Episode : Panggilan Dari Danau Ariya?
Sontak, Fabian terdiam. Tatapan matanya langsung terarah lurus ke depan. Di sebelah kiri sana, terbentang danau Ariya dengan air yang bening serta menerbitkan kesan demikian menenangkan, tanpa riak sekecil apapun.
Fabian tak dapat menyangkal betapa danau Ariya tersebut teramat akrab bahkan sulit dilepaskan dari kehidupannya semasa kecil dan selama dirinya tinggal di desa Watu Dasa ini. Bertahun lampau, sebelum dirinya memantapkan pergi merantau walau harus sedikit berdebat dengan Sang Ayah, dia senantiasa menghabiskan sore di tepian danau dengan sejumlah teman sepermainannya. Banyak waktu yang Ia habiskan di sana. Menikmati suasana danau yang teduh, bercanda ria, sesekali bersepeda di sepanjang tepian danau, lain kali tertidur di bawah pohon yang berdaun lebat dan dibuai mimpi indah serta desir angin yang lembut, adalah sebagian kecil dari aktivitas yang mereka lakukan bersama sebelum hari gelap.
Pun ketika dirinya yang telah bekerja di kota dan fokus mengejar kesuksesan yang akhirnya menjadi nyata dalam hidupnya, dia masih sering melewatkan sore di danau tersebut kala jika menyempatkan pulang ke desa di sela rutinitasnya yang padat. Dan di awal perkenalan dirinya dengan Shania lantas di kemudian hari ia berhasil menarik perhatian Gadis itu, satu dua kali dia masih menyambangi danau Ariya kala menengok keluarganya di desa ini. Hal itu ia lakukan tak lain demi menyerap nuansa teduh yang ditawarkan oleh danau itu.
Mengenangnya, rasa ragu yang tadi dirasakan Fabian, kini semakin kuat membelenggunya. Dan sulit bagi Fabian untuk mengatasinya.
Danau Ariya ini memang selalu menawarkan rasa tenteram bagi setiap pengunjungnya. Tapi itu dulu. Dulu sekali, sebelum aku mendengar berbagai cerita miring dari penduduk desa ini. Ya, cerita miring yang aku dengar sepintas lalu, dalam kunjungan singkatku. Cerita miring yang sampai sekarang memang juga belum dapat aku buktikan sendiri, pikir Fabian yang teringat alangkah dia pernah tergoda untuk mencari tahu dengan cara datang ke danau itu sendirian demi menyerap auranya dalam diam. Dan di luar kemauannya ia bergidik ngeri, lantaran mendadak merasakan kembali bahwa saat itu ada nuansa berbeda yang menyapanya.
Saat mendapati Shania masih memandang padanya dengan tatapan penuh harap dan menanti jawabannya, Fabian tersadar kalau dia belum menanggapi Shania. Namun di saat yang bersamaan, untuk sesuatu yang kurang dimengertinya, dirinya bagaikan mendapat peringatan. Dia lekas menggelengkan kepalanya.
“Sekarang kita langsung ke rumah saja dan beristirahat. Terutama kamu, Dik Shania. Kamu harus beristirahat secara optimal, supaya besok pagi bangun tidur dalam keadaan segar. Kamu tahu kan, kenapa? Soalnya besok sore sampai malam harinya, Bapak akan mengundang segenap warga desa ini untuk berpesta di rumah. Ini nggak seperti pernikahan di kota, yang paling-paling berlangsung dua jam lalu para undangan pulang ke rumah masing-masing dan Pengantinnya bisa istirahat. Beda sekali, Dik. Di desa ini, Pengantin itu duduk di pelaminan dari sore sampai malam harinya. Bahkan besok-besoknya, masih ada saja yang bakal datang untuk mengucapkan selamat menempuh hidup bari, kalau belum sempat datang di hari pertama. Dik Shania, aku sudah bilang kan, bahwa di sini, acara makan-makannya itu berlangsung minimal tiga hari?” terang Fabian panjang lebar untuk memberikan pengertian kepada Shania.
Shania menelan ludah. Tak urung Ia menatap kecewa mendengar Fabian tak mau memenuhi permintaan kecilnya.
Ya ampun Kak, kok begini amat sama Istri yang baru saja kamu nikahi? Ini pemintaan remeh lho. Aku hanya meminta supaya kita singgah sebentar di danau, masa nggak boleh sih? Sebentaaaar, saja. Aku tuh kepengen banget. Rasanya danau itu seperti melambai genit ke aku. Sulit buatku melawan pesonyanya, bisik hati Shania.
Fabian yang membalas tatapan Sang Istri, memahami gurat kecewa di wajah Wanita yang amat dicintainya itu. Tangan Fabian terulur lantas menggenggam erat tangan Shania. Diciumnya punggung tangan Shania dengan sepenuh perasaan.
“Jangan sedih begitu, Dik. Kita kan bakal sampai satu minggu berada di desa ini. Nanti, setelah rangkaian perayaan pernikahan kita selesai, aku sendiri yang bakal mengantar kamu mengelilingi desa ini. Aku janji. Banyak sekali yang bisa kamu lihat Dik, bukan hanya danau itu. Aku yakin, kamu bakal suka. Sekarang, sabar dulu ya,” hibur Fabian.
“Nurut apa kata Suamimu, Nak,” sela Bu Asnah. Begitu pelan dan tiba-tiba. Entahkah dia bermaksud memberi saran serta dukungan, ataukah sedikit menyindir keputusan keluarga Fabian yang dirasanya terlalu mengecilkan peran keluarga mereka.
Berbeda dengan Pak Zacky, Sang Suami, yang malas menuntut terlalu banyak dari Fabian terutama yang berkaitan dengan prosesi pernikahan Putri mereka, di hati kecil Bu Asnah sesungguhnya masih menyimpan rasa penasaran dan tidak puas. Pikirnya, buat apa dirinya mendapatkan seorang Menantu yang kaya raya, kalau tidak dapat menyelenggarakan acara ngunduh mantu di tempatnya? Apa yang harus dikatakannya kepada para Tetangga yang pasti akan usil menanyainya sepulangnya mereka sekeluarga dari desa ini kelak?
Aku nggak salah kan kalau berharap begitu? Ya meskipun aku juga baru tahu bahwa Fabian itu berkantung tebal ketika hubungan dia sama Shania sudah semakin serius dan sulit untuk dipisahkan lagi. Soalnya, penampilannya saat mendekati Shania dan di awal hubungannya sama Shania juga biasa saja. Nggak pamer kekayaan. Berbanding terbalik sama para Lelaki yang mendekati Shania. Aku baru mulai tersentuh sama perjuangan cinta dia sama Shania sewaktu Fabian terang-terangan menggelontorkan banyak uang buat keluargaku, kata Bu Asnah dalam hati.
Mendengar kalimat yang terucap dari mulut Sang Istri, Pak Zacky menatap sesaat pada istrinya, seperti memberi kode. Seperti tertegur, Bu Asnah langsung menutup mulut rapat-rapat meski dia sudah ingin melancarkan celetukan berbalut sindiran halus kepada Sang Menantu.
“Iya, Kak Fabian. Tapi kan perayaannya sendiri sudah selesai besok malam, ya? Artinya, lusa aku sudah boleh berjalan-jalan dong? Ah! Aku sudah membayangkan, udara pagi di sini pasti bagus. Masih banyak pohon rindang. Sudah begitu, jarak rumah yang satu ke rumah yang lain berjauhan. Menyenangkan sekali,” kata Shania penuh harap.
Fabian tidak segera menyahuti Shania. Dia ingat jelas apa yang dipesankan oleh Ayah serta Ibunya. Pasalnya bukan sekali mereka mengatakan bahwa Shania baru boleh keluar rumah setelah semua rangkaian acara tuntas sepenuhnya dan menyuruhnya menegaskan hal tersebut kepada Shania, meski tidak merinci dengan jelas apa alasan di balik itu. Fabian, yang berpikir itu bukanlah masalah besar sebab dia telah memperkirakan Shania pasti akan disibukkan dengan padatnya acara, segala macam kostum, make up hingga berbagai perawatan tubuh yang disediakan oleh para pekerja di rumah Ayahnya pada sejumlah hari tersebut, hanya mengiakan. Tanpa melontarkan kalimat tanya atau meminta penjelasan, apalagi protes.
Namun sekarang, akibat Shania terkesan mendesaknya begini, Fabian jadi sedikit ragu dengan ‘kesanggupan’ yang ia nyatakan kepada kedua Orang tuanya.
“Kak Fabian, boleh kan?” desak Shania lagi, sambil mengguncang lengan Fabian dengan manja. Senyum Wanita itu mengembang, membuat hati Fabian nyaris luluh. Ia tak tega untuk membiarkan Wanita yang dicintainya ini kecewa lebih dalam.
Suami macam apa aku ini, yang bahkan nggak bisa memenuhi permintaan kecil macam itu? Tapi..., pikir Fabian yang serasa dihadapkan pada sebuah dilema.
Fabian membelai kepala Shania dengan lembut, lantas menyahut dengan bijak, “Semestinya boleh, Dik. Tetapi untuk lebih jelasnya, nanti kita tanyakan dulu pada Bapak dan Ibuku, ya. Maklum, untuk urusan macam ini, banyak aturannya. Kita ikuti saja ya? Toh, setelah ini kita kembali ke kota, ke rumah kita sendiri.”
Sungguh aneh. Usai mengatakan hal yang beraroma memberikan harapan serta mengandung unsur sebuah janji itu, Fabian merasa gentar. Terlebih, saat dia melihat gurat kecewa di paras Shania belum sepenuhnya terusir. Apa boleh buat. Rupanya kalimat Fabian barusan tidak mampu menenangkan perasaan Shania.
^ * Lucy Liestiyo * ^