14. Aku sudah lihat langsung tubuhmu!

1230 Words
"Kamu tidak akan tahu kapan cinta akan datang menghampirimu. Karena cinta selalu datang dan pergi tanpa aba-aba." Reiki Savian Altezza *** Nara berdiri di balik pintu kamarnya dengan jantung yang masih berdebar sangat kencang. Napasnya menderu kencang. Matanya serasa tidak fokus untuk melihat. Deg ... Dengan kedua tangannya yang ia letakkan tepat pada debaran jantungnya itu. Debaran yang kini terasa begitu kencang tanpa jeda. Terus berdebar tanpa peringatan dan Nara pun menyembunyikan debaran tersebut sekuat tenaganya. "Aku gila, bagaimana bisa aku bertindak sebodoh itu. Rei melihatku dengan penampilan seperti ini!" sentak Nara marah pada dirinya sendiri yang sudah bertingkah dengan konyol. Tak bisa lagi disembunyikan olehnya. Emosi Nara akhirnya meluap saat ia melihat bayangan dirinya yang terpantul di cermin. Tubuhnya yang basah itu terlihat dengan jelas hanya di tutupi oleh selembar handuk putih. Memperlihatkan sebagian besar kulit putihnya yang mulus. "Maluuuuuu!" teriak Nara yang tidak habis pikir dengan kejadian tersebut. Sampai Nara selesai mengenakan pakaiannya. Ia sama sekali tidak bisa konsentrasi. Di kepalanya terus terbayang dengan kejadian yang menimpanya pagi itu. Hingga tiba waktunya ia harus berhadapan dengan Rei di warnet. Nara sudah berusaha keras menutupi ekspresi di wajahnya dan bertindak seolah tidak terjadi apapun. Akan tetapi, berbeda dengan Rei. Rei sama sekali sulit melupakan kejadian tersebut. Ia terlihat kikuk dan salah tingkah di hadapan Nara. Wajahnya memerah setiap kali Nara mendekat atau berbicara padanya. Hal tersebut membuat Muko bertanya-tanya akan kecanggungan yang terjadi pada dua orang tersebut. "Kalian kenapa lagi?" "I-Ituu ..." Rei yang terlihat gugup, ia hanya menatap lekat Nara dan itu membuat Nara semakin merasa cemas. Ia takut jika Rei menceritakan kejadian tadi pagi pada Muko. Nara tidak bisa membayangkan bagaimana malunya dirinya jika hal tersebut tersebar. "Tidak ada apa-apa.. Hanya saja, itu.. aku baru saja menyatakan perasaanku, jadi itu, kami sebenarnya, itu ..." Dengan terbata-bata, Nara yang tidak tahu harus berdalih apa itu, justru bicara sembarangan pada Muko. Tapi, di tengah itu semua ia justru semakin gugup begitu menyadari apa yang keluar dari mulutnya. "Ya Tuhan, aku bicara apa, sih?" gumam Nara dalam hati yang kini kembali menatap Rei dengan bola matanya yang bergetar. Hal memalukan lagi-lagi ia lakukan. Tapi, saat ini Nara benar-benar ingin menangis. Apa yang baru saja ia katakan sudah jelas akan memperlihatkan seluruh isi hatinya pada Rei. Terlebih lagi, tatapan Rei yang saat ini menatapnya justru membuat Nara semakin tidak tahu harus melakukan apa. Namun, apa yang dikatakan oleh Rei semakin membuat Nara salah tingkah. "Aku, aku juga menyukai Nara. Jadi, aku juga canggung harus bagaimana!" ungkap Rei dengan lantang yang kemudian menundukkan kepalanya, malu. Sementara itu, Muko yang menyaksikan tingkah keduanya itu. Hanya menggelengkan kepalanya. "Sebaiknya kalian bicara baik-baik, sana!" titah Muko sambil menunjuk ke arah tangga. Keduanya akhirnya mengangguk dan langsung menuju lantai dua dalam diam. Bagai robot yang bergerak sesuai perintah. Dalam diam dan terus melangkah menuju tujuan. "Aku beri waktu sampai jadwal pergantian sif!" teriak Muko lagi mengingatkan. Pada akhirnya teriakan dari Muko hanya terdengar samar di telinga Nara. Pikirannya sudah melayang tak tentu arah. Ia sangat menyesali berbagai hal yang terjadi padanya hari ini. Nara berkali-kali mengutuk kesialannya. Bagaikan kutukan beruntun yang ia alami. Kali ini, Nara harus kembali menghadapi kecerobohannya. Meski ia mendengarkan kata-kata yang bagaikan mimpi itu. Nara tetap harus menjelaskan dengan baik apa yang ia katakan tadi di hadapan Muko kepada Rei. Nara pun sudah bersiap dengan beragam dalih yang akan ia ungkapkan jika Rei marah padanya. Dengan suara gugup yang terbata-bata. Rei mengungkapkan isi hatinya tanpa terkecuali. "Nara, aku tahu kamu tadi mengatakan hal itu hanya karena keadaan yang mendesak. Aku tahu kamu takut aku tidak sengaja mengatakan pada Muko tentang kejadian tadi pagi. Tapi, aku sangat senang mendengarnya." Rei menatap lekat wajah Nara yang terlihat penuh dengan tanda tanya. Tapi, Rei sama sekali tidak memberikan kesempatan pada Nara untuk mencerna kata-katanya. Ia terus menghujani Nara dengan ungkapan hatinya yang lain. "Nara, aku menyukaimu. Hmm.. Tidak. Lebih tepatnya, aku mencintaimu." "Aku tidak tahu apa yang akan kamu pikirkan tentangku. Aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini mengingat pertemuan kita yang baru beberapa saat saja. Tapi, aku sama sekali tidak bisa mengontrol perasaanku. Aku sama sekali tidak bisa menghentikan debaran jantungku utuk kamu. Aku tidak bisa menghentikan diriku untuk tidak mencintaimu." Tatapan lekat Rei sama sekali tidak terlihat goyah. Memperlihatkan jika apa yang ia katakan bukanlah sebuah kebohongan. Keyakinan terdengar dari setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya. "A-aku merasa jika ini adalah kesempatanku untuk mengungkapkan segalanya. A-aku juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Muko untuk kita," ucapnya lagi kali ini dengan sedikit terbata-bata dan wajahnya yang sudah merah padam. Akan tetapi, hal mengejutkan kembali Nara dengar. Layaknya sebuah mimpi yang sulit untuk bisa dipercaya. Apa yang diucapkan oleh Rei membuat hatinya bergetar dan senyuman merekah diwajahnya. Mimpi itu kini menjadi kenyataan yang manis untuknya. Wajah merah Rei memperlihatkan dengan jelas jika Rei mengerahkan keberaniannya untuk mengatakan isi hatinya. Itu membuat Nara semakin merasa bahagia. "Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu, Rei. Sama seperti kamu. Aku juga meragukan waktu yang hanya beberapa saat kita lalui. Tapi, aku juga tidak bisa menutupi kenyataan tentang perasaanku padamu," ucap Nara dengan senyumannya yang merekah. Melihat senyuman manis Nara. Rei ikut tersenyum dan memeluk Nara dengan erat. Pelukan bahagia yang dengan senyuman merekah Rei dan Nara. "Eh, tunggu dulu Rei!" Tiba-tiba Nara mendorong tubuh Rei yang tengah memeluknya dengan erat itu. Ada satu hal yang mengganjal perasaan Nara. "Bukankah aku bukan tipe wanita idaman kamu Rei? Selera kamu, mungkin seperti mantan pacarmu yang kemarin. Wanita cantik, bertubuh indah dan sexy. Bukan seperti aku?" Nara menundukkan kepalanya menatap tubuhnya yang sama sekali tidak terlihat sexy dan biasa saja. Rei yang menyaksikan tingkah Nara tersebut mengikuti arah pandangan Nara yang mengarah pada beberapa bagian tubuhnya dan berkata, "Tidak kok. Setelah aku lihat, tubuhmu juga bagus. Aku menyukainya! Cantik. Cantik sekali." "Reeei!!" Nara sedikit meninggikan suaranya. Ia menatap Rei lekat dengan kedua tangan yang kini sudah terlipat. Menutupi bagian tubuhnya dari pandangan nakal Rei. "Maaf Nara, aku khilaf. Tapi, aku tidak bohong kok! Aku, kan sudah lihat langsung tubuhmu," dalih Rei lagi dengan penuh penyesalan. "Rei, cukup!" "Tidak langsung. Aku masih mengenakan handuk Rei," Nara meralat perkataan Rei dengan perasaannya yang semakin campur aduk. "Ma-maaf!" Kali ini Rei langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia benar-benar terlihat menyesali perbuatannya. Wajah Rei terlihat begitu menggemaskan saat ia cemas. Menjadikan Nara pada akhirnya sama sekali tidak bisa marah pada Rei. "Ah, aku juga yang salah, sih. Lupa membawa baju ganti. Aku tidak menyangka jika aku menghabiskan waktu selama itu di dalam kamar mandi. Jadi, tolong untuk sementara jangan dibahas lagi kejadian itu, ya. Aku malu!" Akhirnya Nara mengakui segalanya pada Rei. Seketika itu wajah Rei terlihat lega. Ia merasa telah dimaafkan begitu saja oleh Nara. "Ya sudah. Ayo! Muko pasti sudah menunggu kita. Dia sudah sangat baik hati memberi kita kesempatan untuk berdiskusi dengan baik." Nara yang langsung mengarah turun dari tangga itu. Tiba-tiba saja ditarik oleh Rei. "Rei.." Keseimbangan tubuh Nara goyah. Ia akhirnya mendarat lagi pada pelukan Rei. "Aku mau memastikan. Ini bukan mimpi, kan? Ini hari pertama kita, kan? Kamu benar-benar milikku, kan?" Rei menghujani Nara dengan berbagai pertanyaannya. Pertanyaan yang berhasil membuat senyuman kembali terukir di wajah Nara. Nara pun berkata dengan suaranya yang lembut, "Iya, ini bukan mimpi. Mulai hari ini aku benar-benar menjadi milikmu Rei." "Boleh aku mencium kamu?" tanya Rei lagi tiba-tiba dengan tatapannya penuh harap pada Nara begitu mendengar jawaban manis tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD