Chapter 02

2066 Words
Silla meletakan buku - buku tebal di meja depan kelasnya. Dia kemudian menghembuskan poninya karena merasa kesal. Tangannya bersedekap ke depan d**a, wanita itu merasa kesal dan juga lelah. Bukan hanya raganya saja, tetapi juga batinnya. Louis memang benar - benar memiliki dendam kesumat dengan wanita itu. Pagi hari ini, Silla sudah menyalin seluruh catatan nilai milik Louis hingga seribu lembar. Belum lagi, dia menata buku diperpustakaan kampusnya yang lebarnya, selebar gelora bungkarno. Sekarang, wanita itu harus membawakan buku dosen sialan itu setiap dia akan mengajar di setiap kelas. Menjadi asisten Louis merupakan musibah permanen untuk setiap manusia. Memang Louis sangat sialan. Jika bisa, wanita itu pingin menggaruk wajah tu dosen karena saking kesalnya. Lalu wanita itu dengan malasnya berjalan ke kursinya. Dia membuka jasnya dan meletakan ke sembarang tempat. Wajahnya yang lesu diletakan dimeja dan mulai menghela nafas panjang. Sementara Dimas, yang berada disampingnya tertawa terbahak - bahak melihat muka Silla yang begitu masam. Silla yang merasa emosi, kemudian memukul kepala Dimas keras hingga menimbulkan suara. Membuat sang empu mengaduh kesakitan, merasakan kepalanya dipukul dengan keras. Pletak "Diem lo!" katanya kesal. "Aww, santai dong! Kepala gue, ntar gue amnesia terus nggak cakep lagi gimana?" Dimas mengelus kepalanya yang dipukul Silla. "Ini semua gara - gara lo!" kata Silla berang. Dimas mengerutkan alisnya menahan ketawa. Sungguh, menggoda temannya ini adalah hobby yang paling menyenangkan sekali. Terkadang tak menjahili Silla, membuat pria itu gatal sekali. "Pftt.. kenapa jadi gue yang disalahin?" "Kalau lo nggak bikin gue kesel, gue nggak akan dihukum dosen sialan itu!" wanita itu menunjuk wajah Dimas. "Iyaa iyaa, gue yang salah. Gue minta maaf." Silla memalingkan muka kesamping. Dia masih marah, dan tak mau menatap pria disampingnya itu. Kemudian Dimas yang melihat tingkah wanita itu hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia mendekati Silla dan menyenggol bahu wanita itu untuk meluluhkan hatinya yang sedang marah. "Yah malah ngambek. Maafin gue deh kalau gitu. Mbak Silla Pradita Rutheger yang sangat cantik menawan semok membahana aduhai." "Mon maap gue nggak semudah itu lo rayu." Dimas melihatnya berdecih, "Gue beliin es krim deh.." Silla menggelengkan kepalanya angkuh. Sekali tidak tetap tidak. Wanita itu begitu teguh pendiriannya. "Tambah mie ayam deh," tawar Dimas. Silla masih diam tak mau menatap pria itu. Dia terus menguatkan hatinya agar tidak tergoda oleh setan diluaran sana yang sedang berusaha membujuknya. "Dua porsi deh," tawar Dimas lagi. "Tiga!" jawab Silla akhirnya. Gugur sudah penderian wanita itu, kemudian menatap Dimas dengan sengit. "Buset, lo ngerampok gue?" tanya Dimas kaget. "Lo niat nggak sih minta maaf sama gue?!" teriak Silla. "Yaudah iyaa tiga, tapi nyicil yaa sekarang satu dulu." "Nggak! gue maunya SE-KA-RANG!" "Yaudah ayo." Silla menatap Dimas dengan berbinar. Kemudian mereka langsung menuju kantin kampus bersama. Silla sudah terlebih dahulu duduk, kemudian Dimas mengikutinya duduk disamping wanita itu. "Bu, mie ayam bakso tiga!" teriak Silla. "Buset laper apa doyan lo," kata Dimas sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak ikhlas ni?" "Ikhlas, tapi lo kan cewek Sil, nggak ada jaga imagenya banget. Gini - gini gue cowok cakep seantero kampus." "Cakep? Ngimpi! Udah deh Mas, lo nggak usah banyak omong dah, buat apa gue jaga image didepan lo. Kurang kerjaan banget hidup gue." "Serah lah, dasar nenek lampir!" "Gue denger ya Dimas Ardiansyah..." Pesanan yang mereka pesan kemudian datang. Silla kemudian langsung mengambil saos dan kecap untuk menambahkan rasa di mie ayam baksonya. Kemudian Silla memasukan suapan pertama dimulutnya. Rasanya bagaikan surga dunia, begitu aduhai didalam mulutnya. Mie ayam adalah makanan favorit wanita itu. Bahkan dia sanggup menghabiskan lima porsi mie ayam sekaligus. Dimas hanya meminum es teh sedari tadi. Dia sudah kenyang dengan menatap wanita itu makan dengan sangat bar - bar. Pria itu memperhatikan wanita didepannya tanpa berkedip, kemudian matanya tertuju pada kotoran yang ada di sudut bibir wanita itu. Sungguh, kotoran yang ada dibibir wanita itu sangat mengganggu pemandangannya. Lalu dia berdecih. "Kalau makan nggak usah bar - bar bisa?" tanyanya. "Ngghwak," ucap Silla dengan mulut penuh dengan makanan. Dimas berdecih melihatnya. Sudut bibir wanita itu penuh dengan saos, masih berada dipengelihatannya sedari tadi. "Tuh kotor bibir lo!" tunjuk Dimas lada sudut bibir wanita itu. Silla yang mendengarnya malah asyik makan, hanya menganggap ucapan Dimas angin lalu. Dia tidak peduli, tujuannya hanya makan, makan, dan makan. "Astaga, itu dihapus dulu, jijik banget anak cewek nggak rajin makannya." "Mana?" Silla berhenti makan, dan memegang sudut bibir kirinya. Menatap Dimas dengan bingung. "Bukan." "Yang mana! Aduh Dimas bikin gue naik darah aja deh," kesalnya. "Ini." Dimas mendekat ke arah Silla. Posisi mereka bahkan bisa dikatakan terlalu dekat. Tangannya bergerak menyapu kotoran yang ada dibibir Silla. Pandangan keduanya bertemu, keduanya jatuh pada irish mata masing - masing. Atmosfer sekelilingnya menjadi berbeda dan mulai canggung. Akhirnya Dimas memutuskan memundurkan wajahnya terlebih dahulu. "Ekhem, tuh! Makanya kalau makan yang bener. Makan jangan kesetanan gitu." "Bodo amat!" jawab Silla tidak peduli dan tetap melanjutkan makan. Setelah kenyang, mereka berjalan kembali ke kelas. Mood Silla sudah berubah membaik setelah memakan tiga porsi mie ayam yang membuat perutnya tak berdemo lagi. Dimas, emang sahabat terbaiknya. Walau Silla sering merampok pria itu, emang Dimas sangat b**o atau terlalu kaya, dia tidak mempermasalahkannya. "Eh, kayaknya lo balik ke kelas dulu deh Dim. Gue ada urusan lain." "Ngapain? Habis ngerampok gue, lu sekarang buang gue gitu aja? Habis manis sepah dibuang, Ck," kata Diamas berlagak melo. "Kemana lagi selain ke ruangan dosen killer itu. Ini semua juga karena lo, gausah lebay gitu lo ah." "Yaudah gue balik ke kelas." "Yoi," Silla berbelok ke arah menuju ruang dosennya. Silla kemudian mengetuk pintu, tapi karena tak ada sahutan dari dalam kemudian wanita itu langsung masuk begitu saja. Sayup - sayup wanita itu mendengar argumen seorang wanita dan juga pria. Kemudian diam - diam dia mendengarkannya dan mematung didepan pintu. "Kamu harus tanggung jawab Lou. Aku hamil anak kamu!" teriaknya. "In your dream," terdengar suara bass yang Silla tau adalah dosennya itu. "Ini anak kamu.. kenapa kamu tega sama aku?!" "For your information, saya selalu menggunakan pengaman ketika kita bermain. Saya tidak seceroboh itu untuk melakukannya dengan kamu. Def, jangan terlalu munafik sebagai wanita, saya tau, bukan hanya saya yang menggunakan tubuh kamu." Silla didepan pintu membukatkan matanya. Gila, dosennya memang ajib bener. Matanya mengerjap sambil menguping, itung - itung anggap saja bukan sengaja. "Ini nggak mungkin, ini anak kamu Lou!" Wanita seperti tante - tante didepannya membantah perkataan dosen menyebalkan itu. Lagi pula tak ada gunanya juga jika dia mendengarkan argumen yang tidak penting. Akhirnya Silla memutuskan untuk berbalik untuk keluar ruangan. "Sisillia Pradita, berhenti!" teriakan Louis menghentikan langkah Silla. Mendengar suara bass itu, Silla berhenti ditempat dan memejamkan mata. "Mati kamu Silla! Makan apa tadi pagi gue, bisa sial gini!" Silla meneguk salivanya dengan susah payah dan dengan berat hati berbalik menghadap mereka. Sungguh kenapa dia sial sekali berada di lingkar setan seperti ini. Silla memaksakan diri untuk tersenyum dan menatap Louis. "Ada apa Pak?" tanyanya malas. "Kemari!" Silla mau tak mau mengikuti ucapan Louis, dia mendekat ke arah pria itu. Setelah berada di jarak satu meter, pria itu menarik Silla dan memeluk bahunya. Silla membelakakan mata menatap Louis tak suka. Wanita itu menggerakan bahunya sebagai tanda memberontak. Silla ingin memperotes Louis untuk melepaskannya, namun pria itu malah berbisik membuat wanita itu kiceup tak bisa bicara. "Saya anggap hukuman hari ini selesai," bisik Louis. Mendengar tawaran pria menyebalkan itu, membuat Silla mau tak mau mengikuti rencana gilanya. Paling tidak dia akan segera terbebas oleh pria sialan ini. "Okei," dengan malas Silla akhirnya menyetujui drama konyol ini. Sungguh dia tak ingin berada di posisi ini. Namun Tuhan selalu menguji keimanannya. "Ini adalah tunangan saya Def," Louis mengatakannya sambil tersenyum. Mengeratkan pelukan dan mengelus bahunya mesra. Sungguh demi neptunus, wanita itu sangat jijik dengan perlakuan Louis. Garis bawahi, jijik. Namun, karena sudah menyetujuinya, Silla terpaksa tersenyum dan membalas pelukan pria itu dengan melingkarkan tangan dipinggangnya. "Saya tunangan dari Pak- eh Louis." Setelah mengucapkan hal konyol itu, wanita yang bernama Def itu geram dan menampar pipi Silla. Plak Silla merasakan panas di pipinya. Ia tak menyangka tamparan wanita yang sedang marah sangatlah sakit. "Dasar jablai. Saya sedang mengandung anak Louis. Seenaknya kamu muncul dengan mengaku tunangannya. Kamu kira saya percaya?! Dasar anak kecil kegatelan!" Silla yang di panggil 'Jablai' merasa emosi. Dia menggulung jacket denimnya hingga sebatas lutut dan menepis tangan Louis yang berada dibahunya. Wanita itu meniup kencang poninya dan bersedekap didepan d**a. "Mon maap tante, maksud tante tampar saya apa?" Silla melotot tajam ke arah Def. Def yang dipanggil tante tak terima begitu saja. Mereka saling beradu pandang sengit satu sama lain. Louis yang melihatnya biasa saja tak berniat melerainya. "Dasar kurang ajar!" Def mencoba menampar Silla sekali lagi, namun Silla menangkap tangan Def, dan memuntir kebelakang. Satu tangan Silla menjambak rambut milik pirang Def. "Dikira nggak sakit apa main tampar - tamparan. Nggak usah macem - macem ya tante! Udah tua mau lawan yang muda. Cuih!" Silla meludahi tepat di wajah Def. Wanita itu nampak menahan sakit ditangan dan rambutnya. "Dasar jablai lepasin saya!" Def meronta meminta dilepaskan, dia menatap Louis untuk menolongnya, namun pria itu sengaja membiarkan Silla menghajar wanita itu. Akhirnya Silla melepaskan tangan Def dengan kasar. Def merapikan rambutnya yang berantakan karena ulah Silla, dan pergi begitu saja karena malu. "Dasar.. tante - tante mau lawan gue, kalah lo!" Louis yang melihatnya terkekeh, baru kali ini ada wanita se bar- bar Silla. Biasanya, wanita yang ia temui sangat nakal bahkan suka menggodanya. Namun tidak, Silla begitu menatap dirinya dengan penuh kebencian. Itu yang membuat Louis melihat wanita itu berbeda. "Ngapain Pak Louis ketawa?" tanya Silla ketus. "Apa iya saya ketawa?" balas Louis. "Mata Nenek saya saja tau kalau Bapak ketawa!" "Saya tidak merasa tertawa." "Iya dah suka suka Bapak, dosen maha benar." Saat Silla hendak pergi dari ruangan Louis, pria itu menghentikan langkah Silla. "Saya tunggu besok jam tujuh pagi diruangan saya." "Ngapain Pak? Kelas saya siang, ngapain pagi - pagi kemari," dengus Silla. "Hukuman kamu masih berjalan." "Nggak bisa gitu dong Pak! Bapak memperbudak saya itu namanya. Orang jelas - jelas tadi saya rela digampar buat terbebas dari hukuman. Malah situ plin plan banget Maemunah." "Saya membebaskan kamu hanya untuk hari ini saja. Masih ada tiga puluh hari lagi," Louis tertawa sambil membaca buku tebal miliknya. "Nggak adil dong!" "Baiklah, jika begitu kamu bisa berbicara dengan pengacara saya." "Eh, kok Bapak main ngelaporin aja! Nggak boleh gitu dong.." "See? Disini sekarang yang tidak bertanggung jawab adalah kamu." "Iya iya.. bawel." "Saya dengar.." "Nggak usah didenger lah." dengus Silla. "Saya punya dua telinga. Semua masih berfungsi." "Terserah!" Silla bodo amat kemudian keluar dari ruangan Louis. Lama - lama berdebat dengan dosen itu membuat Silla ikutan gila, hari pertama sudah acara tampar - tamparan, gimana seminggu? Dua minggu? Sebulan? Bisa mati dia.. "I want kill you Pakk!!" teriak Silla. *** Pulang dari kampus Silla langsung menaiki mobil untuk segera sampai di mansion. Hari ini sangat melelahkan sekali. Wanita itu menancap gas mobilnya dan melajukan mobil diatas rata - rata. Tapi, tiba - tiba mobilnya berhenti mendadak. Silla turun dan mengecek mesin mobilnya. Astaga, demi apa dia mogok dijalan sepi kayak gini. Kalau dia diculik terus dijual gimana coba? Kemudian dia menelpon seseorang. Tapi tidak kunjung diangkat. Silla sebal menutup ponselnya. "Gimana nih, gue kejebak dijalanan sepi," kata Silla gusar. Tintin Sebuah mobil mewah mengklakson Silla. Kemudian kaca mobilnya turun menampilkan wanita pirang yang menggunakan kacamata hitamnya. Dia adalah Britney, musuh bebuyutan Silla. "Mogok ya, kasian banget sih lo. Makanya punya mobil nggak usah butut banget," kata Britney mengejek. Mendengarnya Silla mengepalkan tangan. Kemudian wania itu tersenyum terpaksa kearah Britney yang sombong itu. "Eh ada kanjeng ndoro, gue jadi tersanjung. Nggak mau nebengin gue balik? Lagian kita searah lo baliknya, apalagi mobil lo bagus banget. Langsung wusss sampe rumah deh gue." "Apa, nebengin lo? Sorry to say, mobil gue nggak layak dinaikin orang kayak lo. Gue pergi dulu ya, mau hedon dulu byeee." Melihat kepergian mobil milik milik Britney, membuat Silla menggerutu. "Sue, sombong banget!" "Awas aja, gue bales lo!" Tintin Mendengar ada klakson lagi, Silla mendadak darah tinggi. Dia menoleh dan teriak kesal. "Nggak usah ngejek lo, sono pergi!!!" Saat kaca jendela mobil diturunkan, Silla jadi kiceup. Ternyata itu adalah mobil milik Louis. "Tadinya saya mau numpangin kamu pulang, tapi karena kamu sepertinya menolak, yasudah saya tidak memaksa." Kemudian mobil milik Louis berjalan begitu saja. Silla melongo kesal sekali. "Sue, nggak setan nggak iblis sama - sama bikin gue darah tinggi!!!" Dret "DASAR DIMAS NGGAK ADA AKHLAK!!! GUE UDAH TELPON LO DARI TADI, TAPI LO NGGAK NYAUT - NYAUT!!!!" "Sorry, gue nggak pegang hp. Gue kesana sekarang." Bip "Hari ini sial banget," dengusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD