Cinta Sejati Adrian - 2

2445 Words
Pagi ini Adrian bangun dengan sebuah harapan. Harapan bahwa ia tidak akan lagi melihat Rea menangis. Bukankah semalam Rea sudah menyetujuinya? Bahwa pernikahan ini bukanlah beban yang harus ia tanggung. Bahkan Adrian bersedia keluar dari kamar pengantin itu dan memilih kamar lain untuk ditempati. Saat Adrian sudah berpakaian rapi, dengan mantap ia melangkahkan kakinya menuju kamar Rea. Semoga saja harapan Adrian dapat terkabul. Kosong. Ranjang yang biasa Rea tempati tidak ada siapa-siapa. Kemana Rea? Adrian melangkah masuk, ia berjalan menuju kamar mandi. "Apa kau ada didalam sana Rea?" ujarnya di depan pintu kamar mandi. Tak ada sahutan. Terlintas sekelebat bayangan kejadian kemarin, tentang ketidaksadaran Rea, apakah kali ini Rea akan melakukannya lagi? Adrian tidak ragu-ragu untuk segera membuka pintu dan ternyata...kosong. Didalam sana juga tidak ada siapa-siapa. Adrian mulai panik. Ia cepat-cepat keluar dari kamar Rea dan berjalan tak tentu arah ke segala ruangan. Ada apa ini? Kenapa Rea tidak ada dimana-mana? Bukankah semalam wanita itu mengerti apa yang dikatakannya. Seharusnya sekarang ia tidak perlu seperti ini lagi. "Apa kau...sudah sarapan?" sebuah suara muncul, menyibak kekhawatiran Adrian. Buru-buru Adrian menoleh. Dan lihatlah, wanita yang sedang dikhawatirkannya sekarang berdiri tak jauh darinya, menatapnya dengan lembut. Tanpa sadar Adrian membuka mulut, ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya saat ini. Rea berani menatapnya dan bahkan berbicara padanya. Apakah ia sedang bermimpi? "Adrian..." suara lembut itu lagi-lagi menyusup telinganya. "Aku sudah membuatkan sarapan untukmu." Adrian tetap membeku, suara Rea ternyata terdengar sangat indah di telinganya. “Adrian...” panggil Rea lagi. "Ah, maaf, aku hanya...." Adrian mulai mengendalikan perasaannya. "Aku tadi mencarimu di kamar, dan kau tidak ada. Jadi aku pikir...." Adrian sengaja tidak meneruskan kalimatnya. "Aku sedang menyiapkan makanan untukmu di dapur," ujar Rea menjelaskan. Adrian hampir saja ternganga mendengar Rea menyiapkan sarapan untuknya. "Baiklah, aku akan mencoba masakanmu." Hanya itu yang bisa dikatakan Adrian. Karena sepertinya berdiri berlama-lama bersama Rea hanya akan membuatnya terlihat semakin kikuk. Adrian mempersilahkan Rea untuk berjalan lebih dulu sementara ia mengikutinya dari belakang. Apakah yang dirasakan Adrian sekarang? Kenapa jantungnya tiba-tiba jadi berdetak kencang begini. Dan wajah itu...wajah tanpa airmata yang dimiliki Rea ternyata sungguh mempesona. Juga suara lembut itu. Ah, ada apa dengan Adrian hari ini? Setibanya di meja makan, Adrian tertegun. Beberapa makanan sudah tersaji disana. Tentu saja ini lebih dari apa yang bisa ia harapkan. Rea sepertinya jago masak! "Aku memasak menu sarapan seperti milikmu kemarin, hanya saja kali ini dicampur dengan sosis dan abon. Karena kemarin kau juga memberikan menu makanan ini, jadi aku pikir kau pasti menyukainya. Meskipun...aku tidak sempat memakan sarapan yang kau bawa. Maaf..." Rea tampak merasa bersalah. "Tidak apa-apa." Adrian tersenyum lembut. "Dan apa ini?" Lantas menunjuk makanan lain yang tersaji. "Ini pancake kentang dan omelet keju. Aku tidak tahu apa kau menyukainya atau-" "Ini pasti enak!" potong Adrian cepat. Dengan semangat Adrian mengambil sendok dan mulai memakan menu yang tersaji satu persatu. "Rasanya benar-benar enak!" puji Adrian selesai mencicipi semua makanan. Rea tersenyum, ya, wanita itu tersenyum padanya. Adrian sama sekali tidak mengantisipasi akan balasan yang diterimanya setelah mengatakan pujian tadi. Sungguh diluar dugaan. Senyuman Rea benar-benar membuat hatinya meleleh. Ia hampir ternganga lagi, tapi tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Adrian menggeleng cepat-cepat. "Apa makanannya tidak enak?" Rea bertanya khawatir melihat lelaki di depannya menggeleng-gelengkan kepala. "Ah..bukan. Maksudku...ini enak sekali. Hanya saja tadi aku memikirkan hal lain," Adrian tersenyum janggal. "Ohya, kenapa kemarin kau pulang sendiri?" tiba-tiba Adrian teringat dengan tingkah konyolnya saat mencari Rea kemarin. "Aku melihatmu tertidur, jadi aku putuskan untuk pulang lebih dulu," Rea terdiam sejenak. "Tapi aku sudah berpesan pada suster agar memberitahumu bahwa aku sudah pulang." Adrian semakin merasa konyol. Ini murni salahnya. Karena dia terlalu khawatir akan hilangnya Rea, Adrian sama sekali tidak berpikir untuk bertanya pada siapapun. Ia hanya langsung berlari keluar rumah sakit lantas melajukan mobilnya ke rumah orang tua Rea. Untung saja Rea tidak tahu soal itu. "Apa kau mencariku?" selidik Rea penasaran. Adrian mengangguk-anggukan kepalanya. "Hanya saja...aku tidak berpikir kalau kau sudah pulang lebih dulu." Adrian memaksakan senyum. Sampai-sampai ia harus mengebut seperti orang gila dan mendatangi rumah keluarga Rea yang tidak ada hubungannya dengan ini. Untunglah kemarin Adrian sempat menelepon orangtua Rea dan mengabarkan kalau Rea baik-baik saja. "Kau tidak ikut makan?" tanya Adrian yang menyadari sejak tadi hanya dirinya saja yang makan. "Aku sudah makan tadi," jawab Rea. "Apa tidak apa-apa jika aku habiskan, karena ini enak sekali!" Adrian menyuapkan nasi goreng ke mulutnya dengan lahap, setelah itu menyuapkan pancake kentang dan omelet keju tak kalah lahapnya. Rea tersipu melihat betapa lahapnya Adrian memakan makanannya. Benarkah makanannya seenak itu? Sayangnya Rea belum sempat mencicipi semua makanan-makanan itu. Ia bohong soal sudah makan lebih dulu. Padahal kenyataannya belum sesuap nasi pun masuk ke mulutnya. Tapi biarlah, ia sama sekali belum lapar. Karena niat awal Rea memasak memang dikhususkan untuk Adrian. Jadi ia tidak perduli jika Adrian menghabiskan semua makanan itu, Rea justru merasa senang sekali saat tahu Adrian begitu menikmati masakannya. Piring-piring yang tadinya berisi makanan kini bersih tanpa sisa. Adrian sudah melahap semua makanan yang tersaji. Rea tersenyum melihatnya. "Perutku benar-benar penuh sekarang, sampai-sampai aku tidak sanggup berjalan karena kekenyangan," adu Adrian kemudian. Rea tersenyum melihat Adrian mengelus-elus perutnya sendiri. "Kau duduk dulu saja. Kau ini kan bos di perusahaanmu sendiri, tidak ada yang akan memarahimu kalau kau terlambat masuk kantor." Adrian tertawa mendengar itu. "Kau tidak perlu menyebut jabatanku segala Rea. Bahkan jika aku seorang pegawai pun, aku berhak tidak masuk kantor karena aku baru saja menikah." Rea manggut-manggut sambil mengulum senyum. Ya, Adrian memang langsung berangkat ke kantor keesokan harinya setelah malamnya menggelar resepsi pernikahan. Tentu saja itu dikarenakan hubungan awal mereka yang tidak berjalan baik. Hingga keduanya sama-sama memiliki caranya sendiri untuk tidak saling bertemu. Bagi Adrian tentunya dengan langsung berangkat ke kantor adalah pilihan terbaik, padahal dalam aturan di perusahaannya selalu ada jatah libur bagi siapapun karyawannya yang menikah, sedikitnya tiga hari. "Jadi, kau berencana untuk tidak berangkat ke kantor?" tanya Rea menyelidik. Adrian hanya tersenyum. "Bukan begitu, mungkin aku akan tetap berangkat meski hanya untuk mengecek." Adrian mengambil jeda sebentar. "Oh ya, aku akan menyewa jasa asisten rumah tangga untuk membantumu mengurus rumah ini." "Tidak perlu, aku punya banyak waktu untuk mengurusnya sendiri. Kau jangan khawatir, aku terbiasa melakukannya saat masih di Swiss." Deg. Swiss? Adrian terdiam mendengar kalimat Rea barusan. Apa Rea pernah tinggal di negara itu? Rea tampak menyesal sudah mengucapkan kalimat tadi. Bagaimana mungkin ia menyebutkan soal itu? Ini masih terlalu awal bagi Adrian untuk tahu mengenai dirinya. Baiklah. Sebelum Adrian bertanya lebih jauh lagi, ia harus cepat- cepat mengalihkan pembicaraan. "Adrian..." "Rea..." Keduanya saling menyebut nama lawan bicara secara bersamaan. Sejenak keduanya terlibat adu pandang namun dengan cepat keduanya tertawa. Rea yang menyadari keadaannya tampak aneh, lantas mulai berbicara. "Aku mungkin akan keluar sebentar, ada sesuatu yang ingin aku beli." Adrian menautkan kening heran. "Apa itu?" "Handphone. Beberapa hari ini aku tidak memakainya. Sepertinya tertinggal di rumah, tapi aku akan membeli yang baru." Rea berbohong. Memang benar, ia ingin membeli handphone, tapi Rea berbohong soal ponselnya yang tertinggal di rumah, karena sebenarnya ponsel maupun alat komunikasi lain yang dimiliki Rea sudah disita orang tuanya di hari Rea dipaksa menikah. "Apa perlu aku temani?" tawar Adrian seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, hanya untuk mengalihkan rasa gugupnya atas tawaran yang ia ucapkan tadi. Rea buru-buru tersenyum, "tidak perlu, aku bisa sendiri. Lagipula...bukankah kau harus berangkat ke kantor?" Dengan cepat Adrian menjawab, "kau sendiri yang bilang kalau aku bos di perusahaanku sendiri, jadi aku bebas untuk berangkat ataupun tidak." Gantian Rea yang menautkan kening heran. "Hei, hei, hei...tadi kau sendiri yang bilang kalau tidak perlu menyebut jabatanmu di kantor." Seketika saja wajah Adrian terasa gatal mendengar sindiran itu. Mau bagaimana lagi? Mulutnya kadang-kadang berbicara sendiri tanpa ia perintah. "Ya sudah, aku mau melihat-lihat rumah ini dulu sebelum pergi. Kau duduklah dulu kalau masih kekeyangan," ujar Rea menyudahi percakapannya dengan Adrian. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menjauh. Oke, oke, kali ini Adrian akan menahan diri untuk tidak mengikuti Rea. Biarlah Rea merasa nyaman dengan tempat tinggalnya sekarang. Jika Adrian terlihat selalu ingin bersama Rea, bisa-bisa itu akan membuat Rea curiga. Karena sepertinya Adrian mulai menyukai saat-saat dirinya bersama Rea. Baiklah, pikirannya sudah mulai aneh. Sepertinya ini memang sudah waktunya bagi Adrian untuk segera berangkat ke kantor. *** Waktu sudah lewat pukul delapan. Semua persiapan yang akan dibawa Adrian ke kantor sudah ia masukkan ke dalam mobil. Hanya rasanya berat sekali melepaskan kesempatan emas ini, kesempatan ia bisa mengobrol bersama Rea. Jika dipikir-pikir lagi, wanita pilihan ayahnya sangat tepat, Adrian sampai dibuatnya terpesona. Karena saat wajah Rea tidak lagi diliputi kesedihan, wanita itu benar-benar sangat cantik. "Aku pasti laki-laki paling beruntung di dunia ini jika sampai bisa mendapatkan cinta Rea," tanpa sadar Adrian menggumam. Tapi sekian detik kemudian Adrian langsung tersadar. Pikirannya pasti sudah gila. Jelas-jelas kemarin Adrian sendiri yang menegaskan pada Rea kalau dirinya sama sekali tidak mencintai wanita itu, tapi kenapa sekarang rasanya ia begitu menyesal telah mengatakan itu. Tok...tok...tok... Seseorang menyadarkan lamunan Adrian dengan mengetuk-ngetuk kaca mobil.  Astaga, kenapa Rea ada disana? Bukankah Rea sedang berkekeliling melihat rumahnya. Tapi kenapa sekarang Rea justru berdiri di sisi kiri mobilnya? Adrian terlihat gugup saat menekan tombol automatic power window, sementara Rea menatapnya penuh heran. "Kau masih belum berangkat?" tanya Rea setelah kaca jendela mobil telah turun sempurna. Adrian bisa melihat dengan jelas wajah cantik Rea sekarang, menatapnya dengan heran. "Adrian..." panggil Rea lagi. Adrian jadi salah tingkah sendiri. "Aku akan berangkat sekarang," buru-buru Adrian bersuara saat menyadari Rea semakin keheranan melihat tingkah anehnya. Baiklah, ini sudah kelewatan. Ia sudah mempermalukan dirinya sendiri di depan wanita itu. Jika ini dibiarkan berlama-lama bisa jadi seluruh rasa malu Adrian akan rontok tak bersisa. "Baiklah, hati-hati di jalan," pesan Rea sambil melambaikan tangan. "Dan jangan melamun saat menyetir!" teriak Rea penuh semangat. Apa-apaan itu? Adrian merasa tidak terima dengan ucapan terakhir Rea tadi. Memang siapa yang melamun? Tidak mungkin Rea memergokinya sedang melamun kan? Tapi bukankah hari ini sikap Adrian memang terlihat aneh. Dasar bodoh! Sementara Adrian sibuk membodoh-bodohi tingkah anehnya, Rea sudah masuk kedalam dan mulai bersiap untuk pergi keluar. Ia akan langsung membeli handphone, dan...Rea tersenyum sendiri, tentu saja ia akan segera mendengar dan melihat Vino lagi meskipun hanya lewat video call. Setibanya di counter hape, dipilihnya tipe hape yang sesuai dengan kebutuhan. Selesai melunasi pembayaran, Rea buru-buru keluar mencari tempat yang enak untuk memulai obrolan video call-nya dengan Vino. Dan terpilihlah sebuah kafe yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Rea sempat memesan minuman avocado float pada waitress yang menghampirinya. Sambil menunggu pesanan datang, Rea langsung membuka bungkusan hape barunya dengan sangat antusias. Rasanya ia sudah tak sabar lagi ingin cepat-cepat berkomunikasi dengan Vino. "Ya Tuhan Rea...kau ini kemana saja sih, aku sudah menghubungimu beberapa kali tapi selalu saja tidak aktif. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Sejak kepulanganmu hari itu kau sama sekali tidak memberiku kabar," berondongan kalimat mengalir deras dari mulut Vino ketika Rea sudah tersambung dengan laki-laki itu. Jelas sekali terlihat raut penuh kekhawatiran pada wajah Vino. Bagaimana Rea akan menjawabnya, bahwa sesampainya ia disini, Rea langsung dipaksa untuk memakai kebaya beludru marun untuk acara akad nikahnya. Saat itu, Rea shock bukan main, ia tidak tahu kalau kepulangannya hari itu adalah bagian dari rencana yang disusun orangtua Rea. Memaksanya menikah dengan Adrian. Itulah kenapa sepanjang acara resepsi digelar, tak henti-hentinya Rea meneteskan airmata. Ia tak hanya dipaksa tapi juga ditipu, dijebak dan dikhianati oleh orangtuanya sendiri. Baiklah, mengingat itu, mata Rea jadi terasa panas. "Aku minta maaf..." Rea memutuskan untuk bersuara. "Saat baru sampai disini, barang-barangku dirampok dan semua alat komunikasiku jadi terputus," Rea berbohong. "Apa? Kau dirampok? Jadi...apa kau terluka?" Vino bertanya khawatir. Bahkan lewat video call, Vino langsung memajukan wajahnya seolah sedang memeriksa apakah tubuh Rea masih lengkap atau tidak. "Tidak, aku tidak apa-apa. Perampok itu hanya menginginkan barang-barangku saja, sama sekali tidak menyakitiku." "Lalu kenapa baru hari ini kau mengabariku Rea? Kenapa kau tidak langsung menghubungiku pakai...handphone orangtuamu mungkin. Kau tahu Rea, saking khawatirnya, aku bahkan hampir saja terbang ke Indonesia untuk memastikan keadaanmu." "Jangan berlebihan Vino, aku tidak apa-apa. Kedua orangtuaku begitu senang melihat kepulanganku, jadi aku sama sekali tidak sempat untuk menghubungimu meskipun aku sangat ingin melakukannya." "Benarkah? Kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku kan?" Vino bertanya curiga. "Apa..maksudmu Vino, aku tidak menyembunyikan apa-apa. Dan lihatlah dimana aku sekarang..." Rea memperlihatkan pesanannya yang baru saja datang lantas menggeser posisi hapenya untuk menyisir ruang kafe ini. "Aku berada di kafe sekarang." "Apa kau sendirian?" tanya Vino. Rea mengangguk. "Aku sekarang punya banyak sekali waktu, Vino, jadi aku bisa menghubungimu kapanpun aku mau." "Baguslah, setidaknya itu akan membuat tidurku nyenyak nanti malam. Jadi...kapan kau akan kembali kesini?" Rea tidak segera menjawab, ia bingung harus mengatakan apa. Sekarang Adrian adalah suaminya, meskipun pernikahan ini hanya sebatas status tapi Rea adalah tanggung jawabnya. Ia masih harus bertahan untuk sementara waktu, memendam kuat-kuat rasa rindunya pada Vino. "Rea...kenapa? Apa ada masalah?" tanya Vino yang menyadari kebungkaman Rea. "Tidak...hanya saja...aku tidak tahu kapan aku akan kembali kesana." "Apa maksudmu?" "Orangtuaku bilang mereka masih menginginkan kehadiranku di rumah. Jadi aku tidak tahu akan sampai kapan. Aku akan langsung memberitahukanmu begitu aku tahu kapan aku akan kembali ke sana." "Kau benar-benar tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan, Rea?" selidik Vino, yang merasa ada keanehan dari tingkah dan ucapan Rea. Rea pura-pura tertawa. "Tidak, Vino, aku berkata sejujur-jujurnya padamu. Aku bahkan merasa senang sekali karena ternyata aku masih bisa melihatmu lagi." Vino terdiam, matanya menatap Rea semakin aneh. "Ada apa, Vino?" "Aku yakin, kau pasti menyembunyikan sesuatu," tegas Vino kemudian. "Sudah ku bilang padamu kalau aku berkata ju–" "Lantas kenapa kau tadi bilang kalau...kalau ternyata kau masih bisa melihatku lagi. Apa maksudnya itu Rea, jika tidak ada sesuatu yang aneh, kau pasti tidak akan mengatakan itu, karena kau pasti selalu bisa melihatku kapanpun kau mau," mata coklat Vino meredup. "Jadi...katakan padaku, ada apa sebenarnya?" Ya Tuhan...kenapa Rea bisa begitu bodoh mengatakan kalimat yang membuat Vino curiga. Tidak mungkin jika ia mengatakan kejadian sebenarnya pada Vino kalau kenyataannya ia sudah menikah dengan laki-laki lain. Betapa hancurnya perasaan Vino jika mengetahui itu semua. Dan jikalau Rea menjelaskan pada Vino kalau pernikahan ini hanya sebatas status, apa Vino akan percaya? Setelah jelas-jelas dirinya mengkhianati Vino dengan menjadi istri dari laki-laki lain. Ini sama dengan kiamat jika Vino tahu semua kebenarannya. "Vino...aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku hanya terlalu senang akhirnya bisa melihatmu lagi setelah tiga hari kita berpisah. Jadi aku mohon...percayalah padaku. Aku sangat mencintaimu Vino, hanya kau satu-satunya lelaki yang aku cintai di dunia ini." Rea meneteskan airmata saat mengatakan itu. Vino jadi merasa bersalah karena sudah membuat wanita cantik di seberang sana menangis. Padahal ia sama sekali tidak bermaksud begitu. "Aku juga sangat mencintaimu, Rea," ungkap Vino lembut. "Aku minta maaf sudah membuatmu menangis. Aku hanya...aku hanya terlalu mengkhawatirkanmu." Sempurna sudah Rea membohongi Vino. Hanya dengan beberapa airmata saja itu sudah langsung membuat Vino menggoyahkan kecurigaannya terhadap Rea. Rea akhirnya mengusap matanya dengan punggung tangannya. "Bagus, kau tidak boleh menangis didepanku Rea, karena aku pasti akan langsung terbang ke Indonesia untuk menghapus airmatamu itu." Mau tak mau Rea tersenyum mendengar gombalan Vino. "Sekarang...kau perlu meminum avocado float yang sudah kau pesan tadi, jangan biarkan eskrimnya mencair!" Rea kembali tersenyum. Ia meraih gelas minumannya dan mulai menyesapnya perlahan. "Bagaimana rasanya? Lebih enak disini atau di kafe itu?" tanya Vino yang melihat semuanya lewat layar smartphone nya. "Ehm...bagaimana ya?" Rea sengaja tidak langsung menjawab. Ia membuat Vino menatapnya gemas. Dan tiba-tiba saja, seseorang memanggil namanya. Bukan, bukan Vino yang memanggilnya, melainkan...Adrian! Bersambung ... AdDina Khalim
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD