1. Gadis Desa

1711 Words
“Pagi pak Asep…” sapa lembut seorang gadis yang terlihat ramah dan supel sambil menuntun sepeda mini yang dilengkapi dengan keranjang di bagian depan. “Eh, pagi juga Neng Ayu… tumben neng sendirian, biasanya sama temennya.” seorang lelaki setengah baya yang sedari tadi sibuk memetik pucuk-pucuk daun teh dengan keranjang rotan besar di punggungnya menanggapi saapaan gadis manis itu. “Iya nih pak… hari ini temen saya ngga keliling, katanya ngga enak badan…” “Ooh… ya udah, laris-laris Neng…” “Aamiin…” Gadis itu kembali menyusuri jalanan tanah sambil menikmati udara sejuk di sepanjang perkebunan teh. Pandangannya sesekali menyapu hamparan pohon-pohon teh yang berbaris rapi sejauh matanya memandang. Hingga sampailah ia di peternakan sapi di seberang perkebunan. Ia mengambil beberapa botol s**u sapi segar yang sudah disiapkan pemiliknya dan memasukkannya ke keranjang sepeda mini miliknya. Beberapa ia letakkan pada keranjang anyaman yang ia bawa. Sengaja hari ini ia menambah beberapa botol s**u dari hari biasanya untuk diantarkan ke tempat langganan temannya yang tidak bisa berjualan hari ini. “Biasa ya beh, Ayu bawa dulu, uangnya nanti siang” kata Ayu sambil menata botol-botol s**u itu. “Hari ini Ayu ambil tiga puluh botol beh” lanjutnya. “Iya bawa aja dulu... Hati-hati itu bawanya” Kata Babeh Rojali, pemilik peternakan sapi yang sudah menganggap Ayu sebagai cucunya sendiri. “Iya beh…” Ayu segera menaiki sepeda dan mengayuhnya melewati jalanan perkebunan yang tadi ia lewati dan kembali menuju perkampungan untuk berkeliling menjajakan s**u segar. Rahayu Indreswari, yang biasa disapa Ayu, seorang gadis desa putri dari Sanjoko dan Trinigsih, keduanya merupakan buruh pemetik teh perkebunan di daerah Brebes. Ayu bukanlah kembang desa, tidak terlalu cantik, tapi sikapnya yang ramah dan supel membuat ia memiliki daya tarik tersendiri dan menjadi salah satu gadis yang menonjol di desanya. Setelah tamat dari bangku SMA ia bekerja membantu kedua orangtuanya dengan berkeliling menjajakan s**u segar. Ayu terus mengayuh sepedanya dan berhenti di kerumunan ibu-ibu yang sedang bergosip sambil mengasuh anak-anak mereka yang masih kecil. Setiap pagi mereka sengaja menunggu Ayu di sebuah pos kamling yang terletak di ujung tanah lapang. “Pagi ibu-ibu… maaf ya Bu agak kesiangan, tadi ban sepedanya agak kempes, jadi harus dipompa dulu.” Sapa Ayu seraya memarkir sepedanya di samping pos kamling. “Engga kok neng, ni juga sambil ngobrol-ngobrol.” “Neng Ayu nih, udah baik, sopan, rajin lagi… coba kalo Ibu punya anak pejaka, pasti deh udah Ibu jodohin sama Neng.” kata salah seorang Ibu-Ibu berkerudung coklat, diikuti tawa Ibu-Ibu yang lain. “Ibu nih bisa aja.” Ayu terlihat malu dengan ucapan Ibu-Ibu tadi. Ayu mengeluarkan beberapa botol s**u dari dalam keranjang anyaman dan memberikannya kepada mereka sesuai dengan pesanan masing-masing. Mereka adalah pelanggan tetap Ayu sejak awal Ayu mulai menjajakan s**u segar. “Ini ya Bu.” Ucap Ayu sambil memberikan pesanan mereka satu persatu dan menerima uangnya. Setelah semua mendapatkan pesanan mereka, Ayu memasukkan botol-botol s**u kosong yang sudah mereka kumpulkan seperti biasa di meja pos kamling ke dalam keranjang anyaman. “Makasih ya Bu… saya mau jalan lagi.” “Iya, makasih ya Neng, laris-laris jualannya.” “Amiin…” “Hati-hati Neng… habis hujan takut licin jalannya.” Kata Ibu yang lain.” “Oh, iya Bu...” Ayu kembali mengayuh sepedanya mengelilingi kampung sambil berteriak menjajakan s**u segar yang ia bawa. “s**u segaaaarrrrr… s**u segaarrrrr…” teriak Ayu sepanjang jalan. Tak jarang Ayu mendapat godaan dari para pemuda kampung yang kurang kerjaan, tapi Ayu tidak pernah memperdulikan mereka. Ia pun tidak malu dengan apa yang dikerjakannya, justru ia senang karena bisa sekaligus merinteraksi dan menyapa warga kampungnya. Ayu menuruni sepeda dan menuntunnya melewati gang-gang sempit. Ia selalu menyapa siapapun yang dilewatinya. Dengan baju putih dan rok bunga-bunga di bawah lutut, Ayu terlihat sangat feminim. Ditambah lagi dengan rambut panjang hitamnya yang diikat ekor kuda, terlihat layaknya gadis desa yang kalem dan penurut. Sudah beberapa pemuda desa yang mencoba mendekati Ayu, tapi ia belum menemukan yang pas di hatinya. Ayu merasa pemuda-pemuda itu tidak serius dengannya. Mereka hanya ingin status pacaran layaknya anak-anak kota tanpa memikirkan jenjang yang lebih serius. Sampailah Ayu di rumah bu Parja, pelanggan terakhir yang ia antarkan s**u, rumahnya di desa sebelah. Walaupun agak jauh, tapi Ayu tetap dengan senang hati mengantarkannya karena setiap harinya beliau mengambil 5 botol s**u. Cukup menghemat waktunya daripada ia harus berkeliling mencari pembeli. Apalagi bu Parja selalu membayar sekaligus s**u-s**u yang dibelinya selama sebulan penuh di awal bulan. Ayu memarkir sepedanya di depan rumah bu Parja. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Jawab seorang laki-laki dari dalam rumah sambil membuka pintu. “Ini Mas, mau antar susu.” Ayu tersenyum sambil menyerahkan 5 botol s**u yang sudah ia letakkan dalam kantong plastik.” “Oh iya, sebentar ya saya ambilkan botol kosongnya.”. Ayu mengangguk. Tak berapa lama laki-laki itu keluar sambil membawa botol s**u kosong dan langsung meletakkannya di keranjang sepeda Ayu. “Makasih ya Mas…” ucap Ayu ramah. “Iya, sama-sama,” jawab laki-laki itu. Dia adalah Bagus, putra semata wayang bapak dan ibu Parja, keluarga yang cukup terpandang di kampungnya. Bagus juga merupakan kakak kelas Ayu saat di bangku SMA sehingga Ayu mengenalnya walaupun hubungannya tidak terlalu dekat. Sebelum pulang kerumah Ayu kembali ke peternakan untuk memabayar s**u yang sudah ia ambil tadi pagi sekaligus mengembalikan botol-botol s**u yang sudah kosong. *** Kedua adik Ayu sedang bermain di halaman rumah ketika Ayu pulang. Ayu adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya bernama Kinanti dan Haikal. Saat ini Kinanti duduk di bangku kelas enam SD, sementara Haikal masih berusia empat tahun. Setiap hari Ayu lah yang mengantar Kinanti berangkat ke sekolah sebelum keliling berjualan s**u. Sedangkan Haikal diasuh oleh sang bibi yang tinggal di sebelah rumah karena kedua orangtuanya harus bekerja di perkebunan dari jam enam pagi. Hari ini adalah hari sabtu, Kinanti libur sekolah sehingga bisa menemani adiknya di rumah. Mereka berdua adalah anak-anak yang manis, anak-anak yang penurut. “Mbak Ayuuuu…” teriak Haikal sambil menghambur ke dalam pelukan Ayu. Begitulah adik bungsu Ayu, selalu menyambut dengan ceria setiap kepulangan anggota keluarganya. Mungkin karena ia merasakan kesepian setiap kali ditinggal kedua orangtua dan kakak perempuannya bekerja, juga Kinanti yang bersekolah. “Hayo, sarapannya udah dimakan belum?” todong Ayu. Hari ini Haikal bangun siang sehingga Ayu belum sempat menyuapinya makan. “Udah dong Mbak, kan Haikal pintel.” Jawab Haikal dengan suaranya yang masih cadel. “Kinan lah Mbak yang nyuapin, mana bisa Haikal makan sendiri.” Kinanti membanggakan dirinya untuk mendapat pujian dari kakaknya itu. “Iya, iya… pokoknya dua-duanya pinter deh. Ya udah yuk masuk,” ajak Ayu sembari menggandeng tangan Haikal. *** Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Ayu dan Triningsih sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga. Aroma nasi goreng yang dicampur dengan telur orak arik sudah mulai tercium dari ruang keluarga, membuat cacing-cacing di perut Haikal mulai protes minta diberi makan. Dengan cepat Haikal berlari menuju ke arah dapur untuk melihat nasi goreng buatan ibu dan kakaknya. Rasanya ia sudah tak sabar menikmati makanan kesukaannya itu. “Ibu, Haikal mau makan, Haikal udah lapel.” Haikal merengek sambil memegangi daster ibunya yang masih sibuk menuangkan nasi goreng ke mangkuk besar. “Iya Haikal, nih Ibu pindah dulu ke mangkuk besar, biar gampang ngambilnya.” Ayu dengan pengertian mengambilkan mangkuk kecil untuk adiknya ketika melihat ibunya kerepotan. Ia mengambil nasi goreng satu centong besar dan memberikannya pada haikal. “Waaahh… makasih Mbak…” ucap Haikal kegirangan sambil memandangi mangkuk nasi gorengnya Triningsih menghampiri Sanjoko, suaminya, setelah makan malam mereka sudah siap di meja makan. “Makan dulu Pak…” “Oh, iya Bu.” Sanjoko yang baru saja selesai sholat Isya segera melipat sajadahnya dan meletakkannya di atas kursi yang terletak di ujung kamarnya, lalu mengikuti langkah istrinya menuju ke meja makan. Di meja makan sudah berkumpul ketiga anaknya, mereka sudah siap dengan piring makan masing-masing. Sanjoko ikut duduk di kursi makan dan mulai mengambil nasi goreng dari mangkuk besar. Sudah menjadi tradisi di keluarganya, yang paling tua lah yang mengambil makanan terlebih dahulu sebagai bentuk untuk menghormatinya. “Gimana Nduk tadi jualannya laris?” Sanjoko memulai pembicaraan. “Alhamdulillah pak, habis. Kebetulan hari ini Dian ndak masuk jadi Ayu gantikan antar susunya ke pelanggan Dian. Lumayan pak hasilnya.” Rona bahagia terpancar di wajah Ayu. Semakin banyak keuntungan yang ia dapat dari berjualan s**u, sedikit demi sedikit ia bisa menabung. Diam-diam ada keinginannya untuk merantau dan mencari pekerjaan di kota untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Namun ia belum berani mengutarakan pada kedua orangtuanya. Ayu takut, ayahnya pasti keberatan dengan niatannya itu. “Alhamdulillah… trus kapan kamu mau menikah Nduk, teman sebayamu banyak lho yang sudah menikah. Malah banyak yang sudah punya anak,” tanya Sanjoko lagi. “Ayu belum mau menikah Pak. Ayu kan masih pengen bantu bapak sama Ibu, lagian Ayu juga belum punya pacar.” Jawab Ayu dengan sopan. Pertanyaan itu makin sering Ayu dengar belakangan ini. “Gimana kamu mau punya pacar… lha wong laki-laki yang mau dekat sama kamu aja kamu cuekin. Mbok ya pengenalan dulu nggak papa, siapa tau cocok.” “Iya pak, kalo ada yang cocok dan melamar pasti Ayu juga mau diajak menikah.” Sanjoko sebenarnya ingin Ayu segera menikah. Layaknya gadis di desanya, banyak dari mereka yang menikah di usia muda. Walaupun begitu, Sanjoko sangat bersyukur ketiga anak-anaknya begitu sopan dan penurut. Ia pun berharap ketiga anak-anaknya kelak mendapatkan pasangan yang baik, yang setia, dan mau menerima kelebihan dan kekurangan mereka. Ia tidak ingin apa yang menimpa dirinya di masa lalu menimpa juga kepada anak-anaknya. Teringat kembali masa lalu yang begitu membuatnya terpukul. Istri pertamanya, Indri, begitu tega meninggalkan dirinya dan Ayu yang masih berusia satu tahun. Indri memilih bercerai karena sudah tidak sanggup lagi hidup menderita dengan pekerjaan Sanjoko yang hanya seorang buruh pemetik teh. Ia memilih menikah lagi dengan pria kota yang lebih mapan darinya. Sanjoko menerima dengan ikhlas semua yang terjadi dalam kehidupannya, ia memilih berjuang untuk putri semata wayang mereka yang masih membutuhkan kasih sayang. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menikahi Triningsih, tetangga dari desa sebelah yang selama ini ia mintai tolong menjaga Ayu ketika ia harus bekerja meninggalkan Ayu. Triningsih begitu lemah lembut dan telaten merawat Ayu. Sanjoko yakin Triningsih akan menjadi ibu sambung yang baik untuk putrinya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD