kamu harus izin dulu. Ingat, izin dan tunggu izinnya dikabulin!” Arina sungguh wanti-wanti. Jio mengangguk mengerti. “Nah, ini. Kamu makannya juga jangan gelepotan begini. Duh, kalau mami kamu tahu Aunty kasih kamu cokelat, Aunty bisa langsung digantung sama mami kamu!” Arina sibuk mengelap cokelat yang menghiasi sekitar mulut Jio, menggunakan tisu kecil yang ia keluarkan dari tas yang menghiasi pundak kanannya. “Kalau mami berani gantung Aunty, tembak saja mami pakai senapan, Eyang!” ucap Jio mantap. Arina langsung syok. “Eh eh, ... siapa yang ngajarin ngomong begitu? Enggak boleh, ya. Itu enggak sopan, Sayang. Janji enggak asal ngomong lagi?”  “Tapi kan Eyang sering ngomong begitu. Orang nakal; tembak. Orang jahat, juga tembak!” protes Jio. “Enggak ... enggak. Jangan ikut-ikutan omongan Eyang yang tembak-tembak. Kamu masih belum ngerti, jadi jangan asal ikut, ya?” tepis Arina masih wanti-wanti. Meski tampak enggan, Jio yang menjadi cemberut dan menunduk, berangsur mengangguk. “Oke, deh.” “Anak pintar.” Arina sengaja mengelus punggung hidung Jio yang cukup mancung. “Ya sudah, kita masuk.” Arina langsung menuntun Jio memasuki bank tanpa menyadari, pria baik hati yang kiranya sudah cukup berusia dewasa dan tadi sempat menolongnya, juga masih terjaga di sebelah payung yang baru saja ditinggalkan tak jauh dari pintu masuk bank. “Ibu, maaf lagi. Kalau Ibu mau bikin ATM, Ibu langsung ke sebelah kiri, enggak usah ambil nomor antre, ya, ya,” ucap si pria masih sangat sopan. Arina yang nyaris masuk setelah seorang satpam yang berjaga juga langsung sigap membukakan pintu untuknya, menjadi tertegun sebelum akhirnya menoleh ke samping dan membuatnya mendapati si pria yang langsung tersenyum sopan kepadanya. “Oh ... iya makasih banyak, Pak!” balas Arina berusaha sesopan mungkin, meski rasa sungkan berikut rasa tak enak hatinya kepada si pria, menjadi semakin besar. Namun, Arina sungguh tidak menyangka, jika si pria masih memperhatikannya. “Om … meski Aunty ini cantik, tapi aslinya Aunty hobi kentut lho, Om. Aunty juga jorok, jarang mandi, dan paling enggak bisa kalau disuruh masak. Aunty cuma jago makan sama molor sambil ngorok! Jadi, Om jangan sampai naksir Aunty aku, ya!” Jio sengaja berseru lantaran Arina sudah sampai membekap mulutnya menggunakan kedua tangan. Arina sungguh keilangan nyali atas apa yang baru saja Jio ucapkan dan tak ubahnya bom yang langsung sukses menghancurkan harga diri Arina. “Maaf … maaf, Pak. Kemenakan saya memang begini.” Arina buru-buru memboyong Jio masuk sambil terus membekap mulut bocah itu, setelah ia sempat membungkuk dua kali kepada si pria, yang langsung merespons serangan Jio dengan tawa tertahan. “Ya Alloh, Jio … bakat terpendammu memang menjauhkan Aunty dari jodoh, ya!” uring Arina dalam hatinya. *** Sesuai arahan pria tadi, Arina langsung menuju petugas yang duduk di sebelah kiri dan tak perlu repot-repot mengantre. Hanya saja, baru juga akan mengisi data diri sesuai KTP, Jio tiba-tiba merengek karena kebelet pipis. “Lah … Jio tahan bentar, ya? Enggak enak ini. Yang antre di belakang kita banyak. Masa iya, kita tiba-tiba pergi? Ingat, kalau kita telat pulang, nanti diceramahi Eyang!” Arina mencoba meyakinkan Jio. Beruntung, pria yang tadi sempat menolong mereka, baru keluar dari ruang dalam bank—ruang khusus karyawan, dan hanya orang yang memiliki kepentingan saja, yang boleh memasukinya. “Jio kenapa? Kebelet pipis?” tanya si pria yang sampai membungkuk dalam mengajak Jio berkomunikasi, demi menyelaraskan tingginya dengan bocah itu, layaknya apa yang Arina lakukan. “Iya, Om. Kebelet pipis. Tapi kata Aunty, aku suruh nunggu. Tapi duh … pengin pipis banget!” balas Jio yang mendadak berkeluh kesah. Setelah menyimak penjelasan Jio, si pria langsung menatap wajah Arina yang detik itu juga langsung memberinya senyum tak berdosa. Senyum masam yang membuat wanita cantik itu tampak begitu sungkan kepadanya. “Nanggung, Pak. Sudah mulai isi data diri,” ucap Arina sambil menyodorkan formulir yang harus ia isi, berikut pulpen yang sudah ia kendalikan, selain KTP yang ditahannya di tangan sebelah. “Ya sudah, ... Jio sama Om saja!” ucap si pria meyakinkan. “Kita pipis di toilet di dalam!” Ia mengulurkan tangan kanannya kepada Jio dan menunggu bocah itu menerima uluran tangannya. “Eh …!” pekik Arina langsung panik. Arina sampai menelan salivanya beberapa kali sambil menatap cemas Jio, berikut wajah si pria dewasa itu, silih berganti. “Aunty, ... Om bukan p*****l, kok. Om Manager utama di sini!” tegas si pria yang kemudian melepas tanda pengenal yang talinya terkalung di tengkuknya. Ia meletakkan tanda pengenal tersebut di sebelah tangan Arina yang menahan pulpen. “Jangan nahan-nahan kencing. Gara-gara sering nahan kencing, almarhum papahku terkena kencing batu kronis, dan akhirnya meninggal. Kasihan kalau bocah sekecil ini harus nahan kencing.” “Bahkan akan lebih repot lagi, kalua Jio sampai ngompol di celana, kan?” ujar si pria yang kemudian meraih sebelah tangan Jio. “Duh, Om … sudah kebelet pipis banget, Om. Tolong cepet, Om!” rengek Jio dan langsung membuat si pria bergegas mengembannya, sebelum membawanya masuk ke ruangan khusus karyawan. Pria itu berlalu dengan kekhawatiran tanpa kembali mempedulikan Arina. Arina dapati, kartu nama si pria yang memang menjabat sebagai manager utama di bank yang sedang Arina kunjungi. Dan nama; Alvaro Dimas Santoso merupakan nama dari pria yang menyebutkan dirinya sebagai ; Om, sesuai panggilan yang Jio berikan. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD