Bab. 1

1032 Words
      "Ni, nanti abis setrika baju jangan lupa kamu angetin masakan, ya."   Seperti biasa, Tante Ratih memerintahku dengan caranya. Bernada lembut tapi penuh penekanan. Sebelum menyambar tas tangannya, adik bungsu ibuku itu kembali mengingatkan.   "Oya, Ni. Nanti, kalau Om Deri pulang, setelah siapin makan malamnya kamu langsung masuk kamar. Jangan lupa pintunya dikunci yang rapet." Telunjuk Tante Ratih mengacung tanda peringatan, segera kujawab cepat. "Iya, Tante."   Tidak ada lagi pilihan selain bertahan dalam pengasuhan Tante Ratih dan Om Deri. Hanya Tante Rati lah yang mau menerimaku yang sudah menjadi yatim piatu ini. Beruntung, aku hanya anak semata wayang, sekiranya aku memiliki adik, entah bagaimana cara kami menjalani hidup. Mungkin, Tante Ratih tak akan mau menerima kami, sebab perekonomian rumah tangganya pun sangat memprihatinkan.   Aku berdiri di depan pintu rumah, menyandarkan bahu dan kepala melepas Tante Ratih berangkat kerja. Ada rasa nyeri merongrong rongga d**a, kenapa Tante masih saja menggeluti pekerjaan kotor itu. Parahnya lagi, Om Deri seakan tak peduli bahkan terkesan ikut menikmati penghasilan istri.   Ah, sudah sering aku tergugu dalam diam saat melihat Tante Ratih berangkat ke lokasi tempat ia bekerja. Ia tampak tegar tapi jiwanya mungkin saja lebih rapuh dari apa yang tengah kurasakan.   Punggung Tante Ratih sudah menghilang dari pandangan, ia berjalan cukup cepat dengan langkah panjang-panjang. Untuk bisa sampai ke jalan raya, Tante harus melalui jalan gang yang sempit dan melewati rumah-rumah kumuh yang minim penerangan. Rumah Tante Ratih dan Om Deri memang terletak di perkampungan pinggir kota daerah pemukiman padat penduduk. Kata Tante, daerah sini walaupun jorok tapi aman. Entah apa yang maksudnya sebutan 'aman', penjahat kah? Atau tidak ada keusilan yang terjadi antara satu pintu ke pintu lainnya? Aku tidak tahu.   Kulap sudut mata dengan punggung tangan, lalu menutup pintu rapat-rapat. Secepat mungkin kuselesaikan pekerjaan yang sempat tertunda, merapikan setrikaan baju yang menggunung, kemudian memanaskan masakan sisa tadi siang. Ya, seperti inilah hampir setiap harinya, masak hanya sekali sehari. Bila ada sisa, kami memanaskan sisa masakan tadi siang. Namun, sekiranya tidak tersisa, kami akan menikmati nasi putih yang ditaburi sedikit garam atau gula yang diberi sedikit air.   Ada ikan goreng satu setengah potong lagi, dan tempe goreng dengan sambal yang tinggal sedikit. Kuharap, Om Deri tidak lagi berteriak kasar mengoceh soal makanan. Tidak jarang, Om Deri mogok makan dengan alasan tidak selera. Aku pikir, itu hanya alasan saja karena laki-laki itu memang sudah mengisi perutnya yang buncit dengan banyak makanan sebelum pulang ke rumah. Sementara aku dan Tante Ratih hanya bisa merasa bersalah karenanya.   Waktu sudah menunjukkan pukul 09:20, kudengar suara motor berhenti di depan rumah. Om Deri pulang sedikit terlambat dari biasanya. Karena pintu rumah sengaja tidak kukunci, jadi Om Deri bisa masuk tanpa harus menggedor pintu keras-keras.   "Rania, lagi apa kamu?" tanya Om Deri, manik matanya menatap lekat ke arahku.   "Lagi mau siapin makan buat, Om Deri." Aku menjawab tanpa membalas tatapannya. Sibuk menyendokkan nasi ke dalam piring.   "Itu, ituuu terus kamu masaknya. Ikan goreng kecilnya seuprit sama tempe goreng yang udah digoreng dua kali. Memangnya tantemu nggak kasih uang belanja?" tanya Om Deri, matanya terus mengamati hidangan di atas meja makan dengan sikap terlihat kesal.   Aku menghela napas panjang, lagi-lagi Om Deri mengandalkan Tante Ratih.   "Uang Tante juga sudah tidak cukup untuk beli kebutuhan dapur, Om. Nunggu gajian dulu besok lusa katanya." Aku menjelaskan. Berharap laki-laki di hadapanku ini mengerti.   "Oh, yaudah. Om makan, deh, tapi kamu temenin Om, ya. Makan sendiri nggak enak tauk." Om Deri menyuruhku duduk, "Ayo, Nai, duduk lah." Ia menatapku dengan tatapan tak biasa.   "Nggak, Om. Aku mau ke kamar aja. Mau belajar," tolakku cepat, tubuhku mulai gemetar karena takut.   "Nai, Nai, sekolah aja enggak, ngomongnya pengen belajar. Belajar apa, hah?" Suara Om Deri mulai meninggi, mungkin alasanku membuatnya tidak nyaman. Aku memang sudah putus sekolah, tetapi aku masih giat belajar apa saja di rumah. Baca koran bekas atau mempelajari buku-buku pelajaran bekas yang sering Tante Ratih bawakan untukku. Mungkin Tante beli di tukang loak buku.   "Eh, hmm, aku belajar baca dan nulis, Om. Kata Tante aku juga harus rajin belajar sendiri."   "Alaaah, omong kosong kamu. Udah, sana!" usir Om Deri kesal. Rahangnya mengeras dengan bola mata gampir keluar.   "I, iya, Om." Segera kutinggalkan Om Deri di dapur sendirian. Sesuai pesan Tante Ratih, kukunci pintu kamar rapat-rapat. Sebenarnya, tanpa Tante Ratih ingatkanpun aku selalu melakukannya, mengurung diri di kamar sampai pagi datang.   Tubuhku masih gemetar, degub jantung terasa dipompa lebih cepat. Kurebahkan tubuh kurusku di atas tikar anyam. Kutatap langit-langit kamar, berharap mataku dapat menembus atap untuk memandang keindahan langit malam yang membentang luas. Aku selalu ingin melihat bulan menggantung di atas sana bersama kerlip bintang-bintang.   "Rania!" Tiba-tiba kudengar Om Deri memanggilku dari luar pintu kamar sambil mengetuk pintu kencang. "Rania, kamu sudah tidur?"   Kali ini tubuhku terasa kaku, tidak biasanya Om Deri mengangguku malam-malam begini saat aku sudah mengurung diri di kamar. Kalau tidak bertelepon ria entah dengan siapa di teras rumah, biasanya Om Deri langsung tidur setelah perutnya kenyang.   Om Deri mau apa?   "Rania," panggilnya lagi, kali ini nada suaranya memelan, terdengar lebih lembut.   Aku mengambil posisi duduk, beringsut merangkak menuju sudut kamar tanpa menjawab panggilan Om Deri. Aku sangat takut.   "Argh! Sialan!" umpat Om Deri, terdengar pintu kamarku menyuarakan derak saat dia menghantam pintu. Entah dengan tinjunya atau dengan ujung kaki, lalu suasana kembali hening. Kurasa, Om Deri sudah melangkah menjauhi pintu kamarku.   Aku menelan ludah dengan susah payah, pelipisku juga sudah basah oleh keringat. Baru saja aku mengembuskan napas lega, suara laki-laki kasar itu datang lagi.   "Rania! Kurang ajar kamu, ya, buka pintunya!" Suara Om Deri seperti lolongan serigala di telingaku. Sangat mengerikan. "Gak buka pintunya, Om akan dobrak!"   Hening. Bibirku sudah terasa keluh untuk menimpali ucapan Om Deri. Aku mengedarkan pandangan ke arah dinding kamar dan ... seketika aku mendapatkan solusi. Sementara di luar sana, Om Deri semakin kesetanan, berteriak sembari berusaha mendobrak pintu kamar. Jangan tanya telinga para tetangga, mereka sudah kebal memdengar keributan di rumah ini hingga mereka memilih tak peduli.   Brakkk!!!   Pintu kamar yang berbahan kayu yang sudah rapuh berhasil dibuka paksa, bersamaan denganku yang juga berhasil menyelamatkan diri melalui jendela kamar yang sempit. Sekarang, aku bersyukur memiliki tubuh kurus, setidaknya saat ini aku bisa lolos dari cengkeraman Om Deri.   Tidak ada jalan lain selain terus menggerakkan kaki dengan cepat, lari!            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD