2. Pengaruh

1053 Words
2005, Tahun ajaran baru... Itu hari pertama Sani mengenakan seragam putih abu-abu. Hari pertama ketika dia duduk di tengah kelas tanpa ada seorang pun yang dia kenal. Dari alumni SMP-nya, hanya Sani yang masuk SMA Taruma Negara. SMA swasta baru yang langsung dikenal karena prestasinya. Bukan ingin bergengsi, hanya saja di masa itu nilai tidak bisa dibohongi jika ingin masuk negeri. Sederhananya, nilai Sani tidak cukup untuk masuk dua SMA Negeri terbaik yang menjadi pilihannya. Mau tidak mau orangtua gadis itu memasukan putri mereka ke SMA swasta, meski dalam hal ini SMA swasta yang dipilih tidak kalah dari SMA Negeri yang dari masa ke masa selalu digadang-gadang sebagai sekolah yang lebih baik. Lupakan soal itu, bukan perbandingan antar sekolah yang menjadi masalah di sini. Melainkan karakter Sani yang di jaman itu masih terkesan polos. Jika dibandingkan dengan teman seusianya, mungkin Sani masuk dalam kategori kuper—alias kurang pergaulan—yang tidak akan dilirik atau disapa lebih dulu jika dia terus diam seperti patung. Beruntung Sani mendapat teman-teman sekelas yang peduli, teman yang mengajarkannya untuk membuka percakapaan dengan bermodal sebuah senyuman. Konyol. Memang. Bermula dari tatap, tersenyum satu sama lain, lantas tertawa tanpa kata pengiring yang kemudian menandakan interaski non-verbal ala Sani itu sedang berlangsung. Mungkin jika diterjemakan, semua rangkaian itu bisa berupa kata yang menyapa layaknya, "Hai, salam kenal. Senang berkelanan," lantas menjabat tangan satu sama lain. Hanya itu yang bisa Sani lakukan, sebelum akhirnya mengenalkan diri canggung. Teman pertama sekaligus teman sebangkunya bernama Anggi, gadis tomboy cantik yang di kemudian hari menjadi salah satu sahabat garda terdepan dalam hal melindungi teman-temannya. Berlanjut pada Dila yang Sani kenal sebagai teman paling ramah yang disukai hampir seluruh kelas. Ponsel yang Dila kenakan adalah ponsel paling muktahir di masanya jika dibandingkan dengan penduduk kelas lain, yang di kemudian hari menjadi rebutan para teman laki-laki sekelas untuk saling pinjam lantas bermain game menggunakan ponsel itu. Lantas yang terakhir ada Finka, gadis cantik, pintar namun terkadang sulit diajak bicara panjang lebar karena lambatnya gadis itu dalam mencerna cerita orang lain. Di jaman itu, Finka mungkin salah satu dari sekian banyak yang mendapat julukan nge-tren seperti "tu-la-lit" atau bahkan "lola" alias "loading lama" yang membuat orang-orang akan mundur perlahan jika Finka sudah mengeluarkan sifat aslinya. Tapi siapa sangka, setelah sepuluh tahun, justru Finka satu-satunya yang masih berhubungan baik dan intens dengan Sani. Meski dalam rentang itu ada masa-masa hubungan mengendur lalu saling melupakan. Tapi pada akhirnya pertemanan selalu punya alasan dan jalan untuk kembali saling peduli, bukan? Bagi Sani, ketiga orang itulah yang kemudian menemani banyak waktunya di masa-masa putih abu-abu. Masa-masa yang seharusnya menyenangkan, masa-masa yang seharusnya menjadi kenangan indah. Kalau saja kejadian itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya, mungkin Sani bisa memperlakukan sejarah hidupnya dengan lebih baik. Tapi, nyatanya Tuhan selalu punya cara untuk mengajarkan arti dalam hidup. Mungkin itu pula yang terjadi pada hidup Sani. *** Namanya Windy, fisiknya imut dan kecil. Bahkan lebih kecil dibanding Sani saat itu, teman laki-laki yang menyenangkan. Duduk di depan Sani dan Anggi pada hari pertama, berbalik menghadap kedua gadis di belakangnya lantas menyapa ramah. Pemuda yang duduk di samping Windy ikut menoleh. Tatapannya lembut, berkulit lumayan gelap—khas laki-laki dengan masa kecil menyenangkan yang pasti punya hobi mengejar layangan—dengan perawakan cukup tinggi di antara teman laki-laki lainnya. Pemuda itu tersenyum ramah. Senyum yang semula belum berarti apa-apa bagi Sani, tapi dikemudian hari menjadikannya senyuman paling istimewa. Hal yang kedepannya selalu dia ingat dan paling ingin gadis itu lupakan seluruhnya hingga ke akar-akar. "Gue Daru," mengulurkan tangan, Daru menjabat Anggi lalu berganti pada Sani. "Sani," ucap Sani pendek. Suara Daru selalu menjadi hal yang menakjubkan untuk didengar. Tanpa Sani sadari, gadis itu mulai bisa membedakan suara teman laki-laki lain dengan suara Daru yang menurutnya punya ciri khas sendiri. Saat itu Sani belum tahu, bahwa bibit rasa sederhana yang dia tabur justru menjadi tumbuh, menguat kemudian mengakar begitu dalam. Saat itu Sani belum tahu dan hanya menjalani harinya layaknya gadis seusianya yang lain. Saat itu Sani belum tahu, berawal dari tempat duduknya yang tepat berada di belakang Daru justru akan menjadi ingatan yang paling menyesakan dikemudian hari. "Kalian satu SMP?" tanya Daru menatap Anggi dan Sani bergantian. "Nggak kok, kita ketemu di gugus sih waktu MOS kemaren. Ya kan, Sa?" Sani mengangguk, memberikan senyum canggungnya seperti biasa. Hal yang menakjubkan justru terlihat dari reaksi Daru, pemuda selalu membalas senyum Sani meski itu terlihat amat konyol. Hanya orang aneh dan gila yang mungkin bisa mengerti kenapa Sani selalu memasang senyumnya. Selain karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa, gadis itu juga tidak tahu apa kiat-kiat untuk melanjutkan percakapan dengan baik. Beruntungnya percakapan sederhana itu berakhir ketika seorang guru masuk dan mengenalkan diri sebagai wali kelas mereka untuk setahun ke depan. Guru yang menjadi idola setiap murid pada masa itu. Hari pertama. Wali kelas baru, ketua kelas baru, dan perangkat kelas baru pula. Dila, Finka, dan Anggi selalu menjadi bagian terpenting perangkat kelas. Seperti bendahara, sekertaris, seksi ini dan itu, lain halnya dengan Sani yang selalu menjadi netral dalam kelas, bahkan jika tidak bergabung dengan teman-temannya yang dipandang itu mungkin Sani termasuk dalam urutan siswi yang terpinggirkan. Yah, begitulah Sani yang sebenarnya. Dia sendiri heran mengapa dirinya bisa berkumpul dengan teman-temannya yang berstatus istimewa di kelas itu. Takdirkah? Atau hanya kebetulan? Saat itu Sani tidak tahu pasti, atau lebih tepatnya belum pada tahap mengerti, bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Seperti halnya daun yang jatuh dari dahan dan ranting, mereka tidak mengenal kata kebetulan, melainkan takdir yang memang harus dihadapinya detik itu juga. Perlu diingat. Saat itu Sani masih tidak tahu apa-apa tentang rasa. Pergaulannya selama 15 tahun masa mudanya ia habiskan dengan aktifitas yang tergolong biasa saja, tidak ada yang istimewa. Polos, pendiam mungkin itu julukan yang tepat untuk Sani hingga hari itu, sebelum akhirnya semua kepolosannya itu perlahan terkikis menjadikan Sani gadis yang terlalu banyak berusaha. Berusaha untuk membuat orang-orang menyukainya hingga tanpa sadar Sani mulai memasang topengnya sendiri. Topeng yang menjadikannya banyak tersenyum meski hatinya justru bertolak belakang. Topeng yang menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja, walau pada nyatanya dia tidak sebaik yang orang pikir. Topeng yang membuat senyum tulusnya berganti dengan senyum terpaksa dan penuh kebohongan. Topeng yang membuatnya melakukan banyak hal yang bahkan tidak seharunya dia lakukan. Hal yang dikemudian hari paling Sani sesali hingga usianya yang kini sudah menginjak lebih dari seperempat abad di bumi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD