Part 1

1489 Words
Mavis Biandra 20 tahun, berjalan sangat anggun, memasuki panggung besar yang sangat megah. Tubuhnya yang berbalut gaun panjang berwarna putih polos, nampak memperlihatkan lekuk elok badannya yang ramping. Siapapun mengakui kecantikan wajahnya, bukan hanya dari lawan jenisnya, tetapi juga dari kaum hawa yang mengidolakannya. Saat ini, namanya bersinar seperti bintang terang di gemerlapnya dunia hiburan. Sebagai seorang pianis sekaligus penyanyi yang memiliki suara merdu. Memiliki talenta yang komplit, adalah sebuah keberuntungan. Malam ini, Mavis diundang sebagai acara pembuka konser seorang artis diva terkenal. Merupakan kehormatan baginya, karena ia tergolong pendatang baru. Namanya mulai melejit seperti roket, dalam hitungan beberapa bulan saja. Ini acara terbesar pertamanya, ia berusaha untuk tidak gugup. Memandang sekilas kepada penonton yang kursinya penuh, terdiri dari beberapa orang penting di televisi, juga orang-orang musik terkenal yang cukup diseganinya. Sekilas nyalinya ciut, tapi ia harus memulainya juga. Jemarinya mulai menari di atas tuts piano yang di iringi lantunan suara merdunya, menyanyikan lagu berjudul 'Kiss The Rain-Yiruma'. I often close my eyes And I can see you smile You reach out for my hand And I'm woken from my dream Although your heart is mine It's hollow inside I never had your love And I never will........ .................... Wajah cantiknya nampak di-close up, terlihat di layar besar sebagai background panggung megah itu. Mavis nampak sangat menikmati permainan pianonya, juga sangat menghayati lagu yang sedang dinyanyikannya. Seolah berada sendirian, ada kesenduan di wajahnya yang cantik. Apakah isi lirik lagu ini, mewakili perasaan yang sedang berkecamuk di hatinya? Jauh di lubuk terdalamnya, Mavis mengingat sosok pigur seseorang, yang sebenarnya tak pantas untuk dirindukannya. Di sudut lain, duduk seorang laki-laki di barisan terdepan penonton kehormatan. Wajahnya datar, tak sedikit pun melepaskan tatapannya ke arah di mana piano putih itu berdiri. Kenangannya kembali ke gadis belia berumur 12 tahun, yang selalu merengek memintanya untuk diajari bermain piano. Sekarang gadis itu telah piawai memainkannya. Dia mengakui bakat gadis itu, yang dulu sempat diabaikannya. Mavis sudah duduk kembali di ruangan, dihadapannya ada cermin besar. "Kamu tadi sangat keren, Mave. Sayang, lagu yang kamu bawain, sedih. Harusnya sebagai pembuka acara, yang bernuansa ceria gitu." komentar Gun, sebagai managernya. Mavis menengadahkan wajahnya, menatap Gun yang usianya lebih tua tujuh tahun, darinya. "Aku sudah usulkan, supaya lagu itu jadi yang kedua di penampilanku malam ini. Namun, pengatur acara menetapkan harus jadi yang pertama, alasannya ingin lebih menonjolkan permainan pianoku." "Yah..lagu keduamu kan duet sama Giovano. Namanya sama-sama lagi bersinar seperti kamu." ucap Gun. "Sepertinya dia naksir kamu, loh." bisik Gun di dekat telinganya. Membuat wajah Mavis sedikit merona. "Jangan ngarang, dia memang orangnya ramah pada siapa pun." sanggah Mavis, enggan membicarakannya lebih jauh. "Aku heran, selama bersamaku, kamu selalu bersikap datar. Sebagai artis yang mulai terkenal, kamu harusnya mengubah sikapmu itu lebih luwes." "Udah bawaan dari lahirnya begini, mau digimanain lagi." Mavis nampak pasrah. "Aku akan melatihmu senam wajah, supaya kamu bisa tersenyum pada siapa pun. Jangan datar-datar saja seperti ini." tangan Gun memegang kedua pipinya dengan gemas. "Kamu memiliki wajah cantik, sebenarnya kamu baik dan tidak sombong. Jangan diselimuti dengan raut yang selalu mellow, ginilah." "Siapa yang selalu mellow?" sanggahnya lagi, sambil menepis tangan Gun dari pipinya. Gun menatapnya, lalu tersenyum. Sedikit banyak, ia sudah mengenal karakter Mavis yang suka menyendiri dan tidak begitu banyak tingkah. "Segera ganti baju, untuk penampilan kamu dan Gio, sebentar lagi." Gun menarik tubuh Mavis untuk berdiri dan kemudian mendorongnya ke ruang ganti. Mavis mengenal Giovano, sebagai penyanyi luar biasa. Dia pemenang juara satu, di sebuah ajang pencarian bakat bergengsi di tanah air ini. Sedang ada dipuncak kejayaannya, menjadi idola kaula muda. Bertemu beberapa kali, baik di ruang tunggu stasiun televisi, ataupun bila secara kebetulan bertemu di panggung yang sama, disebuah acara. Dalam acara konser diva ini, mereka dipasangkan untuk duet bareng. Saat bertemu di beberapa kali latihan, ia lebih mengenal sosok Giovano. Ternyata orangnya cukup menyenangkan, suka bergurau dan menggodanya. Bagi Mavis yang sedikit pendiam dan nampak susah didekati, untuk membuatnya tersenyum saja, harus mutar otak berkali-kali. Namun, pembawaan Gio yang ceria, mampu sedikitnya mencairkan sikap dinginnya. Giovano tidak menyembunyikan rasa ketertarikannya pada Mavis. Sepanjang latihan, ia berusaha membuat Mavis rileks dan tidak bersikap canggung lagi. Kini, mereka sedang tampil di atas panggung. Menyanyikan sebuah lagu duet berjudul 'Bes Part-Daniel Caesar ft H.E.R dengan sangat apiknya. Terlihat senyum ceria di wajah Mavis, karena isi lagu ini menceritakan puja-puji dan pernyataan perasaan kepada pasangan yang sangat dicintai. Duet yang sangat serasi, memukau semua orang dengan kelembutan Mavis dan keeleganan sikap Giovano yang tampan. Tak segan Giovano memegang tangan Mavis sambil menatapnya dengan mesra dan Mavis membalasnya dengan sikap yang tak kalah romantisnya. Ini adalah sebuah panggung, mereka harus memberikan suguhan tontonan yang menarik. Mavis berusaha memerankannya dengan baik untuk mengimbangi peran Giovano yang sudah nampak luwes di atas panggung. Tidak kaku seperti dirinya, yang biasanya lebih banyak duduk di depan piano. Penampilan keduanya ini benar-benar mendapat sambutan yang luar biasa, sampai Sang Diva pun memberi komentar bagus pada keduanya. "Tanganmu sangat dingin, apa tidak ada yang pernah memegangnya, sepertiku?" tanya Gio, setelah mereka ada di belakang panggung. Wajah cantik itu merona, "Kau tahu, aku tidak pernah lepas dari pianoku, bila tampil." Gio tergelak, melihat rona merah menghiasi pipi gadis itu. Mereka sedang berhadap-hadapan di sebuah lorong menuju pintu ruang make up. 'Bagaimana ada seorang gadis yang sudah berkecimpung di dunia hiburan seperti ini, masih tampak polos sikapnya?' batinnya. "Ayo," Gio menarik tangan Mavis menuju ruang make up. "Kamu segera ganti pakaian, penampilan kita sudah selesai. Kita cari makan, ya?" "Ke mana?" Untuk sesaat, Gio merasa tersesat melihat mata beningnya. Ya, Tuhan! Betapa cantiknya gadis yang ada di hadapanya ini, tapi mengapa sangat susah untuk didekati? "Kita rayakan keberhasilan kita di panggung besar tadi. Siap-siap saja, kamu akan menghadapi gosip yang akan sangat merepotkanmu nantinya. Namun, akan membuat namamu semakin bersinar." senyum Gio ceria, tanpa beban. Tidak lama, mereka sudah nongkrong di sebuah kafe. Dengan pencahayaan yang temaram dan suasana yang tenang, membuat yang masuk kafe itu merasa nyaman. "Aku kira, kamu bukan orang yang rewel soal diet, bisa makan kapan saja tanpa khawatir kegemukan." tatap Gio, "kita pesan makanan berat? Karena aku laper sekali." sambungnya lagi. "Gak masalah, aku juga laper." jawab Mavis ringan. Gio segera membuat pesanan, setelah mendapat jawaban menu apa yang diinginkan oleh gadis cantik di hadapannya ini. "Selama ini, kamu tinggal di mana?" tanya Gio, untuk memulai obrolan. "Di apartemen." jawabnya singkat. "Sendiri?" "Iya." "Rilekslah, Mave ... toh yang bikin tegangnya sudah berlalu." kekeh Gio, tak kehabisan akal memancing mulut Mavis untuk mau bersuara. Bibirnya terangkat sedikit. "Maaf ya, Gio. Aku gini orangnya. Pasti kamu nyesel ngajak aku." ucapnya sambil menundukkan wajahnya. Gio jadi merasa tergugu oleh ucapan terus terang Mavis, sekaligus merasa gregetan karena sikap kakunya. "Jangan pikirkan. Aku suka kamu apa adanya." "Sangat membosankan, hingga aku tidak begitu banyak memiliki teman." katanya dengan senyum kecutnya. "Hey," Gio menatapnya lekat. "Di panggung, saat melihatmu bermain piano dan menyanyikan sebuah lagu. Aku seperti melihat bintang yang sedang bersinar. Kamu menikmatinya dan terlihat bahagia di sana." "Kamu benar, aku akan merasa bahagia bila berada sendirian. Cukup bersama pianoku, aku bisa mengekspos imajinasiku tanpa gangguan." "Jadilah dirimu sendiri, Mave." ucapnya, memberi semangat. "Tidak harus jadi orang lain, hanya karena ingin mempertahankan namamu di dunia hiburan ini." tambahnya lagi, lebih serius. Mavis menatap wajah tampannya, lalu tersenyum. "Ternyata seorang Gio bisa serius juga. Terima kasih atas support-nya." Gio balik menatapnya lebih inten. "Di balik sikap diammu ini, sepertinya ada misteri yang belum tersingkap. Aku jadi tergelitik untuk bisa mengurai rahasianya." Mavis jadi merasa jengah, "Tidak ada rahasia apapun, Gio." Ia menghindari tatapannya. Beruntung pramusaji sudah datang, untuk menghidangkan makanan yang mereka pesan. Dalam diam, mereka makan. Gio yang terlihat lapar, telah benar-benar menghabiskan makanannya dengan cepat. Segelas besar teh hangat, sudah habis juga diminumnya sampai tandas. Mavis menertawakannya. "Beneran lapar, ya?" tanyanya, sambil meletakan sendoknya secara tertutup, tanda ia pun sudah menyelesaikan makannya. "Aku baru ketemu lagi nasi, setelah makan siangku tadi. Jadi kebayang kan, gimana laparnya aku?" kekehnya tanpa malu. "Tadi saat sudah latihan sambil make up, Gun memberiku roti, jadi lumayan perutku terisi." "Aku mana sempat, Mave. Managerku juga sableng, boro-boro ingat ngasih aku makan." gelaknya, menertawakan dirinya sendiri. Kemudian Gio berdiri, "Ini sudah tengah malam, tidak baik untuk seorang gadis masih berkeliaran di luar seperti ini. Aku akan mengantarkanmu pulang." "Gak usah repot, Gio. Aku bisa pulang sendiri." tolaknya secara halus. Gun memang tidak akan membiarkannya pulang sendiri, ia bertanggung jawab penuh, sampai kembali ke apartemennya dengan selamat. Tadi saat ia pamit, karena diajak makan sama Gio, Gun sudah bilang akan pulang duluan. Dia sudah menyiapkan sopir kepercayaannya untuk mengantar Mavis pulang. "Aku gak repot, Mave. Kebetulan kita searah, jadi sekalian aja kuantar." "Sebenarnya, Gun sudah menyiapkan sopir untuk mengantarkanku pulang." ucap Mavis beragu-ragu. "Tinggal dihubungi saja sopirnya, kalau kamu pulang denganku." Mavis masih nampak ragu, hingga Gio tertawa. "Ayo! Aku tidak akan membawamu kabur. Aku akan mengantarkan kamu sampai tujuan dengan selamat." Dia menarik tangan Mavis untuk berdiri dari kursinya. Dengan enggan, Mavis mengikutinya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD