2. Ayo kita kabur dan menikah!

1636 Words
"Akan aku lakukan apa pun untuk bisa kembali mendekapmu. Walau mungkin saja kamu akan mencaciku dan menganggap aku gila. Aku tidak akan melewatkan kesempatan terakhirku." Nara Lovata Edrea. *** Sementara Nara terlihat serius akan pekerjaannya, Rei baru saja hendak keluar dari ruang kerjanya. Dari jendela kaca ruangannya ia melihat Nara yang masih duduk di meja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya. "Lihat itu, dia bilang dia tidak mencari perhatianku. Tapi, dia lembur seperti itu. Padahal aku tidak memberikan banyak pekerjaan padanya. Seharusnya dia tidak perlu lembur begitu." Rei yang sebelumnya hendak pulang itu kini kembali ke kursi kerjanya. Ia melihat sosok Nara yang sedang serius bekerja, memantaunya dari balik jendela. Sudah satu jam berlalu, Nara masih berkutat dengan pekerjaannya. "Ah, hujan!" Rintik hujan membasahi jendela ruang kerja Rei. Sejenak langit malam itu terlihat begitu penuh kerinduan. Cahaya lampu yang bersinar bias oleh percikan hujan memantulkan kenangan manis saat ia dan Nara masih bersama. "Hufft.. Nara, kenapa kamu bersikap seperti ini? Bukankah kamu yang membuang aku waktu itu?" Helaan napas Rei, terus berlalu bersama dengan kenangan manis yang sempat ia rindukan. Rei pun kembali menatap ke arah Nara. Nara masih terlihat serius. Tak ada tanda-tanda jika pekerjaannya akan selesai. "Kenapa lama sekali. Bukankah tidak banyak pekerjaan yang aku limpahkan padanya. Jangan-jangan dia memang sengaja menungguku pulang?" "Benar-benar gadis yang membuat sakit kepala! Hmmm.. Apa aku coba keluar saja?" Rei mulai mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan. Ia sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa saat ini. Perutnya juga sudah cukup lapar. "Ini sudah jam 10 malam, mau sampai kapan dia terus bekerja?" Begitu melihat jam tangannya. Rei merasa yakin jika sudah tiba saat Rei untuk mencoba menghentikan Nara. Ia sedikit memutar otaknya jika saja nanti Nara menolak untuk pulang. Rei memakai jasnya kembali. Merapikan pakaiannya dan mencoba keluar dari ruangannya. "Apa-apaan itu? Dia sama sekali tidak sadar aku keluar dari ruangan." Akan tetapi, apa yang bisa Rei harap dari Nara. Jangankan untuk menyapanya. Nara sama sekali tidak menyadari keberadaan Rei. Nara masih serius dengan layar komputernya. Rei yang kesal itu akhirnya kembali masuk ke dalam ruangan. Mencoba mengulang kembali saat ia keluar dari ruangan kerjanya, agar lebih menarik perhatian Nara. "Eheeeem.." Braaak ... Rei membanting pintu ruang kerjanya. Tapi, Nara masih tidak memperhatikan dirinya. Kesal, Rei pun kembali mencoba untuk membuka suaranya, "Kalau sudah siap jangan lupa matikan lampunya!" "Eh, Bapak sudah mau pulang?" Ternyata reaksi Nara justru berbeda. Rei yang sempat ingin memarahinya karena bekerja lembur berlebihan itu, akhirnya hanya bisa mengangguk kecil. "Iya," ucapnya ketus. "Tu-tunggu Pak!" Nara terlihat sibuk merapikan kerjaannya dengan terburu-buru. "Pak tunggu!" teriak Nara. Meski Rei melihat Nara yang berusaha secepat mungkin membereskan meja kerjanya. Ia masih tidak menghiraukan teriakan dari Nara yang memintanya untuk menunggu. Rei tetap melangkah pergi. "Aku kira dia akan terus bekerja tak peduli aku pulang atau tidak. Hmm.. apa dia menungguku?" gumam Rei yang kini justru memperlambat langkah kakinya. Menunggu hingga Nara bisa menyusulnya. "Kamu lembur?" tanya Rei begitu mereka bertemu di lobi kantor. "I-itu ..." Nara terlihat ragu-ragu untuk mengungkapkannya. "Kamu sengaja mencari perhatianku lagi?" "Tidak, itu ... ..." "Bagaimana aku mengatakannya, mana mungkin aku mengatakan jika aku mengabaikan pekerjaanku karena terus memikirkan pernikahanmu Rei," benak Nara yang tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan Rei. "Kenapa kamu selalu gugup begitu? Dulu kamu gadis yang penuh percaya diri. Kamu selalu tegas mengungkapkan perasaanmu Nara." Rei menatap Nara yang berdiri kaku di depan kantor mereka yang sudah sepi. Ia merasa yakin jika Nara benar-benar sudah berubah. Terutama saat ia sudah mengetahui identitas Rei yang selama ini ia sembunyikan. "Itu karena kita masih di kantor dan kamu atasanku," ucap Nara yang tidak memberikan jawaban apapun tentang alasan ia lembur. "Hmmm... karena aku ini atasan!" "Jadi benar, ini semua karena statusku. Kamu mempertimbangkan segala perbuatan kamu karena aku atasanmu. Karena statusku keluargaku," benak Rei yang kesal di dalam hatinya. Tatapan Rei semakin dingin begitu mendengar apa yang diucapkan oleh Nara. Rei pun akhirnya mempercepat langkah kakinya. Meninggalkan Nara yang masih berdiri kaku di depan kantor mereka. "Pak, tunggu. Ada yang ingin saya sampaikan," teriak Nara begitu ditinggalkan oleh Rei. Rei mengacuhkannya. Ia tak peduli dengan apa yang akan Nara sampaikan. Ia terlanjur kesal atas alasan yang sulit dimengerti. "Kenapa? Apa status sangat penting bagimu Nara? Apa karena aku lebih kaya dari Ravin, tunangan kamu itu?" Rei membenamkan wajahnya pada setir mobilnya. Ia mencoba memahami rasa kesal yang selalu menyelimutinya setiap kali Nara terlibat dalam hidupnya. Sepeninggalan Rei, Nara hanya bisa menghela napasnya. Ia sempat memikirkan berbagai hal sampai ia ingin mencoba berbicara sekali lagi dengan Rei. Ia ingin meminta maaf dengan Rei dan kemudian menyerah akan cintanya. "Kenapa harus hujan?" Nara menatap mempertanyakan rintik hujan kini membasahi tubuhnya. Nara pun berlari kecil menuju halte yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantornya. Tapi, langkahnya melambat. Di tengah terpaan hujan yang terus membasahi tubuhnya. Nara mengingat kembali segala kenangan indahnya. Saat ia masih bersama dengan Rei, saat ia masih diperlakukan dengan sangat hangat oleh Rei. "Rei ..." Nara memanggil nama Rei dengan lirih. Air mata pun kini kembali membasahi pipinya. "Aku merindukanmu, Rei?" Tiba-tiba hujan terasa terhenti dan hanya menyisakan air mata yang terasa hangat di pipinya. Ia menatap lurus ke depan. Hujan masih terus menetes. Ia pun menengadahkan kepalanya mendapati sudut payung yang tengah melindunginya. Nara langsung membalikkan tubuhnya. Menatap sosok yang kini berada di depannya. "Rei ..." "Kamu lagi-lagi mencari perhatianku?" ucapan yang tidak asing itu keluar lagi dari Rei. "Rei, kenapa kamu ada disini?" "Kamu bilang ada yang ingin dibicarakan? Sebenarnya kamu itu mau apa? Kenapa terus menerus mencari perhatianku?" tanya Rei lagi dengan nada suara dinginnya. "Aku mau kamu, Rei." Nara menatap tegas ke arah Rei. Ia pun mengatakannya sekali lagi. "Aku menginginkan kamu, Rei. Aku mencintaimu. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku benar-benar menyesal, Rei." Nara menangis terisak. Ia menarik baju Rei dengan kedua genggamannya. Ia terus mengulang perkataannya. "Apa kamu pikir, aku percaya pada ucapan kamu? Kamu pikir kamu akan berhasil mendapatkan perhatianku jika seperti ini, Nara?" "Kenapa kamu selalu menganggap aku hina, Rei? Apa tidak bisa kamu percaya padaku sekali saja?" Sejujurnya hati Rei cukup tersayat. Ia tidak tahan melihat air mata Nara dan reaksi Nara yang sangat jauh berbeda dengan Nara yang ia kenal dulu. Ia juga tak tahan begitu melihat tubuh Nara yang sudah basah itu dengan wajah yang sedikit pucat, ia juga tidak sanggup untuk melihat tangan Nara yang terluka cukup besar tanpa diobati. Rei yakin jika dulu Nara adalah gadis yang pandai merawat dirinya. Tapi, saat ini semua berbeda jauh dari Nara yang dulu ia kenal. Nara terlihat lebih lesu dan tak memiliki semangat. Akan tetapi, semua itu tidak membuat Re mempercayai Nara begitu saja. Rei masih enggan untuk membuka kembali hatinya. "Sudah, hentikan Nara. Ini tidak akan mempan. Aku tidak akan tertipu oleh kebohongan kamu lagi," tegas Rei. Nara mengabaikan peringatan Rei. Ia langsung memeluk erat tubuh Rei. "Tidak, aku benar-benar mencintaimu, Rei." "Lepaskan. Aku sekarang juga sudah punya tunangan. Aku malah akan segera menikah." Tidak tahan dengan ucapan dingin Rei. Nara akhirnya melampiaskan segala isi hatinya. Ia tak peduli lagi jika nanti Rei akan kembali mencemoohnya. "Aku tahu Rei, aku sudah mendengarnya. Aku kepikiran setengah mati. Dadaku rasanya sangat sesak dan sakit. Awalnya aku memutuskan untuk menyerah. Aku bahkan sudah membuat surat pengunduran diriku tadi. Aku berencana untuk tidak mengusik kamu lagi," ucap Nara dengan tatapan matanya yang tegas. "Awalnya aku memang berencana menyerah. Jika tadi kamu mau mendengarkan aku. Mungkin aku sudah mengatakannya dan meminta maaf darimu atas apa yang aku lakukan selama ini. Tidak hanya kamu, tunangan aku juga mempercepat pernikahan kami. Jika tidak sekarang aku mungkin tidak akan bisa lagi meminta maaf padamu dengan benar." Tatapan mata Nara kini terlihat sedikit bergetar. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat dan berkata dengan tegas, "Awalnya begitu. Tapi, aku sekarang tidak mau menyerah. Aku tidak bisa menyerah atas dirimu, Rei." "Rei, aku tidak pernah mencari perhatianmu. Aku juga tidak tertarik dengan hartamu. Aku menemui kamu lagi semata-mata hanya ingin memperjuangkan cintamu lagi. Aku ingin mendapatkan kamu kembali. Aku mencintai kamu Rei," sambung Nara lagi dengan suara rendahnya. "Ja-jadi apa maksudmu?" tanya Rei dengan suaranya yang sedikit bergetar. Ia mulai goyah dengan apa yang Nara lakukan tiba-tiba itu. "Jadi, ayo Rei. Ayo, kita menikah saja. Aku tidak peduli dengan pertunangan itu. Akan aku lakukan apapun untuk menghentikan pernikahan itu selama aku bisa bersama denganmu, Rei." Bruuk … Payung yang Rei pegang terlepas dari tangannya. Ia menatap Nara dengan tatapan bingung. "A-akan aku lakukan apapun untukmu Rei. Akan aku lakukan apapun agar kamu percaya dan kembali padaku. Aku tidak peduli apapun yang akan aku hadapi nantinya. Aku mohon Rei." "Benar kamu akan melakukan apapun selama aku percaya padamu?" Nara mengangguk mengiyakan apa yang dipertanyakan oleh Rei. "Kamu tidak masalah jika aku meninggalkan statusku dan menikah denganmu?" tanya Rei lagi. "Iya, aku tidak peduli dengan latar belakangmu. Selama kita bersama bagiku tidak masalah." "Bagaimana dengan tunangan kamu dan keluargamu?" Nara sempat terdiam sejenak. Ia mengingat kembali alasan perjodohannya tersebut. "Tidak masalah. Sejak awal mereka menyetujui perjodohan itu tanpa mendengar pendapatku terlebih dahulu. Mereka bahkan baru memberitahuku lebih dari setahun setelah mereka menyetujui perjodohan itu. Lambat laun mereka pasti akan mengerti." "Ayo kita kabur dan menikah Rei. Aku tidak akan bisa hidup tanpamu," ucap Nara dengan suaranya yang sudah bergetar. Nara mulai menggigit bibirnya dengan keras. Ia tidak sanggup jika kali ini ia juga mendengar penolakan untuk kesekian kalinya. "Akan aku lakukan apapun untukmu Rei," ucapnya seraya menundukkan kepala. Satu per satu rintik hujan masih membasahi tubuh Nara. Meski tubuhnya sedikit bergetar. Tapi, keresahan hati yang dirasakan oleh Nara berhasil menghalau dinginnya udara malam tersebut. Nara masih belum siap jika Rei menolaknya kali ini. Ia pun memberanikan diri menatap Rei. Melihat bibir Rei yang juga sedikit membiru. "Nara, aku ...." Bola mata Nara seketika terbelalak. Suara Rei terdengar samar. Ia tidak percaya dengan apa yang menjadi jawaban dari Rei.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD