12. Apa kamu menyesal berpisah dengannya?

1491 Words
"Kamu dan aku memiliki masa lalu yang berbeda. Tapi, aku berharap jika kita akan memiliki masa depan yang sama kelak." Reiki Savian Altezza *** Saat Rei menceritakan bagaimana masa lalu yang telah ia lewati terhadap para pasangannya dahulu. Sejujurnya Rei sudah siap untuk menghadapi hal terburuk dari reaksi Nara. Ia sudah membayangkan ekspresi sedih atau amarah dari Nara untuknya. Ia sama sekali tidak membayangkan jika Nara justru akan menghiburnya. Memakluminya dan juga menerima dirinya dengan begitu tulus. Pada akhirnya, Rei luluh akan ketulusan tersebut. Senyuman tulus Nara terasa begitu hangat di tengah udara malam yang semakin menusuk. Dengan senyumannya yang hangat Rei pun berkata, "Aku benar-benar tidak punya apa-apa lagi, loh.." Kali ini, Rei mulai berharap. Berharap jika Nara tidak goyah. Tapi, apa yang kemudian di ucapkan oleh Nara kembali menggetarkan hatinya. Nara dengan polos mengatakan jika Rei masih memiliki dirinya. Ia berkata seolah ia akan terus berada di sisi Rei apapun yang terjadi. Tapi, di balik itu semua. Rei sangat senang mendengar hal itu. Ia semakin berharap lebih dalam lagi pada Nara. Akan tetapi, ada satu hal yang kembali mengusik pikirannya. Yaitu kisah cinta Nara. Setelah tanpa sadar ia menyuarakan isi hatinya. Kali ia sangat penasaran dengan kisah cinta yang dimiliki oleh Nara. Rei terlihat berpikir sejenak. Ia mulai membayangkan bagaimana kisah cinta dari wanita yang terlihat begitu polos tersebut. Rei sama sekali tidak bisa membayangkannya. Pandangan Rei pun kembali menunduk. Ia tanpa sengaja melihat sepatu yang dikenakan oleh Nara. Sepatu yang ia ketahui adalah merek ternama. Rei kembali memerhatikan keseluruhan yang dikenakan oleh Nara. Beberapa dari yang ia kenakan terlihat berasal dari merek-merek yang ternama. Sementara Nara yang Rei ketahui hanyalah seorang penulis novel dan pemilik dari sebuah warnet biasa. Meski ia tidak bisa meremehkan profesi seseorang. Tapi, Rei yakin jika harga dari beberapa barang yang Rei lihat adalah barang yang sulit di dapatkan meski memiliki uang sekalipun. "Ah, anting itu juga merek ternama. Keira sempat mengamuk untuk memintaku membelikan anting dari merek itu. Harganya pasti mahal." "Itu, kan barang limited edition, bagaimana mungkin dia memilikinya. Apa jangan-jangan itu pemberian dari seseorang juga?" Pikiran Rei tidak hanya sampai di situ. Ia kembali mengingat mobil yang tadi mereka kendarai. "Mobil mewah itu juga merupakan pemberian dari seseorang. Arrrgght.. Siapa, sih, yang memberikannya. Apa mungkin mantan pacarnya?" Pikiran Rei semakin liar. Ia terus menduga dan menerka sosok yang memberikan berbagai barang mewah itu kepada Nara. Dalam hatinya geram, seandainya ia tak kabur dari rumah dan masih memegang segala haknya. Mungkin ia akan merebut seluruh barang tersebut dan membuangnya. "Aku bisa memberikan barang seratus kali lebih baik dari itu." Wajah Rei terlihat kesal. Sejak awal Nara hendak menceritakan kisah cintanya. Rei justru terlihat tidak senang. Meski ia sempat ragu dan goyah. Nara kembali bertekad untuk bersikap adil pada Rei. "Rei sudah menceritakan tentang dirinya. Kali ini giliran aku untuk menceritakannya," tekad Nara. "Tidak ada yang menarik dari kisah cintaku. Tapi, biar adil. Aku akan menceritakannya." Pada akhirnya Rei tidak bisa apa-apa selain mendengarkan cerita dari Nara. Berbeda dengan dirinya yang gugup. Nara justru terlihat santai dan begitu tenang. Ia menyeruput minumannya dengan mata yang berbinar oleh cahaya lampu restoran. "Kisah cintaku itu benar-benar jalan di tempat. Ia berliku dan berputar-putar. Kami terjebak dalam masalah yang itu-itu saja." "Aku juga sama seperti kamu Rei. Aku menerimanya karena ia menyatakan cintanya padaku. Dia orang pertama yang menyatakan cinta padaku dan aku menerimanya begitu saja tanpa pikir panjang karena terlalu senang." Senyuman Nara merekah. Ia pun mulai menceritakan kisah cinta tersebut. Nara mengakui jika ia juga tidak mengerti apa itu cinta. Sejak sekolah dan masuk kuliah. Nara sama sekali tidak pernah pacaran atau merasakan debaran cinta. Ia mengaku sudah sibuk dengan hobinya menulis novel. "Saat itu, awal mula karirku sebagai seorang penulis. Untuk pertama kalinya aku mencoba untuk merilis novel-novel yang selalu aku tulis. Aku sangat sibuk di pertengahan kuliahku." Nara bercerita ia sangat senang saat ia bisa merasakan kisah cinta yang biasanya hanya ia bayangkan dalam novelnya. Ia mengakui jika Nara memiliki banyak inspirasi dari hubungan mereka. Ia mengatakan jika mereka juga pergi berkencan, nonton bioskop, makan bersama bahkan sekadar jalan-jalan di taman. Semua itu, ia tuangkan kembali dalam novelnya. "Tapi, kisah cinta manis itu justru membawa malapetaka pada hubungan kami." Kali ini, ekspresi Nara semakin sulit untuk di artikan. Rei tidak bisa menebak bagaimana suasana hati Nara kala itu. Apakah Nara menjadi merindukan pria itu atau justru itu adalah ekspresi kesedihan yang sudah lama ia sembunyikan. Rei sama sekali tidak tahu. Ia hanya mencoba menenangkan hatinya yang terus berdebar. Resah menanti kata selanjutnya dari Nara. "Pertemuan yang mulanya sesekali itu semakin hari semakin bertambah. Kesibukanku semakin bertambah pula. Pada akhirnya aku harus mempertimbangkan antara kekasihku, kuliahku atau pekerjaanku." Nara kembali bercerita jika saat itu percintaannya mulai berliku. Pertengkaran mulai terjadi. Kekasihnya tidak memaklumi pekerjaan Nara sebagai seorang penulis. Hingga sampai pada batas mereka. "Karena kami selalu bertengkar dan berdebat akan masalah yang itu-itu saja. Pada akhirnya kisah itu kandas begitu saja." Kisah cinta yang ia dengar dari Nara memiliki kesan yang tidak asing bagi Rei. Wanita yang menempel padanya dulu juga sering mengeluh akan dirinya yang terlalu fokus pada pekerjaannya. Namun, kisah Nara pasti berbeda dengan dirinya. Rei akui jika dulu ia sama sekali tidak memiliki perasaan pada wanita-wanita itu. Hingga ia tidak peduli sama sekali dengan perasaan mereka. Tapi, bisa saja itu berbeda dengan Nara. "Apa kamu menyesal berpisah dengannya?" tanya Rei tanpa ia sadari. Rei menutup mulutnya degan kedua tangannya. Ia tidak menyangka akan bertanya hal sensitif seperti itu. Nara saja tidak pernah bertanya lebih tentang masa lalunya. Sejenak ia merasa bersalah telah bertanya hal seperti itu pada Nara. "Tidak. Tentu saja aku tidak menyesalinya. Aku hanya baru sadar jika itu bukan cinta." "Yah, artinya aku lebih mencintai novelku dari pada dia. Aku lebih mendahulukan target novelku dari pada berkencan dengannya." "Jika aku mencintainya. Mungkin aku tidak akan bertengkar dengannya. Aku pasti akan melakukan apapun untuk kebahagiaannya." Untuk sesaat, bisingnya suasana di restoran tersebut serasa hening sejenak. Ramainya orang-orang di restoran tersebut perlahan mulai samar. Rei memandang Nara yang terlihat begitu cantik oleh cahaya lampu yang bersinar. "Hmm.. setidaknya aku berharap kisah cintaku kedepannya tidak seperti usus yang sembelit lagi!" canda Nara untuk mencairkan suasana. "Nara, meski kita memiliki masa lalu yang berbeda. Aku berharap kedepannya kita memiliki masa depan yang sama," benak Rei dengan setulus hatinya. Seulas senyuman terlihat di wajah Rei. "Hmm.. sepertinya aku harus memberikanmu banyak buah dan sayuran agar kamu tidak sembelit." Seketika tatapan mereka berubah semakin lekat. Senyuman di antara mereka kembali melebar. "Ha-ha-ha ... Ha-ha-ha ..." Tawa pun pecah di antara mereka. "Kenapa kita jadi bahas sembelit?" Keduanya kembali menggelengkan kepala sambil tertawa geli. "Iya, mungkin pencernaanku akan kembali lancar jika bersama denganmu!" ucap Nara menggoda Rei saat mereka baru saja tiba di warnet. Nara mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam kamarnya. Ia meninggalkan Rei yang masih berdiri kaku di depan pintu kamarnya yang tak jauh dari kamar Nara. Bruuuuks ... Nara merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia menatap langit-langit kamarnya dan memegang jantungnya yang masih berdebar kencang. "Apa dia menyadari maksud perkataan dariku? Apakah ia tahu, jika aku memberikannya kode dengan sangat jelas?" Di tengah getaran kecil yang terus menggebu. Ada sedikit perasaan yang sulit untuk Nara ungkapkan. "Apa-apaan wanita itu ..." Nara kembali kesal begitu mengingat saat wanita tersebut mencium Rei di depan umum begitu saja. "Arghht ... aku benar-benar kesal setengah mati. Tapi, Rei juga tidak terlihat marah saat dicium oleh wanita itu. Huuuft ..." Nara menghela nafasnya dalam. Ia kembali mengorek ingatannya tentang ekspresi Rei saat itu. "Ah, aku tidak ingat tadi dia berekspresi seperti apa, ya?" Nara yang terkejut akan kejadian itu sama sekali tidak ingat bagaimana wajah Rei saat dicium oleh wanita sexy tersebut. Nara bangkit dari tempat tidurnya. Ia melangkahkan kakinya menuju cermin. Ia memandangi bayangan dirinya di cermin. "Haaaaah ... " desah Nara dan ia pun tertunduk dalam. "Aku, sih, tidak sebanding dengan wanita itu." Nara masih mengingat dengan jelas perkataan dari wanita itu. Jika dia tidak terlihat seperti wanita yang kerap akan dikencani oleh Rei. Jika dirinya bukanlah tipe wanita Rei. Ia sangat berbeda dengan wanita tadi. Ia tidak sexy seperti wanita itu. Ia juga tidak seberani wanita tadi. Keira jauh lebih cantik dan seksi jika dibandingkan dengan dirinya yang terpantul di cermin tersebut. Nara menarik roknya hingga ke paha. Kini paha putih mulusnya terlihat dengan jelas. "Apa aku harus memakai rok segini, ya?" Dengan polosnya, Nara membayangkan dirinya mengenakan rok yang sangat mini. Tidak sampai disitu, Nara kemudian membongkar isi lemarinya. "Apa aku punya pakaian yang sexy?" Pertanyaan konyol itu semakin bertambah. Hingga ia menarik sebuah pakaian yang menurutnya jauh lebih seksi dan minim dari pakaian yang biasa ia kenakan. "Ah, ini dia ..." Nara mengenakan pakaian tersebut dan kembali bercermin. Ia berputar di depan cermin dengan senyumannya yang merekah. Plaaaaak ... Nara tiba-tiba menampar kedua pipinya dengan keras. Menyadarkan dirinya dari perbuatan konyolnya itu. "Apa yang aku lakukan?" Nara bingung dengan tingkah konyolnya yang mencoba bertingkah sexy tersebut. "Aku benar-benar gila.."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD