CERITA MISTERI 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (25)

1718 Words
Episode : Ucapan Bagas Yang Membekas Di Hati Dan Pikiran Windy (2)                                 Padahal ia punya banyak pertanyaan untuk dilontarkan. Pertanyaan yang butuh jawaban dari mulut Bagas agar segalanya terang-benderang. Padahal juga, ada selintas rasa asing yang menyapanya, menjalar ke seluruh tubuhnya, dan bagaikan merasukinya. Dan padahal..., ia merasa bahwa kalimat panjang Bagas sungguh berselimutkan misteri yang teramat besar, yang menbuat dirinya mau tak mau menjadi gentar. Namun apa hendak dikata..., lidahnya terasa kelu. Tak sanggup mengucapkan satu patah kata pun saat ini.                   “Wah! Toko retail yang di depan sana itu besar sekali ya,” celetuk Bagas tiba-tiba.                 Windy tersentak. “Eiiits..., kamu berhentinya di depan sana saja, yang ada toko retail,” ujar Windy pula. Apa yang Bagas ucapkan tentang toko retail membuat dirinya tersadar bahwa mereka telah memasuki wilayah di mana dirinya tinggal. Seketika percakapan mereka terhenti.                 Bagas mengangguk lantas mengamati keadaan sekitar toko retail, mencocokkanya dengan alamat rumah Windy yang telah ia set di gps. Bagas mulai melambatkan laju kendaraannya. “Oh. Oke. Itu nggak terlalu jauh dari rumahmu, ya? Kurang dari seratus meter. Nggak apa-apa dan menyolok kan? Aku amati dari sini deh, untuk memastikan kamu baik-baik saja sampai di rumahmu,” kata Bagas. Windy menggeleng. “Nggak perlu. Rumahku itu adanya tepat di kompleks yang ada di belakang deretan ruko di mana toko retail itu berada kok. Dan posisinya nggak terlalu jauh dari akses masuk kompleks. Blok pertama. Jadi nggak bakal kelihatan. Kamu langsung saja. Aku berhenti di sini deh, jangan di depan toko itu juga. Terlalu dekat. Terlalu banyak Orang di situ yang mengenali wajahku. Lagi malas untuk menjawab pertanyaan nggak penting seperti : Kok tumben jalan kaki? Nggak naik mobil? Mobilnya rusak ya? Atau..., didrop sama Teman?” ungkap Windy. Bagas kembali tertawa. “Memang nggak penting itu semua. Yang paling penting sekarang adalah tentang kita. Kita berdua saja,” tegas Bagas. Ia segera memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. “Aku pulang dulu ya,” ucap Windy. “Oke. Oke. Tapi setibanya di rumah nanti, kabari aku, ya,” kata Bagas lalu mendaratkan ciuman di kening Windy. Ketika Windy tengah terbius dalam suasana, Bagas mengakhiri ciuman itu lantas segera turun dan membukakan pintu mobil untuk Windy. “Hati-hati ya Sayang,” bisik Bagas. Windy mengangguk. “And dream of me,” bisik Bagas lagi. Windy tak menyahut. Hatinya terasa terlalu penuh, disesaki dengan segala macam rasa yang berpadu. Ada gembira, ada semangat, ada harap, ada rasa sesal karena terlampau cepat berpisah, serta selaksa rasa yang lainnya.                   “Aku kalau sampai ke rumah itu terbiasa langsung menyiapkan pakaian kerja buat besok lalu bersih-bersih badan. Habis itu baru istirahat. Nanti malam saja ya, teleponnya,” kata Windy.                 Bagas mengangguk setuju.                 “Boleh. Nanti aku yang telepon kamu kalau begitu. Sayang, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih karena kamu masih memberikan aku kesempatan untuk melanjutkan hubungan kita ya,” ucap Bagas lembut.                 d**a Windy serasa berdesir mendengar ucapan Bagas yang teramat tulus.  Sama sekali tidak ada kesan tengah merayu dirinya.                 Tidak ada kata lain yang dapat diucapkan oleh Windy kecuali menganggguk. Ia lekas membalikkan badan dan tak mau menoleh lagi. Ia takut, kalau dirinya menoleh, maka akan merasa berat berpisah dengan Bagas. Lalu dengan setengah berlari, Windy mencapai tempat tinggalnya. Ucapan-ucapan Bagas mengendap di hatinya. Dan ucapan itu bahkan sanggup membuatnya melupakan untuk segera menyentuh kue moci kesukaannya, yang sengaja diantarkan oleh Yeslin. Malahan ia juga lupa mengucapkan terima kasih atau bahkan memenuhi janjinya, menghubungi Yeslin. Hati dan pikiran Windy bagaikan dikuasai oleh Bagas seorang. Malam hari menjelang tidur, dia masih menerima panggilan video dari Cowok itu. Dan alangkah ibanya hati Windy, mendapati Cowok itu masih tampak bekerja di ruangan kerjanya, dan bahkan masih mengenakan pakaian yang tadi. “Bagas Sayang..., kamu belum pulang?” tanya Windy khawatir. “Belum. Kemungkinan aku nggak pulang. Ada beberapa laporan yang masih harus aku cek,” jelas Bagas. “Ya ampun! Tahu begitu tadi nggak usah mengantar aku segala,” sesal Windy. Bagas mengibaskan tangannya dan tersenyum. “Eeeh... apa sih! Nggak ada hubungannya. Ini memang harus aku kerjakan sekarang. Aku itu memang terbiasa mengecek laporan atau menulis kalau sudah malam begini. Lebih hening. Lebih tenang. Dan cocok juga untuk menulis karena banyak inspirasi,” terang Bagas. “Dan kamu belum mandi juga jam segini? Nanti kena rematik lho!” tegur Windy dengan kepedulian yang tak disembunyikan sama sekali.                   Bagas justru senyum kecil.                 “Ih! Kenapa malah senyum-senyum begitu?” tegur Windy tak senang.                 “Enggak ah! Kalau aku ngomong jujur, nanti kamu malahan marah, lagi. Aku kan nggak mau bikin kamu marah dan tersinggung. Kamu itu terlalu berharga buat aku,” kata Bagas.                 “Apa sih! Ngomong nggak! Kalau nggak mau ngomong malah aku marah nih!” ancam Windy.                 Suara Bagas melembut kala melontarkan kalimat tanya, “Benar nggak marah ya? Janji dulu dong.”                 Windy hanya mengangguk.                 Sudah terbayang olehnya besok adalah hari Senin yang sibuk dan dia tak mau otaknya harus memikirkan hal-hal yang tak seberapa perlu untuk dipikirkan. Itu namanya menyia-nyiakan fungsi otak, menurut Windy.                 Bagas sedikit menundukkan wajah dan menarik pakaian yang ia kenakan, lalu menciumnya demikian lama.                 “Bagas! Kamu ngapain sih! Hih! Itu pakaian kamu pakai dari tadi pagi, bukan? Yang ada bau keringat, tahu!” cela Windy.                 Bagas menghentikan kegiatannya dan menatap Windy dengan tatapan teduhnya.                 “Siapa bilang? Justru ada aroma kamu di sini. Ini bakalan bikin tidur aku nanti malam nyenyak,” kata Bagas.                 Windy langsung merasa jengah.                 “Ih! Dasar jorok nggak ganti baju! Memangnya nggak ada pakaian ganti di toko?” tanya windy, berusaha mengalihkan pembicaraan.                 “Ada. Pakaian bersih ada. Tapi sayang ah. Memang sengaja. Paling nanti aku mandi sebentar terus pakain baju ini lagi. Biar serasa tidurnya serasa dinyanyiin Lullaby sama kamu. Jadi besok bangun tidurnya nggak terlalu kesiangan,” kata Bagas.                 Windy tersipu malu.                 Dasar Bagas! Jangan-jangan malahan mimpi jorok dia nanti! Namanya juga Cowok! Tadi sih ngomongnya begitu, sekarang yang dia lakukan beda lagi. Tapi biarin deh, selama dia enggak berbahaya, nggak masalah. Yang penting dia nggak melakukan hal asusila ke aku. Kalau urusan mimpi, ya itu di luar dari kuasanya aku deh,  kata Windy dalam hati.                 “Bagas, kamu beneran tuh mau tidur di toko? Nggak berasa iseng, begitu? Kalau malam-malam kelaparan, terus bagaimana?” tanya Windy. Pertanyaannya yang satu ini selain untukmengalihkan pembicaraan, juga menyiratkan rasa pedulinya. Bagas tertawa. “Aku senang kamu menanyakan soal itu. Tapi jangan khawatir. Aku sudah biasa hidup sendirian. Dan di ruanganku ini ada kulkas, tempat aku menyimpan bebrapa makanan. Aku tinggal pergi ke pantry belakang kalau memang lapar. Atau pesan antar. Gampang. Semenjak toko ini buka, aku memang sesekali terpaksa tidur di sini, kalau pekerjaanku ada yang belm terselesaikan. Dari pada waktuku habis untuk di perjalanan, kan?” ujar Bagas. Dan lagi-lagi, pertanyaan Windy yang seharusnya, “Oh iya, memangnya kamu tinggal di mana? Kan tadi kita nggak jadi ke tempat tinggalmu. Dan juga, barusan kamu bilang nggak mau menghabiskan waktu di perjalanan. Aapakah artinya, letaknya cukup jauh dari toko bungamu itu?” Tertelan kembali sebelum sempat ia ucapkan. Sebaliknya, Windy justru menanyakan hal lainnya. “Tidur di toko? Memangnya ada tempat tidur? Semacam kasur lipat atau?” Bagas memamerkan senyum simpatiknya. “Aku suka deh, kalau kamu perhatian begitu. Sudah lama banget nggak ada yang memperhatikan aku macam itu. Sampai nyaris lupa rasanya,” ucap Bagas sungguh-sungguh. “Ih! Apa sih! Serius deh, tinggal dijawab juga!” tepis Windy demi menyembunyikan rasa malunya. Bagas memaklumi reaksi Windy. Ia buru-buru berata, “Ya di sofa. Di mana lagi memangnya?” Windy langsung terbungkam. Jawaban yang sederhana. Dan bisa jadi memang jawaban yang sesungguhnya. Namun toh, mengingatkan dirinya akan apa yang terjadi di sana beberapa jam sebelumnya. Lagi-lagi, Bagas menyadari bahwa Windy merasa rikuh. “Jangan khawatir. Kan nggak setiap hari. Ini kebetulan lagi ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” kata Bagas. “Oh... ya ya... tapi apa kamu nggak pernah merasa takut, ya? Kan sendirian di sana. Sementara Semua Pegawaimu sudah pulang. Nggak iseng, begitu, kan sepi? Kamu... nggak takut sama hantu, ya?” tanya Windy spontan. Ajaib. Pertanyaannya membuat Bagas terdiam. Windy jadi salah sangka. “Eh, maaf. Maaf. Aku nggak berniat untuk bikin kamu takut,” ralat Windy. Bagas tertawa lepas. “Kamu lucu deh Sayang. Masa nakut-nakuti Orang dewasa yang umurnya saja sudah melewati pertengahan kepala tiga? Ya nggak mempan,” kata Bagas.                   Windy terkekeh.                 “He he he... iya juga.”                 Lantas Windy menguap.                 “Kamu ngantuk ya Sayang?” tanya Bagas penuh perhatian.                 “Iya. Aku nggak terbiasa tidur terlalu malam. Lagi pula besok kan Senin. Takutnya aku bangun tidur kesiangan,” kata Windy.                   “Ya sudah. Ngobrolnya dilanjut besok saja. Selamat tidur ya Sayang...! jangan lupa, mimpiin aku ya! Aku mau lanjut kerja dulu,” ujar Bagas.                 “Kamu selamat melanjutkan pekerjaannya ya. Semoga cepat kelar jadi kamu bisa istirahat. Daag Sayang!” timpal windy.                 “Daagh! I love you, Windy Sayang!” ucap Bagas.                 Lantas ia melambaikan tangannya, yang bersambut aksi serupa dari Windy.                 Segera, layar telepon genggam Windy menjadi menggelap.                 Windy mengecup layar telepon gengamnya, seolah tengah mencium Bagas. Lalu diletakkannya benda datar dan tipis itu di atas meja nakas.                 Ia berusaha untuk memejamkan matanya.                 Tetapi alangkah anehnya. Kantuk yang tadi sempat menggodanya seolah lenyap begitu saja. Justr sekarang Windy tidak dapat tidur. Percakapan yang mereka lakukan di dalam mobil serta dalam percakapan melalui telepon barusan, seperti terngiang-ngiang di telinganya.  Namun terutama, percakapan yang di dalam mobil tadi. Semuanya bagai melesak masuk ke alam bawah sadarnya, dan diam di sana.  Windy tak kuasa untuk mencegahnya.                 Pikiran dan perasaannya bagai dijerat seutuhnya oleh Bagas. Dan ia merasa tak mungkin untuk melawan. Tak mungkin dan tak mau. Itu sudah pasti. Maka ia berusaha untuk berdamai dengan semua itu.                 Sementara di tempat yang berbeda, terlihat Bagas menutup layar laptopnya. Ia menaikkan kakinya ke atas meja kerjanya sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya yang tinggi serta empuk. Kemudian, ia meletakkan kedua tangannya ke belakang leher. Bagas melayangkan pandangan matanya ke segenap sudut ruangan kerjanya. Ia menyeringai, terkenang percakapan dengan Windy barusan. “Takut tinggal di sini sendirian, Windy Sayang? Oh! Kamu harus berpikir dua kali sebelum menanayakan tentang itu kepadaku. Aku hanya berharap, kamu tidak takut kepadaku, ya? Minimal, jangan dulu memelihara rasa takutmu di saat-saat indah kita ini. Mari nikmati semua ini dulu, sebagaimana aku juga menikmatinya,” gumam Bagas. * $ $  LUCY LIESTIYO  $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD